السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kamis, 09 April 2015

Hadits Larangan (2); KENCING BERDIRI ATAU DUDUK

Terlepas dari perbedaan para ulama terkait hukum kencing sambil berdiri, di mana ada yang mengatakan makruh[1], boleh secara mutlak [2] dan boleh jika aman dari percikan [3]. Namun, yang jelas Nabi dalam sebuah haditsnya pernah melarang sayyidina Umar, sebagaimana sabdanya:
‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,

رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ :« يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, “Wahai ‘Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri.” Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri [4].” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadits ini diperkuat oleh pernyataan ummul mukminin, siti Aisyah – radhiyallahu ‘anha- mengatakan,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَاعِدًا

“Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa kencing sambil duduk.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 201 bahwa hadits ini shahih). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang lebih bagus dan lebih shahih dari hadits lainnya tatkala membicarakan masalah ini.”

Kemudian didukung  juga dengan dua hadits yang secara implisit, menunjukkan ketidak-bolehan atau larangan kencing berdiri. Sebab, hal tersebut merupakan tanda akhlak atau perangai yang buruk.

Dari Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ

“Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)

Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ

“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi). Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa periwayat hadits ini adalah periwayat yang tsiqoh (terpercaya). Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi bahwa hadits ini shahih. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud mengenai kencing sambil berdiri.

Dari pemaparan beberapa hadits di atas, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW melarang umatnya melakukan buang air kecil atau kencing sambil berdiri, bahkan jika ada yang mengatakan beliau pernah melakukannya, maka jangan benarkan itu. Karena hal tersebut termasuk dari perangai atau akhlak yang buruk.

Namun, lagi-lagi larangan tetaplah larangan yang hakikatnya selalu terkait dengan illat (alasan) dibalik gaul yang terucap. Artinya ketidak-bolehannya tidak kaku dan mutlak. Sebab, ada juga hadits shahih dari Nabi yang menginformasikan bahwa Nabi pernah buang air kecil atau kencing sambil berdiri, Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan air. Aku pun mengambilkan beliau air, lalu beliau berwudhu dengannya.” (HR. Bukhari no. 224 dan Muslim no. 273)
.
Disamping juga ada hadits yang menjelaskan jika Nabi kencing dengan posisi duduk. Namun, tidak lantas menunjukkan bahwa kencing dengan posisi duduk adalah lebih utama atau lebih baik. ‘Abdurrahman bin Hasanah mengatakan,

خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dengan demikian, kesimpulannya yang namanya larangan sebagaimana pemaparan beberapa hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa larangan itu sifatnya tidak mutlak. Sebagaimana orang tua  suatu melarang anaknya keluar rumah, tidak berarti secara mutlak orang tua tersebut tidak membolehkan anaknya keluar rumah terus-menerus.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 1. Pendapat ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, ‘Umar dalam salah satu riwayat (pendapat beliau terdahulu), Abu Musa, Asy Sya’bi, Ibnu ‘Uyainah, Hanafiyah dan Syafi’iyah.

2 .  Pendapat yang dipilih oleh ‘Umar dalam riwayat yang lain (pendapat beliau terakhir), Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Umar, Sahl bin Sa’ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat Hanabilah.

3. Pendapat madzhab Imam Malik dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.

4. Asy Syaukani sebagaimana dalam As Sail Al Jaror mengatakan bahwa As Suyuthi telah menshohihkan hadits ini.
Share:
TERIMA KASIH