السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Rabu, 31 Januari 2018

Belajar Cara Menjawab Kiriman Salam Pada Malaikat Jibril

Adalah kebiasaan umat islam Indonesia, saat mendapat kiriman salam dari orang ketiga yang disampaikan oleh orang kedua padanya. Jawabannya bisa dipastikan selalu “Wa’alaikumsalam,” atau dengan kalimat yang lengkap “wa’alaikumsalam wa rahmatullah wa barokatuh.” Selain, mungkin karena mereka hanya mengenal atau mafhum pada kalimat tersebut saja, juga karena mereka kurang mempelajari kaidah-kaidah keberislaman mereka. Maka dari itu, marilah kita sama-sama menyimak cara menjawab kiriman salam dari orang lain untuk kita, menurut hadis Nabi berikut;

Berdasarkan hadits shahih dari Aisyah radiallahu anha dengan lafazh:

إن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  :  يا عايش هذا جبريل وهو يقرأ عليك السلام قالت فقلت وعليه السلام ورحمة الله وبركاته ترى ما لا أرى تريد بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari ‘Aisyah radiallahu anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu.” Aisyah berkata; Kemudian Aku berkata, “Wa’alaihis salam warahmatullah wabarakatuh” (Maktabah Albani v2.0, hadits no. 1036)

Hadis ini mengajarkan secara khusus, ketika kita mendapat kiriman salam dari orang ketiga melalui orang kedua terhadap kita. Maka, seyogyanya menggunakan jawaban dengan khitab yang sesuai. Dalam hadis tersebut, malaikat mengatakan dengan kalimat “’alaikissallam,” (عليك السلام) karena memang khitab yang dimaksud adalah perempuan, Sitti Aisyah. Kemudian dijawab oleh Sitti Aisyah dengan kalimat “wa’alaihissalam wa rahmatullah wa barokaatuh,” (وعليه السلام ورحمة الله وبركاته) sebab, yang dimaksud adalah malaikat yang notabenenya oleh nash selalu identikkan pada jenis laki-laki (bahwa ketika dhamir yang menunjuk pada malaikat, al-Qur’an maupun Hadis selalu menggunakan khitab atau dhamir untuk laki-laki), maka Sitti Aisyah menggunakan Dhamir bariz muttashil, yakni ha’ (ه) pada lafadz ‘alaihi. Artinya khitab dan dhamir, baik yang dari malaikat Jibril maupun yang dari Sitti Aisyah sama-sama ditujukan langsung pada orang ketiga (dari Sitti Aisyah pada Malaikat Jibril) atau pada orang pretama (dari Malaikat Jibril pada Sitti Aisyah). 

Malaikat Jibril tidak mengucapkan  dengan kalimat “assalamu’alaikum” dan Sitti Aisyah juga tidak menjawabnya dengan “wa’alaikumsalam warahmatullah wabarokaatuh.” Sebagai mana kalimat tersebut lumrah digunakan oleh umat Islam Indonesia, yang kebetulan sampai saat ini belum ada Ulama pun yang menyalahkannya. Meski tidak ditemukan hadis yang menyalahkannya, setidaknya penulis juga belum menemukan tuntunan hadis bahwa harus demikian.

Dengan demikian, maka sepantasnya jawaban salam harus disesuaikan dengan situasi khitab atau dhamirnya. Seandainya yang mengirim salam adalah tiga orang atau lebih perempuan/laki-laki, maka kalimat jawaban yang sesuai adalah “wa’alaihinnasalam warohmatullah/ wa‘alaihimussalam warohmatullah” وعليهن السلام ورحمة الله \وعليهم السلام ورحمة الله)). Seandainya yang mengirim salam adalah dua orang perempuan atau laki-laki, maka jawabannya “wa’alaihimassalam warohmatullah” (وعليهما السلام ورحمة الله). seandainya orang yang mengirim salam adalah satu orang perempuan atau laki-laki, maka jawabanya “wa’alaihassalam/alaihissalam warohmatullah” (وعليهاالسلام \وعليه السلام ورحمة الله), dan seterusnya.

Wallahu a’lam bi al-shawaab…..
Share:

Selasa, 16 Januari 2018

أُولِي الْأَلْبَابِ

 الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 191)

Share:

Senin, 15 Januari 2018

MEMBERI DAN MENJAWAB SALAM PADA MASA NABI

Pada masa Rasulullah saw, cara menjawab salam sesungguhnya adalah bervariasi. Maka boleh menjawab salam, ketika ada satu orang mengucapkan salam dengan ucapan السلام عليكم (adapun keselamatan semuga atas kalian/anda), dengan jawaban وعليك (iya, atas kamu juga) tidak harus dengan وعليكم السلام sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amru berkata,

بينما نحن جلوس عند النبي صلى الله عليه وسلم في ظل شجرة بين مكة والمدينة إذ جاء أعرابي من أجلف الناس وأشدهم فقال السلام عليكم فقالوا وعليك

"Ketika kami duduk di sisi Nabi saw, di bawah naungan sebuah pohon antara Makkah dan Madinah, tiba-tiba ada seorang Arab Badui yang termasuk orang yang keras lagi kasar berkata,' Assalaamu'alaikum'. Lalu mereka menjawab, Wa'alaika"'(Adabul Mufrad-Imam Bukhari, Shahih sanadnya).

Walau pun begitu, jawaban pada satu orang dengan kalimat وعليكم السلام bukan berarti salah, bahkan tergolong lebih baik. Sebab, dhamir muttasil  كم bisa saja dipakai pada satu orang dengan maksud ta’dhim atau penghormatan. Dan demikian juga yang biasa diterapkan oleh masyarakat kita, Indonesia.  Bahkan  Mua'wiyah bin Qurrah pernah bercerita  bahnwa ayahnya pernah berkata kepadanya,

 يا بني إذا مر بك الرجل فقال السلام عليكم فلا تقل وعليك كأنك تخصه بذلك وحده ولكن قل السلام عليكم

'Wahai anakku, apabila ada seseorang bertemu denganmu lalu dia mengucapkan assalaamu'alaikum, maka engkau jangan mengucapkan wa 'alaika, seakan-akan kamu mengkhususkan untuk dia saja, sesungguhnya dia tidaklah sendirian. Katakanlah assalaamu'alaikum." (Shahih. Adabul Mufrad-Imam Bukhari:  791/1037)

Selain itu, berikut juga cara menjawab salam yang dicontohkan Rasulullah dan Para Sahabat beliau.
Dari Ibnu Jamrah,

سمعت بن عباس إذا يسلم عليه يقول وعليك ورحمة الله

"Saya mendengar Ibnu Abbas bila diucapkan salam kepadanya, dia berkata, 'Alaihi wa rahmatullaah."' (Bagimu rahmat Allah) (Adabul Mufrad-Imam Bukhari, Shahih sanadnya)

Dari Abu Abdullah berkata, "Qailah telah berkata, 'Seseorang berkata,

السلام عليك يا رسول الله قال وعليك السلام ورحمة الله

"Selamat bagi engkau wahai Rasulullah?," Nabi menjawab, "Wa'alaikas-salaamu wa rahmatullah.'" (Keselamatan dan rahmat Allah bagimu).” (Hasan shahih, Mukhtasharus-Syama’il Al Muhammadiyah (53/Pentahqiqan yang kedua). [Adabul Mufrad-Imam Bukhari, 789/1034].

Dari Abu Dzarr berkata,

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم حين فرغ من صلاته فكنت أول من حياه بتحية الإسلام فقال وعليك ورحمة الله ممن أنت قلت من غفار

"Saya menghampiri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, setelah selesai melaksanakan shalatnya. Saya orang pertama yang mengucapkan penghormatan dengan penghormatan secara Islam, lalu Nabi berkata, Wa'alaika, wa rahmatullah" (Dan bagimu rahmat Allah) Dari mana kamu?’ Saya menjawab, 'Dari bani Ghifar."' Shahih, [Muslim, 44- Kitab Fadhailush-Shahabah, hadits 132].

Selain itu, ada sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Seraya berkata,

إِذَا دَخَلَ البَيْتَ غَيْرَ المَسْكُوْنِ، فَلْيَقُلْ: السَّلاَمُ عَلَيْنَا، وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

“Jika seseorang masuk rumah yang tidak didiami, maka ucapkanlah “ASSALAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN (salam bagi diri kami dan salam bagi hamba Allah yang saleh)” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod 806/1055.Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, 11:17).

Hadist tersebut senanda dengan kalimat tahyat terakhir dalam shalat;


التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّه

Tidak hanya itu, berdasarkan hadits shahih dari Aisyah radiallahu anha dengan lafazh:

إن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  :  يا عايش هذا جبريل وهو يقرأ عليك السلام قالت فقلت وعليه السلام ورحمة الله وبركاته ترى ما لا أرى تريد بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari ‘Aisyah radiallahu anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu.” Aisyah berkata; Kemudian Aku berkata, “Wa’alaihis salam warahmatullah wabarakatuh” (Maktabah Albani v2.0, hadits no. 1036)

Begitulah seputar bagaimana dan dengan lafadz apa saja mereka para sahabat dan Rasulluh saw, senatiasa melafadzkan jawaban salam mereka terhadap orang lain. Adalah beragam dan tergantung mukhathab atau lawan bicaranya, apakah dia laki-laki atau permempuan, jamak (banyak) atau mufrad (sendirian).

Wallahu a’lam bi al-shawaab……
Share:

Jumat, 12 Januari 2018

BOLEH MENGUCAP SALAM HANYA DENGAN LAFADZ "SALAM" SAJA.

Termasuk hal yang terbilang baru, namun sudah sering terjadi dan dilakukan oleh beberapa orang. Terlebih di dunia chatting, seperti wahatsapp, BBM, Facebook, line dan sebagainya. Yakni pemanggilan salam yang hanya diucapakan dengan “salam” saja, tidak secara lengkap atau paling tidak minimal “Assalamu’aikum wa rahmatullah.” Terkait hukum masalah ini, sebetulnya sudah banyak dibahas, diantaranya ada yang tidak membolehkan. Imam Nawawi dalam kitab syarah Lubabul Hadis, mengatakan “ucapan salam hanya dengan lafadz salam saja adalah tidak dianggap, karena tidak diucapkan dengan kalimat yang sempurna (laisa bikalaamin taammin).” Bahkan ada sebagian yang menanggapinya (mengucap salam saja) dengan marah-marah, mengancam akan memblokir dan lain-lain. Sama halnya dengan mereka ketika mendapati ucapan salam dalam tulisan yang disingkat-singkat, contoh asslm.wrwb dan sebagainya.

Reaksi demikian menjadi mafhum, sebab memang kebiasaan kita seolah mengunci paradigma kita. Bahwa ketika ada orang tua menegur anaknya, semisal tidak mengucapkan salam saat memasuki rumah, maka sang ayah akan bilang; “Salam dulu toh nduk!” nah!, salam dimaksud adalah ucapan “assalamu’aikum wa rahmatullah wabarokatuh” secara utuh atau paling tidak minimal “assamu’alaikum.” Selain itu, dalam keseharian rakyat Indonesia secara umum, hanya mengenal ucapan salam dengan “assamu’alaikum,” jarang bahkan seperti tidak lumrah menggunakan lafadz “assalamu’alaika,” “assalamu’alaiki” seperti yang pernah dilakukan sahabat-sahabat pada masa Nabi.

Baralih pada dasar paling pokok dalam Islam, yakni al-Qur’an, maka paradigma umum tersebut tergambar pada pengertian ayat berikut:

تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ ۚ وَأَعَدَّ لَهُمْ أَجْرًا كَرِيمًا

Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka. (QS. Al-Ahzab: 44)

Pada ayat ini, posisi lafadz “salamun” (سَلَامٌ) sebagai khabar dari mubtada’ “tahiiyyatuhum” (تَحِيَّتُهُمْ) dapat dipahami, bahwa salam yang dimaksud adalah ucapan salam secara lengkap atau minimal “assalamu’alaikum,” sebagaimana pendapat umum. Sama seperti ayat yang lain berikut ini:

إِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًا ۗ قَالَ سَلٰمٌ ۚ قَوْمٌ مُّنْكَرُوْنَ

(Ingatlah) ketika mereka masuk ketempatnya lalu mengucapkan," Salaman (salam) '' Ibrahim menjawab, "Salamun (salam)". (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya. (adz-Dzirayat: 25).

Menurut ayat ini juga bisa dipahami, bahwa yang dimaksud mengucapakan salam adalah salam secara utuh atau minimal “assamu’alaikum.” Karena lafadz “salaman” (سَلٰمًا) setelah kata “faqaalu” (فَقَالُوْا) bisa saja kedudukannya dianggap sebagai maf’ul bih biasa, bukan maqaalul qaul. Walau pun, ayat ini masih dapat ditafsirkan berbeda, setelah memperhatikan kalimat setelahnya, “qaala salamun” (قَالَ سَلٰمٌ). Imam Ibnu Kasir dalam kitab Tafsirnya terkait ayat ini, mengatakan  Rafa' lebih kuat dan lebih kukuh daripada nasab, maka menjawab dengan memakai rafa' lebih utama daripada memulainya. Di sini Ibnu Kasir seolah ingin mengatakan, “salaman” dalam ayat tersebut memang demikian lafadznya, makanya dijawab dengan “salamun” saja cukup, dengan lafadnya yang sama-sama pendeknya. walau ia katakan lafadz “salamun” adalah lebih baik.

Lebih jauh, mari kita simak ayat berikut ini:

فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلامٌ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat tinggal)." Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk). (al-Zuhruf: 89)

Maka ayat inilah inti sari dari pembahasan kita. Dengan ayat ini kita dapat menyimpulkan bahwa mengucapkan salam hanya dengan kata “salam” saja adalah cukup. Dan ayat ini lah dalilnya. Sebab kedudukan lafadz “salamun” (سَلامٌ) pada ayat ini merupakan maqaalul qaul dari dari lafadz “qul” (قُلْ) sebelumnya. Yang artinya, lafadz “salamun” (سَلامٌ) tersebut adalah lafadz asalnya. Oleh karena itu, maka berarti mengucapkan salam hanya dengan lafadz salam saja adalah boleh, serta insyaallah berpahala. Sebab, telah menurut apa kata al-Qur’an.

Waallahu a’lam bi al-Shawaab…..
Share:

Kamis, 11 Januari 2018

SEPUTAR SALAM YANG PENUH RAHMAT

Marilah kita bersama-sama merenungkan ungkapan rahmat Allah yang terdapat dalam salam;

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Adapun keselamatan, rahmat Allah dan barokah-barokahnya senantiasa atas kamu (kalian).

Pertama-tama, mengucapkan salam merupakan amalan muslim paling baik[1]. Selain, ia memberikan pahala, secara keseluruhanan kalimatnya ketika diucapkan pada sesama, juga memiliki kandungan hikmah pada tiap-tiap lafadz, memasuki aspek-aspek terluas dalam kaedah kebahasaannya.

Bahwa dalam salam ada dua kata menarik yang entah disengaja atau tidak disebutkan berdampingan, yakni وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُه. Kata barokah di sini diungkapkan dengan jama’ (artinya dalam kaidah bahasa arab, adalah menunjukkan banyak, minimal lebih dari dua), menunjukkan kalau barokah Allah yang dianugrahkan terhadap hamba-hamabanya adalah memang banyak bertebaran di muka bumi.

Kemudian, rahmah disitu dinyatakan dengan lafadz mufrad atau masdar artinya, menunjukkan satu. Menariknya, bahwa pengungkapan ini pasti sangatlah disengaja dan teliti, bahkan pasti diidealisasi oleh seseorang yang menguasai kaidah-kaidah kebahasaan yang tinggi. Apakah mungkin semata-semata disampaikan oleh Nabi Muhammad yang dikatakan ummi (tidak bisa baca-tulis)? Wallahu a’lam.

Apakah benar di dunia ini, rahmat Allah hanya ada satu? Jawabannya terdapat di hadits berikut ini;


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الرَّحْمَةَ يَوْمَ خَلَقَهَا مِائَةَ رَحْمَةٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً وَأَرْسَلَ فِي خَلْقِهِ كُلِّهِمْ رَحْمَةً وَاحِدَةً فَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ لَمْ يَيْئَسْ مِنْ الْجَنَّةِ وَلَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الْعَذَابِ لَمْ يَأْمَنْ مِنْ النَّارِ

Sesungguhnya Allah Swt mencipatakan rahmat, pada hari penciptaannya Allah Swt menciptakan 100 rahmat, kemudian Dia menahan disisi-Nya 99 rahmat, dan melepeskan untuk seluruh ciptaannya satu rahmat. Jadi, jika orang kafir mengetahui seluruh rahmat yang ada pada sisi Allah Swt, maka dia tidak akan putus asa dari (mendapatkan) surga, dan Jika seorang yang beriman mengetahui seluruh bentuk azab yang ada pada sisi Allah Swt, maka dia tidak akan merasa aman dari neraka. (H.R Bukhari).

Begitulah mengapa penulis katakan pengungkapan “rahmat” dalam “salam” dengan lafadz mufrad atau mashdar tersebut pasti disengaja dan penuh perhitungan. Sebab, setelah di al-jam’u wa al-taufiq dengan hadits-hadits yang se tema ternyata memang tidak ada pertentangan. Bahwa cukup dengan satu rahmat saja, betapa keteladanan kasih sayang Rasulullah terhadap sahabat-sahabatnya, terhadap tetangganya, terhadap yang memusuhinya bahkan terhadap umatnya, kita hanya bisa terkagum-kagum terhadap beliau. Dan beliau membuktikannya, bisa. Jadi jangan kuwatir dengan satu rahmat tersebut, sebab ia meliputi segalanya kecuali jika kita dikalahkan oleh angkara-murka dan amarah kita.

Masih tentang salam, maka melafadzkannya harus dengan benar sesuai kaidah kebahasaan, kaidah bahasa arab tentunya. Seperti kata “wabarokaatuh” yang kadang masih ditemukan dalam kebiasaan masyarakat umum, membacanya “wabarkatuh.” Penulis tidak tahu, apakah hal tersebut dapat merubah makna? Hanya saja, jika dilakukan dalam shalat, maka dikawatirkan dapat membatalkan shalat tersebut. Karena, semestinya ia diucapkan dengan jama' (wabarokatuh) bukan mufrad (wabarkatuh).
 
Jumhur ulama sepakat jika dalam shalat lima fardlu, maka yang lebih afdlol cukup mengucapkan السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ . Namun, ketika dalam shalat janazah, maka lebih afdlol mengucapkan dengan lengkap, yakni السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ . hal ini didasarkan atas pertimbangan jumlah banyaknya hadits yang membahas pada masing-masing kedua persoalan tersebut.

Terakhir, yang pasti dengan salam yang kita ucapkan, kita telah mendoakan orang lain yang pahalanya secara otomatis akan kembali kepada kita, sebab ia adalah sunnah Nabi. Kemudian salam juga merupakan jati diri dari seorang muslim, yang dengannya berarti kita telah menebarkan kedamaian dan rahmat pada sendi-sendi aktifitas kehidupan yang paling sederhana pada manusia maupun alam semesta.

Wallahu a’lam bi al-shawaab…..


[1] Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ « تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ ، وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ »

“Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali. ” (HR. Bukhari no. 6236)
Share:

Sabtu, 06 Januari 2018

JILBAB; YANG WAJIB ITU WAJIB, YANG SUNNAH ITU SUNNAH

Prinsipnya penetapan hukum dalam Islam (istinbat al-hukm fi al-Islam) bersifat universal, kecuali berdasarkan pada ketentuan atau dalil yang sharih. Artinya, jika hal itu haram, maka ada dalil akan keharamannya. Jika hal itu wajib, maka dasar tentang kewajibannya juga jelas.[1] Namun, seandainya berdasarkan pada dalil selain tersebut, semisal pada dalil perintah atau larangan dan lain-lain, maka ketika terjadi silang pendapat mengitarinya sejatinya itu merupakan hal yang wajar dan mafhum.

Ini juga terjadi pada dinamika hukum hijab, jilbab, kerudung atau yang sejenisnya. Bahwa ada sebagian yang berpendapat mengenakan jilbab bagi wanita muslimah tidaklah wajib, melainkan sunnah, sebagai mana keyakinan Prof. Dr Muhammad Quraish Shihab, Gusdur (K.H Abdurrahman Wahid),  Siti Musdah Mulia dan orang-orang yang dipandang liberal lainnya. Hal ini, tentu bersebarangan dengan pendapat jumhur ulama yang mengatakan, bahwa memakai jilbab bagi seorang muslimah adalah wajib.

Namun, yang pasti merujuk pada keseluruhan nash, baik menurut Al-Qur'an dan Hadis, maka dari keduanya  tidak mengimplikasikan akan hukum tertentu, wajib maupun Sunnah (atau bisa jadi memang sunnah, karena Memang merupakan anjuran Rasulullah SAW). Hasil hukum keduanya berdasarkan hasil interpretasi ulama masing-masing yang kemudian menjadi polemik dan kontraseptik.

Pendapat Jumhur Ulama yang menghukumi wajib Jilbab adalah berdasar ayat:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Dan juga ayat:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31).

Kedua ayat di atas, merupakan dalil yang kemudian menghasilkan konsensus akan kewajiban Jilbab. Walau pada dasarnya dzahir ayat tersebut tidak kita dapati bagian kalimat yang mengatakan secara gamblang bahwa jilbab adalah wajib. Apalagi pada ayat pertama, adanya perintah mengulurkan jilbab sekaligus dipertegas dengan alasan yang mengitarinya, meminjam bahasa Imam asy-Syaukani rahimahullah, yakni agar istri-istri Nabi mudah dikenali. Dalam bahasa Imam As-Suyuti dalam tafsirnya Duur Al-Mansuur Fi Tafsir Bil Ma’tsur menjelaskan perihal ayat pertama: “Jilbab dimaksudkan agar orang-orang dapat membedakan yang mana perempuan merdeka. Makanya sahabat Umar tidak menyuruh budak perempuan untuk berjilbab dan berkata: jilbab adalah untuk perempuan merdeka, agar mereka tidak dilecehkan. Sahabat Umar pernah melihat seorang budak perempuan berjilbab lalu memukulnya dengan tongkatnya, berkata, “lepaskan jilbab itu, jangan coba-coba berpakaian seperti perempuan merdeka!.”  Jadi, isyarat ayat tersebut sebagai mana asbab turunnya, lebih pada faktor perlindungan terhadap istri-istri Nabi dari kejahilan laki-laki Madinah hidung belang.

Tapi, paling tidak asumsi penulis akan penafsiran wajib itu  terkait perintah (lam amr) yakni pada lafadz وليضربن; dimana menurut kaidah ushul fiqh, bahwa asal dari perintah adalah menunjukkan wajib. Apalagi lam amr dalam lafadz tersebut disandingkan pula dibelakangnya nun taukid khafifah, yang mana dalam kaedah etimologi arab jika itu amr, maka perintah tersebut sangat ditekankan. Namun demikian, perintah yang menunjukkan wajib tidak secara otomatis. Tergantung konsensus dan dalil-dalil lain yang saling menguatkan. Dan untuk konteks kasus seperti ini, maka menjadi maklum dan wajar jika akan terjadi perbedaan bahkan perdebatan.

Selain dua ayat tersebut di atas, sebetulnya ada beberapa ayat dan hadits lagi yang ditunjukkan sebagai penguat akan dalil wajibnya jilbab. Namun, yang paling mendasar adalah kedua ayat tersebut sehingga penulis menggap tidak perlu menguraikan selainnya pula di sini. Silahkan ditinjau lebih lanjut sendiri-sendiri :)

Kemudian, bagi mereka yang berpendapat memakai jilbab adalah sunnah; dasar pijakannya tentu karena meninjau aspek-aspek ayat dan hadits yang memang tidak menunjukkan pada implikasi hukum tertentu, baik wajib maupun sunnah. Sedang interpretasi sunnah terakumulasi atas realitas bahwa hal itu pernah diperintahkan dan sikap Nabi tentangnya jelas, yakni Nabi pernah berpaling dari Asma’ binti Abu Bakar dikarenakan memakai pakaian pendek waktu menemui Rasulullah.[2] Pernah juga Nabi menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab meminjam jilbab temannya.[3] Itu artinya bahwa aktivitas memakai jilbab adalah sunah, sebab sudah dilakukan sejak masa Rasul dan beliau pun memerintahkannya. Oleh sebab itu, meski kelompok ini mensunahkan jilbab, tetapi tetap menganggap dan menganjurkan memakainya adalah lebih baik dan terhormat.

Bagian yang ekstrim dalam barisan ini, bahwa mereka lebih mendasarkan rujukan pemikiran mereka pada temporalitas kultur setempat, dengan mengaitkan pada contoh istri-istri tokoh tertentu, juga realitas masyarakat yang menunjukkan bahwa yang memakai jilbab tidak mesti lebih baik. Selain itu, kata mereka jilbab tidak lebih hanyalah warisan tradisional masyarakat arab yang tidak ada kaitannya dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Oleh karenanya, kelompok ini sering disebut liberal dan pendapatnya cendrung dijauhi bahkan dicela masyarakat umum.

Demikianlah polemik seputar jilbab yang telah memicu tensi tersendiri, di mana diketahui antara dua kubu salah satunya telah menjadi kelompok yang dicela, dicemooh, disayangkan bahkan dianggap bagian yang telah melenceng jauh keluar dari dasar Islam.

Ø  Seandainya anda termasuk yang mengganggap jilbab adalah wajib, sudahkah disekeliling anda, keluarga anda, anak anda, istri anda, ibu anda? Sudahkah semua memakai jilbab? Jika belum. Sampai kapan target anda membuat mereka akhrinya memakainya. Seberapa tegaskah anda dalam mewanti-wanti mereka. Dan jika ternyata mereka belum mau memakainya? Seberapa besar kira-kira dosa anda, karena membiarkan mereka dalam waktu lama tidak memakai kerudung, sementara mereka dalam tangguangan anda sebagai pemimpin keluarga. Padahal, kata ustadz Abdul Shomad “Orang-orang yang sering menyalahi hal wajib maka ia fasiq."

Ø  Seandainya anda termasuk yang menganggap jilbab itu wajib. Sudahkah anda berpaling terhadap hal-hal maksiat (aurat) atau paling tidak anda telah berusaha sekuat tenaga menghindarinya dengan keyakinan dan hati? Sebab, aurat atau maksiat tidak hanya mengemban dosa buat pelakunya, tapi bagi siapa saja yang ada disekelilingnya yang melihatnya. Camkan! banyak sekali disekililing kita yang tidak memakai kerudung. Itu artinya, kita akan berdosa jika dengan sengaja melihatnya. Oleh karena itu tahanlah pandangan kita, sebagaimana Nabi pernah melakukannya dulu;

Dari Aisyah ra. diriwayatkan: Bahwasanya Asma' binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw, sementara ia berpakaian pendek. Maka berpalinglah Rasulullah saw seraya berkomentar:

يَاأَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَ هَذَا٬ وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْه٠

"Wahai Asma', sesungguhnya wanita, apabila telah baligh, tidak pantas terlihat kecuali ini dan ini (beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
 
Ø  Senadainya anda termasuk yang berpendapat jilbab itu sunah. Sudahkah dedikasi anda lebih banyak pada agama atau lebih besar pada hal-hal duniawi? Atau paling tidak, sudahkah loyalitas anda pada agama dan duniawi adalah seimbang? Atau bisakah anda berfikir ketika anda Islam, maka ia menjadi hak anda, lalu kewajiban anda adalah menjaganya. Lalu dengan dan sekuat apa anda menjaganya, terutama kebenaran (haq) nya? Jika belum! Ketahuilah, balasan akhirat anda itu nyata karena kebenaran agama anda.

Wallahu a’lam bi al-shawabbb

Terakhir kali, semoga tulisan tidak sedang mendukung kelompok dan pendapat yang mana pun. Dan semoga tulisan ini bisa menjadi renungan terutama bagi penulis pribadi. Amin……


[1]          (إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ) رواه البخاري ومسلم .

Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya. Ketahuilah setiap raja memeliki pagar (aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

[2] Dari Aisyah ra. diriwayatkan: Bahwasanya Asma' binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw, sementara ia berpakaian pendek. Maka berpalinglah Rasulullah saw seraya berkomentar:

 يَاأَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَ هَذَا٬ وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْهِ٠

"Wahai Asma', sesungguhnya wanita, apabila telah baligh, tidak pantas terlihat kecuali ini dan ini (beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]

[3] hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
Share:
TERIMA KASIH