Prinsipnya
penetapan hukum dalam Islam (istinbat al-hukm fi al-Islam) bersifat universal,
kecuali berdasarkan pada ketentuan atau dalil yang sharih. Artinya, jika hal
itu haram, maka ada dalil akan keharamannya. Jika hal itu wajib, maka dasar
tentang kewajibannya juga jelas.[1] Namun,
seandainya berdasarkan pada dalil selain tersebut, semisal pada dalil perintah
atau larangan dan lain-lain, maka ketika terjadi silang pendapat mengitarinya
sejatinya itu merupakan hal yang wajar dan mafhum.
Ini
juga terjadi pada dinamika hukum hijab, jilbab, kerudung atau yang sejenisnya. Bahwa
ada sebagian yang berpendapat mengenakan jilbab bagi wanita muslimah tidaklah
wajib, melainkan sunnah, sebagai mana keyakinan Prof. Dr Muhammad Quraish Shihab,
Gusdur (K.H Abdurrahman Wahid), Siti
Musdah Mulia dan orang-orang yang dipandang liberal lainnya. Hal ini, tentu
bersebarangan dengan pendapat jumhur ulama yang mengatakan, bahwa memakai
jilbab bagi seorang muslimah adalah wajib.
Namun, yang pasti merujuk pada keseluruhan nash, baik menurut Al-Qur'an dan Hadis, maka dari keduanya tidak mengimplikasikan akan hukum tertentu, wajib maupun Sunnah (atau bisa jadi memang sunnah, karena Memang merupakan anjuran Rasulullah SAW). Hasil hukum
keduanya berdasarkan hasil interpretasi ulama masing-masing yang kemudian menjadi polemik
dan kontraseptik.
Pendapat
Jumhur Ulama yang menghukumi wajib Jilbab adalah berdasar ayat:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab:
59).
Dan juga
ayat:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31).
Kedua
ayat di atas, merupakan dalil yang kemudian menghasilkan konsensus akan
kewajiban Jilbab. Walau pada dasarnya dzahir ayat tersebut tidak kita dapati
bagian kalimat yang mengatakan secara gamblang bahwa jilbab adalah wajib. Apalagi
pada ayat pertama, adanya perintah mengulurkan jilbab sekaligus dipertegas
dengan alasan yang mengitarinya, meminjam bahasa Imam asy-Syaukani rahimahullah,
yakni agar istri-istri Nabi mudah dikenali. Dalam bahasa Imam As-Suyuti dalam
tafsirnya Duur Al-Mansuur Fi Tafsir Bil Ma’tsur menjelaskan perihal ayat
pertama: “Jilbab dimaksudkan agar orang-orang dapat membedakan yang mana
perempuan merdeka. Makanya sahabat Umar tidak menyuruh budak perempuan untuk berjilbab
dan berkata: jilbab adalah untuk perempuan merdeka, agar mereka tidak
dilecehkan. Sahabat Umar pernah melihat seorang budak perempuan berjilbab lalu
memukulnya dengan tongkatnya, berkata, “lepaskan jilbab itu, jangan coba-coba
berpakaian seperti perempuan merdeka!.” Jadi,
isyarat ayat tersebut sebagai mana asbab turunnya, lebih pada faktor
perlindungan terhadap istri-istri Nabi dari kejahilan laki-laki Madinah hidung belang.
Tapi,
paling tidak asumsi penulis akan penafsiran wajib itu terkait perintah (lam amr) yakni
pada lafadz وليضربن; dimana menurut
kaidah ushul fiqh, bahwa asal dari perintah adalah menunjukkan wajib. Apalagi lam
amr dalam lafadz tersebut disandingkan pula dibelakangnya nun taukid
khafifah, yang mana dalam kaedah etimologi arab jika itu amr, maka
perintah tersebut sangat ditekankan. Namun demikian, perintah yang menunjukkan wajib tidak secara otomatis. Tergantung konsensus dan dalil-dalil
lain yang saling menguatkan. Dan untuk konteks kasus seperti ini,
maka menjadi maklum dan wajar jika akan terjadi perbedaan bahkan perdebatan.
Selain
dua ayat tersebut di atas, sebetulnya ada beberapa ayat dan hadits lagi yang
ditunjukkan sebagai penguat akan dalil wajibnya jilbab. Namun, yang paling
mendasar adalah kedua ayat tersebut sehingga penulis menggap tidak perlu
menguraikan selainnya pula di sini. Silahkan ditinjau lebih lanjut
sendiri-sendiri :)
Kemudian,
bagi mereka yang berpendapat memakai jilbab adalah sunnah; dasar pijakannya
tentu karena meninjau aspek-aspek ayat dan hadits yang memang tidak menunjukkan
pada implikasi hukum tertentu, baik wajib maupun sunnah. Sedang interpretasi
sunnah terakumulasi atas realitas bahwa hal itu pernah diperintahkan dan sikap
Nabi tentangnya jelas, yakni Nabi pernah berpaling dari Asma’ binti Abu Bakar
dikarenakan memakai pakaian pendek waktu menemui Rasulullah.[2] Pernah
juga Nabi menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab meminjam jilbab temannya.[3] Itu
artinya bahwa aktivitas memakai jilbab adalah sunah, sebab sudah dilakukan
sejak masa Rasul dan beliau pun memerintahkannya. Oleh sebab itu, meski kelompok
ini mensunahkan jilbab, tetapi tetap menganggap dan menganjurkan memakainya
adalah lebih baik dan terhormat.
Bagian
yang ekstrim dalam barisan ini, bahwa mereka lebih mendasarkan rujukan
pemikiran mereka pada temporalitas kultur setempat, dengan mengaitkan pada
contoh istri-istri tokoh tertentu, juga realitas masyarakat yang menunjukkan
bahwa yang memakai jilbab tidak mesti lebih baik. Selain itu, kata mereka
jilbab tidak lebih hanyalah warisan tradisional masyarakat arab yang tidak ada
kaitannya dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Oleh karenanya,
kelompok ini sering disebut liberal dan pendapatnya cendrung dijauhi bahkan
dicela masyarakat umum.
Demikianlah
polemik seputar jilbab yang telah memicu tensi tersendiri, di mana diketahui
antara dua kubu salah satunya telah menjadi kelompok yang dicela, dicemooh, disayangkan
bahkan dianggap bagian yang telah melenceng jauh keluar dari dasar Islam.
Ø Seandainya anda termasuk yang mengganggap jilbab adalah wajib,
sudahkah disekeliling anda, keluarga anda, anak anda, istri anda, ibu anda? Sudahkah
semua memakai jilbab? Jika belum. Sampai kapan target anda membuat mereka
akhrinya memakainya. Seberapa tegaskah anda dalam mewanti-wanti mereka. Dan jika
ternyata mereka belum mau memakainya? Seberapa besar kira-kira dosa anda,
karena membiarkan mereka dalam waktu lama tidak memakai kerudung, sementara mereka
dalam tangguangan anda sebagai pemimpin keluarga. Padahal, kata ustadz Abdul
Shomad “Orang-orang yang sering menyalahi hal wajib maka ia fasiq."
Ø Seandainya anda termasuk yang menganggap jilbab itu wajib. Sudahkah
anda berpaling terhadap hal-hal maksiat (aurat) atau paling tidak anda telah
berusaha sekuat tenaga menghindarinya dengan keyakinan dan hati? Sebab, aurat
atau maksiat tidak hanya mengemban dosa buat pelakunya, tapi bagi siapa saja
yang ada disekelilingnya yang melihatnya. Camkan! banyak sekali disekililing
kita yang tidak memakai kerudung. Itu artinya, kita akan berdosa jika dengan
sengaja melihatnya. Oleh karena itu tahanlah pandangan kita, sebagaimana Nabi
pernah melakukannya dulu;
Dari Aisyah ra.
diriwayatkan: Bahwasanya Asma' binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw,
sementara ia berpakaian pendek. Maka berpalinglah Rasulullah saw seraya
berkomentar:
يَاأَسْمَاءُ إِنَّ
الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ
هَذَا وَ هَذَا٬ وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْه٠
"Wahai
Asma', sesungguhnya wanita, apabila telah baligh, tidak pantas terlihat kecuali
ini dan ini (beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya)." [HR. Abu
Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh
al-Albâni rahimahullah]
Ø Senadainya anda termasuk yang berpendapat jilbab itu sunah. Sudahkah
dedikasi anda lebih banyak pada agama atau lebih besar pada hal-hal duniawi? Atau
paling tidak, sudahkah loyalitas anda pada agama dan duniawi adalah seimbang? Atau
bisakah anda berfikir ketika anda Islam, maka ia menjadi hak anda, lalu
kewajiban anda adalah menjaganya. Lalu dengan dan sekuat apa anda menjaganya,
terutama kebenaran (haq) nya? Jika belum! Ketahuilah, balasan akhirat anda itu
nyata karena kebenaran agama anda.
Wallahu
a’lam bi al-shawabbb
Terakhir
kali, semoga tulisan tidak sedang mendukung kelompok dan pendapat yang mana
pun. Dan semoga tulisan ini bisa menjadi renungan terutama bagi penulis
pribadi. Amin……
[1] (إِنَّ الحَلالَ
بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ
يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ
اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي
الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا
وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا
وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا
فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ) رواه البخاري ومسلم .
Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma, dia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi wa Sallam
bersabda: “Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan
di antara keduanya terdapat perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah
menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara
yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala
yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.
Ketahuilah setiap raja memeliki pagar (aturan), aturan Allah adalah
larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging jika
dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh
jasad. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[2] Dari
Aisyah ra. diriwayatkan: Bahwasanya Asma' binti Abi Bakar menemui Rasulullah
saw, sementara ia berpakaian pendek. Maka berpalinglah Rasulullah saw seraya
berkomentar:
يَاأَسْمَاءُ
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا
إِلاَّ هَذَا وَ هَذَا٬ وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْهِ٠
"Wahai Asma', sesungguhnya wanita, apabila telah baligh, tidak
pantas terlihat kecuali ini dan ini (beliau menunjuk wajah dan kedua telapak
tangannya)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini
di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
[3] hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أُمِّ
عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ،
وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا
صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami
diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan
untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid
harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai
Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia
keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk
dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
afwan stau sy yg bnr itu aamiin beda arti hehe di artikel ini tdk sprti itu dan jg bukankah 'asma itu memakai baju tipis ? bkn pendek? maaf klau salah hehe
BalasHapusBetul akhi ada yg bilang asma berbaju tipis ada juga yg mengatakan berbaju pendek, begitu yg saya tau. Dan udh banyak yg menjelaskan.
HapusSoal kata Amin, kalau merujuk pada tafsir Ibnu Katsir di fashl fil al-ta'min, boleh dibaca sebagai beriku; dgn keterangan cara membacanya seperti sebagaimana kita membaca yasin, tp kadang rosul membaca panjang (Aamiin) kadang membaca pendek (Amin), atau ada yg membaca juga dgn ditasydidkan Huruf mimnya sebagaimana jafar shadiq dn hasan cucu rasul (aammiin)
Terima kasih atas koreksinya Akhi
dan jg cb deh antum cri2 lg pembahasan ttg jilbab lewat hadits2 jg hehe yg lebih lengkap maaf kalau slh kata ya
BalasHapusAbdul somad??
BalasHapusSaya tidak sepaham dgn dia.