السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Sabtu, 06 Januari 2018

JILBAB; YANG WAJIB ITU WAJIB, YANG SUNNAH ITU SUNNAH

Prinsipnya penetapan hukum dalam Islam (istinbat al-hukm fi al-Islam) bersifat universal, kecuali berdasarkan pada ketentuan atau dalil yang sharih. Artinya, jika hal itu haram, maka ada dalil akan keharamannya. Jika hal itu wajib, maka dasar tentang kewajibannya juga jelas.[1] Namun, seandainya berdasarkan pada dalil selain tersebut, semisal pada dalil perintah atau larangan dan lain-lain, maka ketika terjadi silang pendapat mengitarinya sejatinya itu merupakan hal yang wajar dan mafhum.

Ini juga terjadi pada dinamika hukum hijab, jilbab, kerudung atau yang sejenisnya. Bahwa ada sebagian yang berpendapat mengenakan jilbab bagi wanita muslimah tidaklah wajib, melainkan sunnah, sebagai mana keyakinan Prof. Dr Muhammad Quraish Shihab, Gusdur (K.H Abdurrahman Wahid),  Siti Musdah Mulia dan orang-orang yang dipandang liberal lainnya. Hal ini, tentu bersebarangan dengan pendapat jumhur ulama yang mengatakan, bahwa memakai jilbab bagi seorang muslimah adalah wajib.

Namun, yang pasti merujuk pada keseluruhan nash, baik menurut Al-Qur'an dan Hadis, maka dari keduanya  tidak mengimplikasikan akan hukum tertentu, wajib maupun Sunnah (atau bisa jadi memang sunnah, karena Memang merupakan anjuran Rasulullah SAW). Hasil hukum keduanya berdasarkan hasil interpretasi ulama masing-masing yang kemudian menjadi polemik dan kontraseptik.

Pendapat Jumhur Ulama yang menghukumi wajib Jilbab adalah berdasar ayat:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Dan juga ayat:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31).

Kedua ayat di atas, merupakan dalil yang kemudian menghasilkan konsensus akan kewajiban Jilbab. Walau pada dasarnya dzahir ayat tersebut tidak kita dapati bagian kalimat yang mengatakan secara gamblang bahwa jilbab adalah wajib. Apalagi pada ayat pertama, adanya perintah mengulurkan jilbab sekaligus dipertegas dengan alasan yang mengitarinya, meminjam bahasa Imam asy-Syaukani rahimahullah, yakni agar istri-istri Nabi mudah dikenali. Dalam bahasa Imam As-Suyuti dalam tafsirnya Duur Al-Mansuur Fi Tafsir Bil Ma’tsur menjelaskan perihal ayat pertama: “Jilbab dimaksudkan agar orang-orang dapat membedakan yang mana perempuan merdeka. Makanya sahabat Umar tidak menyuruh budak perempuan untuk berjilbab dan berkata: jilbab adalah untuk perempuan merdeka, agar mereka tidak dilecehkan. Sahabat Umar pernah melihat seorang budak perempuan berjilbab lalu memukulnya dengan tongkatnya, berkata, “lepaskan jilbab itu, jangan coba-coba berpakaian seperti perempuan merdeka!.”  Jadi, isyarat ayat tersebut sebagai mana asbab turunnya, lebih pada faktor perlindungan terhadap istri-istri Nabi dari kejahilan laki-laki Madinah hidung belang.

Tapi, paling tidak asumsi penulis akan penafsiran wajib itu  terkait perintah (lam amr) yakni pada lafadz وليضربن; dimana menurut kaidah ushul fiqh, bahwa asal dari perintah adalah menunjukkan wajib. Apalagi lam amr dalam lafadz tersebut disandingkan pula dibelakangnya nun taukid khafifah, yang mana dalam kaedah etimologi arab jika itu amr, maka perintah tersebut sangat ditekankan. Namun demikian, perintah yang menunjukkan wajib tidak secara otomatis. Tergantung konsensus dan dalil-dalil lain yang saling menguatkan. Dan untuk konteks kasus seperti ini, maka menjadi maklum dan wajar jika akan terjadi perbedaan bahkan perdebatan.

Selain dua ayat tersebut di atas, sebetulnya ada beberapa ayat dan hadits lagi yang ditunjukkan sebagai penguat akan dalil wajibnya jilbab. Namun, yang paling mendasar adalah kedua ayat tersebut sehingga penulis menggap tidak perlu menguraikan selainnya pula di sini. Silahkan ditinjau lebih lanjut sendiri-sendiri :)

Kemudian, bagi mereka yang berpendapat memakai jilbab adalah sunnah; dasar pijakannya tentu karena meninjau aspek-aspek ayat dan hadits yang memang tidak menunjukkan pada implikasi hukum tertentu, baik wajib maupun sunnah. Sedang interpretasi sunnah terakumulasi atas realitas bahwa hal itu pernah diperintahkan dan sikap Nabi tentangnya jelas, yakni Nabi pernah berpaling dari Asma’ binti Abu Bakar dikarenakan memakai pakaian pendek waktu menemui Rasulullah.[2] Pernah juga Nabi menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab meminjam jilbab temannya.[3] Itu artinya bahwa aktivitas memakai jilbab adalah sunah, sebab sudah dilakukan sejak masa Rasul dan beliau pun memerintahkannya. Oleh sebab itu, meski kelompok ini mensunahkan jilbab, tetapi tetap menganggap dan menganjurkan memakainya adalah lebih baik dan terhormat.

Bagian yang ekstrim dalam barisan ini, bahwa mereka lebih mendasarkan rujukan pemikiran mereka pada temporalitas kultur setempat, dengan mengaitkan pada contoh istri-istri tokoh tertentu, juga realitas masyarakat yang menunjukkan bahwa yang memakai jilbab tidak mesti lebih baik. Selain itu, kata mereka jilbab tidak lebih hanyalah warisan tradisional masyarakat arab yang tidak ada kaitannya dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Oleh karenanya, kelompok ini sering disebut liberal dan pendapatnya cendrung dijauhi bahkan dicela masyarakat umum.

Demikianlah polemik seputar jilbab yang telah memicu tensi tersendiri, di mana diketahui antara dua kubu salah satunya telah menjadi kelompok yang dicela, dicemooh, disayangkan bahkan dianggap bagian yang telah melenceng jauh keluar dari dasar Islam.

Ø  Seandainya anda termasuk yang mengganggap jilbab adalah wajib, sudahkah disekeliling anda, keluarga anda, anak anda, istri anda, ibu anda? Sudahkah semua memakai jilbab? Jika belum. Sampai kapan target anda membuat mereka akhrinya memakainya. Seberapa tegaskah anda dalam mewanti-wanti mereka. Dan jika ternyata mereka belum mau memakainya? Seberapa besar kira-kira dosa anda, karena membiarkan mereka dalam waktu lama tidak memakai kerudung, sementara mereka dalam tangguangan anda sebagai pemimpin keluarga. Padahal, kata ustadz Abdul Shomad “Orang-orang yang sering menyalahi hal wajib maka ia fasiq."

Ø  Seandainya anda termasuk yang menganggap jilbab itu wajib. Sudahkah anda berpaling terhadap hal-hal maksiat (aurat) atau paling tidak anda telah berusaha sekuat tenaga menghindarinya dengan keyakinan dan hati? Sebab, aurat atau maksiat tidak hanya mengemban dosa buat pelakunya, tapi bagi siapa saja yang ada disekelilingnya yang melihatnya. Camkan! banyak sekali disekililing kita yang tidak memakai kerudung. Itu artinya, kita akan berdosa jika dengan sengaja melihatnya. Oleh karena itu tahanlah pandangan kita, sebagaimana Nabi pernah melakukannya dulu;

Dari Aisyah ra. diriwayatkan: Bahwasanya Asma' binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw, sementara ia berpakaian pendek. Maka berpalinglah Rasulullah saw seraya berkomentar:

يَاأَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَ هَذَا٬ وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْه٠

"Wahai Asma', sesungguhnya wanita, apabila telah baligh, tidak pantas terlihat kecuali ini dan ini (beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
 
Ø  Senadainya anda termasuk yang berpendapat jilbab itu sunah. Sudahkah dedikasi anda lebih banyak pada agama atau lebih besar pada hal-hal duniawi? Atau paling tidak, sudahkah loyalitas anda pada agama dan duniawi adalah seimbang? Atau bisakah anda berfikir ketika anda Islam, maka ia menjadi hak anda, lalu kewajiban anda adalah menjaganya. Lalu dengan dan sekuat apa anda menjaganya, terutama kebenaran (haq) nya? Jika belum! Ketahuilah, balasan akhirat anda itu nyata karena kebenaran agama anda.

Wallahu a’lam bi al-shawabbb

Terakhir kali, semoga tulisan tidak sedang mendukung kelompok dan pendapat yang mana pun. Dan semoga tulisan ini bisa menjadi renungan terutama bagi penulis pribadi. Amin……


[1]          (إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ) رواه البخاري ومسلم .

Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya. Ketahuilah setiap raja memeliki pagar (aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

[2] Dari Aisyah ra. diriwayatkan: Bahwasanya Asma' binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw, sementara ia berpakaian pendek. Maka berpalinglah Rasulullah saw seraya berkomentar:

 يَاأَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَ هَذَا٬ وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْهِ٠

"Wahai Asma', sesungguhnya wanita, apabila telah baligh, tidak pantas terlihat kecuali ini dan ini (beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya)." [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]

[3] hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
Share:

4 komentar:

  1. afwan stau sy yg bnr itu aamiin beda arti hehe di artikel ini tdk sprti itu dan jg bukankah 'asma itu memakai baju tipis ? bkn pendek? maaf klau salah hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul akhi ada yg bilang asma berbaju tipis ada juga yg mengatakan berbaju pendek, begitu yg saya tau. Dan udh banyak yg menjelaskan.

      Soal kata Amin, kalau merujuk pada tafsir Ibnu Katsir di fashl fil al-ta'min, boleh dibaca sebagai beriku; dgn keterangan cara membacanya seperti sebagaimana kita membaca yasin, tp kadang rosul membaca panjang (Aamiin) kadang membaca pendek (Amin), atau ada yg membaca juga dgn ditasydidkan Huruf mimnya sebagaimana jafar shadiq dn hasan cucu rasul (aammiin)

      Terima kasih atas koreksinya Akhi

      Hapus
  2. dan jg cb deh antum cri2 lg pembahasan ttg jilbab lewat hadits2 jg hehe yg lebih lengkap maaf kalau slh kata ya

    BalasHapus
  3. Abdul somad??
    Saya tidak sepaham dgn dia.

    BalasHapus

TERIMA KASIH