السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selasa, 09 Februari 2016

SESUNGGUHNYA HARAM ITU JELAS (إن الحلال بين)

Menghukumi haram akan sesuatu tentu hanya hak prioritas Allah semata. Manusia tidak boleh macam-macam tentangnya. Kalau pun terpaksa melakukan penghukum haram, maka harus dengan dasar yang jelas. Sebab, yang namanya haram itu sedah jelas,[1] jelas lafadz dan teksnya, jelas sifatnya, dan jelas dalil-dalilnya.[2] Sebagai mana firma-firman Allah saw berikut ini,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

 “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Maidah: 3)

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah;” (QS. Al-Nahk: 115)

Pada ketiga ayat tersebut di atas, lafadz keharamanya jelas, yakni pada lafadz حَرَّمَ عَلَيْكُمُ. Dan untuk konteks ayat seperti ini, maka ia bersifat qhat’i dan mutlak. Berbeda dengan ayat berikut ini;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak  memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim (QS. Al-Maidah: 51)

Ayat ini, menjelaskan tentang larangan, bukan tentang haram. Hal itu, dapat dilihat dari redaksi lafadznya yang menggunakan la nahi (yang berarti larangan), pada lafadz لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ. Dan kaidah larangan dalam islam tidak bersifat mutlak.(realitas larangan, baca selengkapnya di sini) Ia bersifat kondisional-temporalistik, tergantung pada ada atau tidak adanya alasan yang mengitarinya dan pasti terjadi ikhtilaf tentangnya.

Oleh karenanya, meski MUI (Majlis Ulama Indonesia) pada tahun 2009 lalu telah mengharamkan rokok. Karena yang menjadi rujukan primer keharamnnya merupakan nash larangan, yaitu firmanNya.

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“. (QS. Al Baqarah: 195).

Yang perlu diperhatikan dari ayat ini, pertama, ayat ini mengandung larangan dengan mengunakan la nahi, pada lafadz la tulquu (لَا تُلْقُوا) sebagaimana yang telah dijelaskan diawal, bahwa larangan itu bersifat situasional-kondisional. Kedua, pandangan term kebinasaan atau berbahaya (pada lafadz, التَّهْلُكَةِ) tentu sangat relatif, yang bahaya untuk sebagian orang tidak bererti juga berbahaya dan membinasakan bagi sebagian yang lain. Oleh Karena itu, tidak berlebihan kiranya ketika terjadi pro-kontra akan keharaman rokok tersebut.

"Rokok itu mubah, sampai kiamat ulama NU tidak akan mengharamkan rokok. Fatwa rokok haram yang dikeluarkan oleh MUI dan didukung kelompok anti tembakau ini penuh tendensius, mereka ingin mematikan keberlangsungan hidup petani tembakau kita," tegas staf Dewan Halal PBNU, Kiai Arwani Faisal, Selasa (Sebagai mana dikutip oleh tribunnews.com. 14/10/2014).

Terakhir, terkait terminologi haram ini. Kita harus berhati-hati dalam menghukumi atau melabeli akan sesuatu itu haram, Jika tidak menurut dalil yang jelas keharamannya. Atau berijtihadlah dengan sungguh-sungguh ketika hendak menjadikan larangan naik menjadi haram, sebab tidak semua larangan otomatis menjadi haram. Jangan sampai kita mengharamkan sesuatu yang tidak ada dalil haramnya, sebab hal itu tidak diperkenankan oleh Nabi. Beliau saw bersabda dalam hadits yang shohih,

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Seorang muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang ditanyakan tentang sesuatu yang tidak diharamkan lalu dia mengharamkannya karena sebab ditanya.” (HR. Bukhari no. 6859).

Sekali lagi, HARAM itu jelas, jelas hukum dan fadznya. Jadi mari kita mengaharamkan dengan dalil jelas. Allah berfirman;


وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am [6] : 119)

Wallahu a’lam bi al-shawaab…


.[1]إن الحلال بين و الحرام بين

Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas.[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]

[2]. Dalam sunan, dari Salman Al Farisy secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) –ada pula yang mengatakannya mauquf (sampai pada sahabat) -, beliau berkata,

الْحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِى كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِى كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

“Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan sesuatu yang Allah diamkan adalah sesuatu yang dimaafkan.” (HR. Ibnu Majah no. 3367 dan Tirmidzi no. 5506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan)

Share:

0 comments:

Posting Komentar

TERIMA KASIH