السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Minggu, 30 April 2017

KESAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA LIBERALISME DAN SOSIALISME

Dalam sebuah postingan di Facebooknya, Muhammad al-Fayyadl, atau yang akrab di sapa Gus Fayyad mengatakan:

Apa kesamaan dan perbedaan antara liberalisme dan sosialisme?

Kesamaan keduanya adalah kebebasan. Bedanya, liberalisme membayar kebebasan itu dengan "cash" (tunai), sosialisme membayarnya dengan kredit (cicilan).

Bagi liberalisme, "yang penting aku bebas, persetan dengan kebebasan orang lain".

Bagi sosialisme, "kebebasanku bergantung pada kebebasan orang-orang; sebelum mereka semuanya bebas, aku sejatinya belum bebas".

Maka, liberalisme mengusahakan kebebasan lebih dulu untuk diperoleh dan dinikmati, meski dunia sekitarnya belum bebas dari penindasan. Sosialisme tidak mengklaim kebebasan, sebelum SEMUA orang bebas, yaitu mereka yang tertindas.

Sosialisme mengusahakan PEMBEBASAN, baru meraih KEBEBASAN. Liberalisme merayakan kebebasan tanpa bersusah-payah melakukan pembebasan.

Di dalam sosialisme terdapat akhlak (moralitas) mendasar, tanggung jawab sebelum kebebasan. Di dalam liberalisme, ada peragaan nafsu kebebasan, dengan sedikit tanggung jawab atau tanpa sama sekali.

Kita jadi tahu, dari keduanya, siapa yang paling sering berbuat ulah atas hancurnya kehidupan di atas bumi.
Share:

Rabu, 26 April 2017

PENGHUKUM RASULULLAH MUHAMMAD SAW

PADA sebuah majelis Nabi Muhammad Saw yang mulia, beliau membabar senarai kisah, bahwa kelak di hari kiamat ia akan memamerkan umatnya di hadapan para Nabi terdahulu—yang saking banyaknya sehingga menyarati dataran dan bebukitan. Lalu Allah berfirman kepada Nabi Saw, “Ridhakah engkau, ya Muhammad?”
Maka Nabi Saw pun menjawab, “Aku ridha, ya Tuhanku!”
Kemudian Allah berfirman lagi, “Sesungguhnya ada tujuh puluh ribu orang dari umatmu yang masuk surga tanpa hisab dengan wajah seperti bulan purnama.”

Para Sahabat yang hadir saat itu pun larut dalam kekaguman atas cerita tersebut. Lalu seketika Sahabat Ukasyah mendekati beliau dan berkata, “Ya Rasulullah, doakanlah aku termasuk golongan itu.”
“Engkau termasuk golongan mereka!” ujar Nabi Saw.

Melihat tindakan Ukasyah, beberapa Sahabat juga mendekati beliau dan minta didoakan seperti halnya Ukasyah. Beliau tersenyum melihat reaksi para Sahabat, dan bersabda, “Kalian sudah didahului Ukasyah.”

Ukasyah bin Mihshan al-Asadi adalah seorang sahabat dari kalangan Muhajirin yang berasal dari Bani Abdu Syams. Dalam bahasa kita hari ini, ia adalah mantan preman yang tobat secara nasuha, dan telah memeluk Islam pada masa terawal Islam sehingga termasuk dalam golongan as-Sabiqun al-Awwalun.

Saat Perang Badr, Ukasyah bin Mihshan adalah penunggang kuda terbaik, yang bertempur hingga pedangnya patah. Lalu Rasulullah memberinya sebatang kayu—yang dalam sebuah riwayat—berubah menjadi pedang tajam yang kemudian diberi julukan al-‘aun (pertolongan) oleh Ukasyah. Pedang itulah yang ia gunakan dalam pelbagai pertempuran hingga ajal menjemputnya saat memerangi Musailamah al-Kadzab (Sang Pendusta), pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra.

Kisah kebaikan hati Nabi Saw di atas, kemudian dibalas setimpal oleh Ukasyah jelang beliau wafat pada 621 M. Kala itu, Nabi Saw memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan guna memanggil para Sahabat merapat ke Masjid Nabawi. Mendengar panggilan Bilal, para Sahabat yang telah sekian lama memendam rindu pada kekasihnya, segera bergegas melangkah. Setelah mereka berkumpul di masjid, Nabi Saw datang menghampiri. Tubuhnya kelihatan lemah dan menyusut. Wajah beliau pias ronanya. Lalu Nabi Saw pun duduk di hadapan Sahabatnya tercinta, dan bertanya dalam lirih.

“Sahabatku… Apakah telah kusampaikan bahwa Allah adalah satusatunya tuhan yang wajib disembah?”
“Benar, ya Rasulullah. Engkau telah menyampaikan bahwa Allah adalah satusatunya tuhan yang wajib disembah,” jawab Sahabat membenarkan.
“Sesungguhnya aku ini adalah Nabimu, pemberi nasihat dan penyeru manusia ke jalan Allah dengan izin-Nya. Aku ini bagimu bagaikan saudara yang penyayang dan ayah yang pengasih. Aku akan pergi menemui Allah. Sebelum pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Adakah aku pernah berhutang pada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang itu? Karena aku tak mau bertemu Allah dalam keadaan berhutang sesuatu pun kepada manusia.”

Mendengar pernyataan tersebut meluncur dari bibir Nabi Saw yang mulia, para Sahabat sontak tertegun. Merunduk. Mereka dilamun haru. Tak menyangka jika kedatangan mereka kali itu, adalah perjumpaan terakhir dengan sosok agung yang mereka cintai sampai ke dalam sumsum. Tak satu pun mereka sanggup menimpali apa yang diucapkan Nabi Saw.

“Siapa yang merasa teraniaya olehku di antara kamu semua, hendaklah ia bangkit berdiri sekarang juga agar melakukan qishas (pembalasan) padaku, sebelum ia melakukannya pada hari Kiamat nanti.”

Para Sahabat kian tak berdaya. Mulut mereka tercekat dan bibirbibir menjadi kelu pada saat itu. Pertanyaan yang sama kembali diulang oleh Nabi Saw. Baru pada pertanyaan ketiga, seorang lelaki bangkit dari duduknya. Dialah Ukasyah bin Mihsan. Ia berdiri di hadapan Nabi Saw sambil berkata.

“Ibu dan ayahku menjadi tebusanmu, ya Rasulullah. Kalau tidaklah karena engkau telah berulang kali menuntut kami supaya berbuat sesuatu atas dirimu, tidaklah aku akan berani tampil mengabulkannya sesuai permintaanmu. Dulu, aku pernah bersamamu di medan perang Badr sehingga untaku sempat berdampingan satu kali dengan untamu. Aku pun turun dari punggung unta dan menghampirimu. Lantas aku pun mencium pahamu. Kemudian engkau mengangkat cemeti memukul untamu supaya berjalan cepat, tetapi engkau sebenarnya telah memukul tulang rusukku. Aku tidak tahu apakah saat itu engkau sengaja atau tidak, ya Rasul Allah, atau barangkali maksudmu saat itu hendak memukul untamu sendiri?”

Rasulullah Saw berkata, “Wahai ‘Ukasyah, Rasulullah Saw sengaja memukul kamu.” Kemudian beliu menyuruh Bilal supaya pergi ke rumah Fatimah, mengambil cemeti miliknya.

Meski berat hati, Bilal segera ke luar dari Nabawi dengan tangan yang diletakkan di atas kepala. Ia heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin Ukasyah begitu tega dan Nabi Saw pun mengakui kesalahannya. Sambil menunggu Bilal kembali, suasana di Nabawi menegang. Para Sahabat utama mulai tersulut emosinya. Sebagian yang lain, menyorongkan pandangan ke arah Ukasyah yang tak tahu diri.
Bilal pun tiba di rumah Sayyidatina Fatimah. Ia mengetuk pintu sambil menguluk salam.

“Siapakah di luar?” tanya Fatimah.
“Saya Bilal. Datang kepadamu guna mengambil cemeti Rasulullah.”
“Duhai Bilal, apakah yang akan dilakukan ayahku dengan cambuknya?”
“Ya Fatimah! Ayahmu memberikan kesempatan kepada orang lain agar mengambil qishas terhadap dirinya.”
“Siapakah pula gerangan orang itu yang sampai hati mengqishas Rasulullah?” tanya Fatimah keheranan. Biarlah aku saja yang menjadi gantinya.”

Bilal ra tidak menjawab pertanyaan itu. Setelah Fatimah menyerahkan apa yang hendak diminta ayahandanya, Bilal pun mengambil cemeti tersebut dan kembali ke Nabawi. Lalu diberikannya kepada Rasulullah, yang kemudian menyerahkan cemeti itu ke tangan Ukasyah. Suasana mendadak panas. Semua Sahabat berdiri. Saat itulah, Abu Bakar dan Umar, maju menahan keinginan Ukasyah yang luarbiasa gila itu.

“Hai, Ukasyah! Kami sekarang berada di hadapanmu. Qishas lah kami, dan jangan sekali pun engkau memukul Rasulullah Saw!” Tangan kanan Umar barangkali sudah mendarat di gagang pedangnya, dengan wajah merah padam. Namun Rasulullah malah menahan kedua sahabatnya, lalu berkata.
“Duhai sahabatku, duduklah kalian berdua. Allah memafhumi kedudukan kamu berdua!”

Setelah mereka duduk kembali, berdiri pula ‘Ali bin Abi Tholib sambil berkata garang, “Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi Saw. Aku tidak sampai hati melihat engkau akan mengambil kesempatan mengqishas Rasulullah. Inilah punggungku. Qishas lah aku dengan tanganmu!”
“Allah telah memafhumi kedudukanmu di hadapan-Nya, dan juga niat baikmu, wahai Ali!” cegah Rasulullah lagi.
Ali pun surut. Ia beringsut duduk. Dalam keadaan menahan kesal yang teramat besar. Kemudian tampillah anaknya, cucu kesayangan Rasulullah, Hasan dan Husein.

“Hai Ukasyah! Bukankah engkau telah mengetahui, bahwa kami berdua ini adalah cucu kandung Rasulullah. Qishas lah kami, dan itu berarti sama dengan mengqishas Rasulullah!” Tetapi Rasulullah menegur pula kedua cucunya itu dengan berkata.

“Duduklah kalian berdua, duhai penyejuk mataku.”
Mendengar sang kakek berkata demikian, Hasan-Husein meriut, bersungut-sungut. Akhirnya, Nabi pun berujar, Hai Ukasyah! Pukullah aku jika engkau berhasrat mengambil qishas!”
Mengetahui keinginannya tak lagi terhalangi oleh siapa pun, Ukasyah kian bersemangat.

“Ya Rasul Allah! Sewaktu engkau memukulku dulu, kebetulan aku sedang mengenakan baju di badan,” sahut Ukasyah. Sontak ruangan dalam Nabawi menjadi sesak dan pengap oleh kemarahan Sahabat. Ukasyah kian menggila. Alihalih berniat mencambuk Nabi Saw, ia malah meminta beliau membuka bajunya. Kurang ajar! Namun tanpa bicara, Rasulullah ternyata melucuti bajunya. Semua yang hadir menghela nafas. Berteriak histeris, lantas menangis. Tak terkecuali Ukasyah. Sebenarnya, ada yang tertahan di dalam ia punya dada.

Ukasyah maju melangkah. Melepas ikatan cemeti Rasulullah yang sedang digenggamnya. Namun tatkala ia melihat tubuh putih pualam Rasulullah dan tanda kenabian di bahu kanannya, ia segera mendekap tubuh mulia yang harum mewangi itu. Sepuaspuasnya, sambil berkata, “Tebusanmu adalah Ruhku, ya Rasulullah. Siapakah yang sampai hatinya mengambil kesempatan mengqishas? Aku sengaja berbuat demikian hanya kerana berharap agar supaya tubuhku dapat menyentuh tubuh engkau yang mulia, dan agar supaya Allah dengan kehormatanmu, berkenan menjagaku dari sentuhan api neraka.”

Ukasyah menyampaikan kalimat itu dengan terbatabata. Airmatanya berlinangan. Membanjir tak tertahan. Dadanya sesak menanggung rindu yang sendu. Apalagi ia sadar, bahwa Rasulullah akan segera pergi meninggalkan mereka, selamanya. Hari itu mendadak manjadi haru-biru.

Akhirnya berkatalah Nabi Saw, “Ketahuilah wahai para sahabat! Sesiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini.”
Lantas bangkit berdirilah kaum Muslimin, beramairamai mencium wajah Ukasyah, di antara kedua matanya. Tak lupa, mereka pun bergiliran menciumi tubuh Nabi Saw yang begitu memesona. Syak wasangka mereka luntur seketika. Berganti haturan terimakasih teramat sangat pada Ukasyah yang cerdik dan beruntung itu. Lantaran keberanian dan kenekatannya lah, rasa penasaran para Sahabat yang ingin melihat tanda kenabian di bahu Nabi Saw, terpuaskan.

Bahkan bukan hanya melihat. Lebih dari itu, tubuh manusia paling mulia sejagat raya itu pun berhasil mereka dekap sepuas hati. Selama dan selekat mungkin. Kulit beradu kulit. Cinta bertumbukan rindu yang kian menyayat.[]

Omah Prabata, 13 Rabi’ul Awal 1438 H

Disadur dari https://islami.co/penghukum-nabi/
Share:

Masya Allah, 100 Persen Penduduk Negara Ini Beragama Islam

Sebuah negara di kawasan Afrika Barat ini menerapkan syariat Islam sebagai dasar hukum negara. Adalah Mauritania, negara Islam ini menegakan syariat Islam di sektor kehidupan, baik sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.

Menurut data sensus kependudukan pada tahun 2004, 100 persen penduduk Mauritania merupakan pemeluk agama Islam. Mereka mengikuti mazhab Maliki, salah satu dari empat mazhab yang dikenal dalam Islam.

Negara Mauritania merupakan negara bekas jajahan Prancis. Mauritania menjelma menjadi sebuah republik Islam sejak memperoleh kemerdekaan pada 1960. Piagam Konstitusi tahun 1985 menyatakan bahwa Mauritania merupakan negara Islam dan syariat Islam menjadi landasan hukum negara.
Advertisements

Pada 20 Juli 1991, konstitusi negara tersebut diratifikasi dan ditegaskan bahwa ‘Mauritania adalah Republik Islam yang tak dapat diubah’. Selanjutnya dalam pasal 5 UUD tersebut dinyatakan bahwa ‘Islam adalah agama penduduk dan negara’.

Dua penegasan konstitusi tersebut menunjukkan bahwa Mauritania bukan negara sekuler. Lebih mengagumkan lagi, bahasa nasional Mauritania adalah bahasa Arab, di samping bahasa Prancis dan bahasa lokal. Demikian Republika. []
Share:

Kitab Fiqih Terbesar Syekh Arsyad Banjar yang Tersimpan di Saudi

Ini adalah gambar halaman pertama dan kedua dari manuskrip kitab “Sabîlul-Muhtadîn fît-Tafaqquh bi Amrid-Dîn” (berarti “Jalan Para Pencari Petunjuk dalam Mempelajari Perkara Agama”) karangan ulama besar Nusantara abd ke-18 M asal Kesultanan Banjar, yaitu Syekh Muhammad Asyad ibn ‘Abdullâh al-Banjarî al-Jâwî (Syekh Muhammad Arsyad Banjar, w. 1227 H/ 1812 M).

Kitab ini berisi kajian tentang fiqih ibadah menurut madzhab Syafi’i, mencakup kajian tentang bersuci, sembahyang, zakat, puasa, haji, perburuan, dan makanan. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dan dicatat sebagai kitab fiqih ibadah terbesar berbahasa Melayu klasik dalam sejarah khazanah literatur Islam Nusantara.

Adapun gambar naskah ini saya dapatkan dari koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Riyadh, KSA, dengan nomor kode 2318. Dalam data identitasnya, disebutkan jika naskah ini adalah tulisan tangan sang pengarang, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Banjar, dengan tititamangsa penulisan pada hari Ahad, 27 Rabi’ul Akhir 1195 Hijri (bertepatan dengan 22 April 1781 M).

Tertulis di halaman identitas manuskrip ini;

217.3 س.ب / 2318 / سبيل المهتدين للتفقه في أمر الدين (باللغة الجاوية)، جمع البنجاري، محمد أرشد بن عبد الله _ كان حيا 1195 هـ. بخط الجامع 1195 هـ

Sayangnya, dalam kolofon tidak disebutkan tempat dilakukannya penyalinan naskah. Namun jika benar ini adalah naskah tulisan tangan Syekh Arsyad Banjar atas kitab karangannya yang fenomenal itu, maka naskah ini adalah naskah yang sangat istimewa yang menjadi naskah acuan utama.

Tebal keseluruhan naskah ini 288 halaman. Setiap halaman berisi rata-rata 23 baris teks. Kondisi tulisan naskah sangat bagus, jelas, dan mudah dibaca. Teks pada naskah ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dengan tinta berwarna merah dan hitam.

Dalam pembukaan, Syekh Arsyad Banjar mengatakan bahwa dirinya diminta oleh Sultan Banjar pada masa itu, yaitu Sultan Tamhidullah anak dari Sultan Tamjidullah (juga bergelar Sunan Nata Alam, memerintah 1761-1801 M), untuk menulis sebuah kitab yang berisi kajian fiqih (yurisprudensi) Islam madzhab Syafi’i dalam bahasa Jawi (Melayu), agar dapat dijadikan acuan dan pedoman oleh masyarakat Muslim Kesultanan Banjar.

Syekh Arsyad Banjar menulis;

طلب مني في سنة جصقع من سني الهجرة النبوية على صاحبها من ربه أفضل الصلاة وأزكى التحية، الملك الهمام ذو الفطانة والرأي التام، صفي الذهن عزيز الافهام، صاحب التدبير على أهل بلاده البنجرية، القائم بإصلاح الأمور الدينية والدنيوية، سيدنا المعظم وقدوتنا المكرم، مولانا السلطان تمحيد الله بن السلطان تمجيد الله، تغمده الله تعالى برحمته وأدام ملكه وذريته، ولازالت أفلاك دولة ملكه في مدار ذرياته دائرة، ومابرحت سحائب احسانه وجوده على رعاياه ماطرة ... أن أضع له كتابا في الفقه على مذهب الإمام الشافعي رضي الله عنه، مترجما بلغة الجاوي المعروفة لأهل بلاده المحمية.

(Telah meminta kepadaku pada tahun J-SH-Q-‘A (1193) Hijriah, seorang raja yang bijaksana, pemilik kecerdasan dan pandangan yang sempurna, yang hatinya bening dan pemahamannya tajam, pemilik kekuasaan atas Negeri Banjar, yang melakukan segenap usaha perbaikan atas hal-hal agama dan negara, tuan junjungan kita yang agung dan pemimpin kita yang mulia, Sultan Tamhidullah putra dari Sultan Tamjidullah, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat atasnya, melanggengkan kerajaan dan keturunannya, yang mana poros kerajaannya masih terus berputar, dan gemawan kebajikan dan kedermawanannya masih terus membasuhi rakyatnya … (memerintahkanku) untuk menulis sebuah kitab dalam bidang fiqih madzhab Syafi’i RA, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawi (Melayu) yang diketahui dan difahami oleh para penduduk negeri Banjar).

Sebenarnya, sebelum upaya penulisan kitab “Sabîlul-Muhtadîn” ini, terdapat sebuah kitab fiqih yang mengkaji masalah-masalah ibadah dan ritual yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu kitab “al-Shirâth al-Mustaqîm” karangan seorang ulama Nusantara dari Kesultanan Aceh, Syekh Nûr al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasanjî al-Rânîrî (Nuruddin Raniri, w. 1069 H/ 1658 M). Sejak dikarangnya “al-Shirâth al-Mustaqîm” pada tahun 1054 H (1644 M), kitab tersebut telah tersebar luas dan sangat populer di kalangan Muslim Nusantara, serta dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan hukum di pelbagai Negara-Kesultanan di Nusantara.

Hal ini sebagaimana juga diungkap oleh Syekh Muhammad Arsyad Banjar;

إن كتاب العالم الفاضل الشيخ نور الدين الراني المسمى بالصراط المستقيم في الفقه على مذهب الإمام الشافعي من أحسن الكتب المترجمة باللغة الجاوية، لأن مسائله مأخوذة من عدة الكتب الفقهية، لاسيما انه مشتمل على النصوص والنقول، ومن ثم انتفع به الناس وتلقوه بالقبول، جزى الله مؤلفه بمحض فضله

(Sesungguhnya kitab karangan seorang alim nan utama Syekh Nuruddin al-Rani[ri] yang bernama “al-Shirâth al-Mustaqîm” dalam menerangkan fiqih madzhab Syafi’I, adalah sebaik-baik kitab [dalam bidang tersebut] yang diterjemahkan [ditulis] ke dalam bahasa Jawi [Melayu]. Hal ini karena kajian-kajian di salamnya diambil dari beberapa sumber fiqih rujukan, karena itulah banyak orang yang mengambil kemanfaatan darinya, dan menerimanya dengan ramai. Semoga Allah membalas budi baik sang pengarangnya dengan keutamaanNya).

Namun, rupanya ada banyak hal yang perlu disempurnakan dari kitab “al-Shirâth al-Mustaqîm” tersebut. Sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Banjar;

ولكن لما كان في بعض عباراته خفاء على بعض المستفيدين، تضمنه على لغة الآشي يجهلها غير أهلها من الطالبين، وكان في بعضها تحريف وتبديل وفي بعضها سقط كل ذلك من تصرف النساخ الجاهلين ...

(Tetapi di dalam kitab [al-Shirâth al-Mustaqîm] tersebut terdapat beberapa bahagian ungkapan yang terasa asing nan samar bagi para pengkaji, karena ia banyak memuat unsur bahasa Aceh yang tidak difahami oleh para pengkaji yang bukan penuturnya, di samping di banyak tempat dalam kitab tersebut juga telah terdapat kesalahan, perubahan, bahkan pengurangan yang diakibatkan oleh kesalahan para penyalin [naskah] yang kurang cakap).

Dalam upaya menulis kitab “Sabîlul-Muhtadîn”, Syekh Muhammad Arsyad Banjar pun merujuk kepada kitab-kitab referensial dalam fiqih madzhab Syafi’i, seperti “Fath al-Wahhâb bi Syarh Manhaj al-Thullâb” karangan Syekh Zakariyâ al-Anshârî, “Mughnî al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Alfâzh al-Minhâj” karangan Syekh al-Khatîb al-Syarbînî, “Tuhfah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj” karangan Syekh Ibn Hajar al-Haitamî, “Futûhât al-Wahhâb bi Taudhîh Syarh Manhaj al-Thullâb” (Hâsyiah al-Jamal) karangan Syekh Sulaimân ibn Manshûr al-Jamal al-Azharî, dan “Nihâyah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj” karya Syams al-Dîn al-Ramlî.

Kitab ini pertama kali dicetak di Istanbul pada tahun 1300 H/1882 M atas inisiasi Syekh Ahmad al-Fathânî (Patani), kepala percetakan kitab-kitab berbahasa Jawi (Melayu) pada percetakan Negara Ottoman. Setelah versi cetak Istanbul, kitab ini kemudian dicetak ulang di Mekkah dan Kairo. Data cetakan “Sabîlul-Muhtadîn” di Istanbul pada tahun 1300 Hijri ini dapat dilacak dalam sumber arsip pemerintahan Imperium Ottoman untuk wilayah Hijaz (Hicaz Vilayet-i Salnamesi; Yil 1300 Hicri).

Pertanyaan lanjutan pun kian bermunculan; “Apakah kitab “Sabîlul-Muhtadîn” versi cetakan pertama di Istanbul pada tahun 1300 H (1882 M) tersebut berlandaskan pada naskah tulis tangan Syekh Arsyad Banjar (bertitimangsa 1195 H/ 1781 M) yang kini tersimpan di Riyadh dan sedang diperbincangkan ini?” (A. Ginanjar Sya’ban)

Share:

Selasa, 25 April 2017

KISAH SEORANG RAJA DAN DOA ISTIGHASAH

Di Arab Saudi, terdapat raja yang pernah mengundang para ulama. Ada satu hal yang ingin ia tanyakan kepada mereka, namun jawabannya diharapkan sesuai dengan keinginan paduka raja.

Hingga pada saat yang ditentukan, para ulama dihadapkan kepada raja, kemudian ditanya satu persatu.

“Bagaimana hukumnya istighotsah (meminta pertolongan) kepada mayit?” begitu pertanyaan raja.

Di antara ulama-ulama yang hadir, semua tahu bahwa yang dikehendaki raja adalah jawaban “syirik“. Dan para ulama juga menjawab dengan kalimat senada “syirik”. Namun dalam hati mereka menjawab lebih lanjut, “indaka“. Artinya ulama menjawab “Iya, meminta pertolongan kepada mayit itu syirik (menurut anda)”. Mereka menjawab demikian karena ada intimidasi akan dibunuh, dan ternyata ancaman itu berhasil membuat lisan dzahir ulama mengatakan sesuai harapan. Dengan jawaban tadi, raja menjadi gembira.

Sampai pada waktu giliran Syaikh Abdullah Asy Syinqithy dihadapkan pada baginda raja kemudian ditanya “Bagaimana pendapat anda tentang hukum istighatsah kepada mayit?”

Sembari mempersiapkan kain kafan yang telah dibawa oleh Asy Syinqithy dari rumah, ia kemudian menjawab “Hadza kafani” Ini adalah kafanku.

“Lho, kenapa kau menjawab seperti itu?”

“Iya raja, saya sudah persiapkan ini. Jika paduka ingin membunuh hamba, hamba persiapkan kafan hamba dari rumah”

“Tidak, tidak, maksud anda bagaimana?”

“Iya raja, aku yakin bahwa jawabanku akan menimbulkan hukuman mati kepadaku”

“Memang, jawaban apa yang ingin anda sampaikan?”

“Hukum istighatsah kepada mayit bahkan bisa menjadi wajib”

“Lho, kok bisa begitu, bagaimana?”

“Iya, saat kita shalat, kita disyari’atkan untuk menyampaikan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Itu hukumnya wajib. Apa yang diharapkan oleh orang yang shalawat selain mengharap syafa’aat?. Nah, Rasulullah itu sudah wafat, tapi kita setiap shalat diharuskan bershalawat kepadanya. Bukankah itu tidak mengharap sesuatu kepada mayit?’

Rajapun kalah dengan argumentasi ini. Namun, Syaikh Asy Syinqithy tidak dibunuh. Ia hanya disuruh pergi dari negara Arab dengan diberi uang saku yang cukup.

Disarikan dari Mauidzah KH Thoifur Mawardi dalam acara Haul Masyayikh Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan, Surakarta.

Share:

TANTE SHOPI

Mira yang masih kelas 5 SD melihat mobil ayahnya parkir di semak-semak dalam perjalanan dari sekolah, dia melihat di dalam mobil ada ayahnya & tante shopi tetangganya.

Mira segera pulang menemui ibunya, & berkata..

*MIRA
"aku lihat mobil ayah parkir di semak semak, terus di dalam mobil itu ada ayah sama tante shopi tetangga kita itu bu"

*IBU "Stop stop,
simpan dulu ceritamu nak, nanti ceritakan lagi kalau ayahmu sudah sampai di rumah ya !? "
(ujar ibunya sambil tersenyum penuh
arti).

Dua jam kemudian ayah mira pulang, sang ibu segera memanggil mira & berkata.

*IBU
"Tadi kamu lihat apa waktu pulang sekolah nak ?"

Dengan tenang mira menjawab..

*MIRA
"aku lihat mobil ayah parkir di semak semak"

Sang ayah mulai salah tingkah.

*IBU
"Lanjutkan mira"
(sambil ngasah golok).

*MIRA
"di mobil ada ayah & tante shopi"

*IBU
"Terusss... "
(kibas2 kan golok).

*MIRA
"Tante shopi bukain baju ayah, & ayah bukain baju tante shopi, terus Ayah dan tante Shopi melakukan persis seperti yg ibu lakukan dengan om tony waktu ayah keluar negeri itu loh bu...!!!"

(AYAH)
*pingsan.*
(IBU)
*pingsan.*

*Lanjutannya:*

Melihat ayah dan ibunya pingsan, Mira menangis sambil minta tolong ....

Datanglah pak RT ....

Pak RT bertanya kpd Mira.kenapa bisa jadi begini,

Akhirnya Mira menceritakan persis diatas.... Tak disangka ...Pak RT juga Pingsan ....
SIAPAKAH SOFIE???
Ternyata (Sofie itu istrinya pak RT)...wkwkwkkwk
Share:

JALAL AL-DIN AL-SYUYUTHI

Tidak ada Tokoh besar pada setiap zaman kecuali dicacimaki orang-orang tak mengerti. Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang-orang barhati rendah" (Jalal al Din Al Suyuthi)
Share:

ALI BIN ABI THALIB 1

"Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya," (Ali bin Abi Talib).

 *JANGAN MENJELASKAN TENTANG DIRI MU KEPADA SIAPA PUN,KARENA YANG MENYUKAI MU TIDAK BUTUH ITU, DAN YANG MEMBENCI MU TIDAK PERCAYA ITU.*

*HIDUP BUKAN TENTANG SIAPA YANG TERBAIK, TAPI SIAPA YANG MAU BERBUAT BAIK.*

*JANGAN MENGHAPUS PERSAUDARAAN HANYA KARENA SEBUAH KESALAHAN ...*
*NAMUN HAPUSLAH KESALAHAN...*
*DEMI LANJUTNYA PERSAUDARAAN..*

*JIKA DATANG KEPADAMU GANGGUAN...*
*JANGAN BERPIKIR BAGAIMANA CARA MEMBALAS DENGAN YANG LEBIH PERIH, TAPI BERPIKIRLAH BAGAIMANA CARA MEMBALAS DENGAN YANG LEBIH BAIK.*

*KURANGI MENGELUH TERUSLAH BERDOA DAN BERIKHTIAR.*
*SIBUKKAN DIRI DALAM KEBAIKAN. HINGGA KEBURUKAN LELAH MENGIKUTI MU.*
Share:

QAZA'

Dari Ibnu Umar Radhiallahu‘Anhuma: "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wa Sallam melarang qaza’," (HR. Bukhari dan Muslim).

Apakah Qaza’? Nafi’-seorang tabi’in dan pelayan Ibnu Umar Radhiallahu‘Anhuma menjelaskan: "Kepala bayi yang dicukur sebagian dan dibiarkan sebagian lainnya," (HR. Muslim).
Share:

DOKTER GILA

Seorang istri baru pulang dari dokter karena merasa kurang enak badan.

Suami : “Ma, sakit apa kata dokter?”

Istri : “Nggak ada apa-apa, cuma sedikit stress. Dokter menyarankan supaya kita rileks dengan liburan ke New York, Paris, London, Tokyo

atau Sydney. Enaknya kita pergi ke mana, Pa?”

Suami : “Enaknya kita pergi ke dokter lain saja”

******
Share:

BAHLUL

"Bahlul" adalah kata yang biasa kita gunakan untuk mensifati orang yang bodoh, tapi tahukah dari mana asal kata itu..?

Dikisahkan, sesungguhnya BAHLUL seorang yang dikenal sebagai orang gila di zaman Raja Harun Al-Rasyid (Dinasti Abbasiyah).

Pada suatu hari Harun Al-Rasyid lewat di pekuburan, dilihatnya Bahlul sedang duduk disana.

Berkata Harun Al-Rasyid kepadanya :

"Wahai Bahlul, kapankah kamu akan berakal/sembuh dari gila.. ?"

Mendengar itu Bahlul beranjak dari tempatnya dan naik keatas pohon, lalu dia memanggil Harun Al-Rasyid dengan sekuat suaranya dari atas pohon,

" Wahai Harun yang gila, kapankah engkau akan sadar....? ",

Maka Harun Al-Rasyid menghampiri pohon dengan menunggangi kudanya dan berkata : "Siapa yang gila, aku atau engkau yg selalu duduk dikuburan...?"

Bahlul berkata :

"Aku berakal dan engkau yang gila",

Harun : "Bagaimana itu bisa...?",

Bahlul : "Karena aku tau bahwa istanamu akan hancur dan kuburan ini akan tetap ada, maka aku memakmurkan kubur sebelum istana, dan engkau memakmurkan istanamu dan menghancurkan kuburmu, sampai- sampai engkau takut untuk dipindahkan dari istanamu ke kuburanmu, padahal engkau tahu bahwa kamu pasti masuk dalam kubur, maka katakan wahai Harun siapa yang gila di antara kita...?".

Bergetarlah hati Harun, lalu menangis dengan tangisan yang sampai membasahi jenggotnya, lalu Harun berkata : "Demi ALLAH engkau yang benar, Tambahkan nasehatmu untukku wahai Bahlul".

Bahlul : "Cukup bagimu Al-Qur'an maka jadikanlah pedoman".

Harun : "Apa engkau memiliki permintaan wahai Bahlul....? Aku akan penuhi".

Bahlul : "Iya aku punya 3 permintaan, jika engkau penuhi aku akan berterima kasih padamu".

Harun : "mintalah..."

Bahlul : 1. "Tambahkan umurku".

Harun : "Aku tak mampu",

Bahlul: 2. "Jaga aku dari Malaikat maut".

Harun : "Aku tak mampu",

Bahlul: 3. "Masukkan aku kedalam surga dan jauhkan aku dari api Neraka".

Harun : "Aku tak mampu".

Bahlul : "Ketahuilah bahwa engkau dimiliki (seorang hamba) dan bukan pemilik (Tuhan), maka aku tidak perlu padamu".

(Kisah ini dikutip dari kitab yang berjudul عقلاء ﺍﻟﻤﺠﺎﻧﻴﻦ "Orang-orang Gila Yang Berakal")

Tetapi kita menggunakan perkataan BAHLUL untuk mengatakan seseorang itu bodoh sedangkan ia adalah merupakan nama Ulama yang hebat. Makam Syech Bahlul Majnun Di Baghdad Irak.

Kisah ini disadur hanya untuk koleksi saja. :) 
Share:

Sabtu, 22 April 2017

OLEH KARENA DOA KITA PASTI DIJABAH, MAKA BERTAQWA DAN BERIMANLAH KEPADA-NYA

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ‌ۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ‌ۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ

Artinya: “Dan apabila bamba-bamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher.[1] Allah juga menegaskan, ketika ada hambanya yang berdoa, maka pasti dijawab doa-doa mereka. Bahkan ditinjau dari keumuman kalimat ayat ini, maka apa pun bentuk, tujuan dan cara kita berdoa, pasti Allah akan mengijabahinya. Hal ini diperkuat oleh firmanNya yang lain;

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Q.S al-Mu'min: 60)

Oleh karena Allah pasti mengabulkan segala macam doa-doa kita, maka sepantasnya bagi kita sebagai hambanya yang tahu berterima kasih dengan senantiasa mengikuti segala apa yang diperintahkanNya dan menjauhi segala apa yang dilarangNya (فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى) serta beriman kepadaNya dengan berdoa disertai keikhlasan, penuh harap dan istiqamah (وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى). Agar kita menjadapat petunjukNya berupa hidayah, rahmat dan kuat dalam agama. Doa bukan sekedar doa yang tidak memiliki efek apa pun utnuk kehidupan dunia dan akhiratnya, seperti doa-doanya orang kafir (لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ).

Wallahu a’lam bi al-shawaab…


[1] وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
Artinya : “Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qoff : 16 – 17)
Share:

HADITS TENTANG RAHMAT YANG SATU

Tentang Rahmat ada beberapa perawi yang meriwayatkan di antaranya;

1. al-Bukhary dalam Shahih-nya; Riqaq, 19.
2. Muslim dalam Shahih-nya; Tawbah, 18-21.
3. al-Turmudzy dalam Sunan-nya; Da’awat, 99.
4. Ibn Majah dalam Sunan-nya; Zuhd, 35.
5. al-Darimy dalam Sunan-nya; Riqaq, 69.,
6. Ahmad dalam al-Musnad; Juz. II, hal. 422 dan 514; Juz. III. 55 dan 56; Juz. 5, 429.

Susunan Sanad dan Matan Hadits:

Riwayat al-Bukhary:


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الرَّحْمَةَ يَوْمَ خَلَقَهَا مِائَةَ رَحْمَةٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً وَأَرْسَلَ فِي خَلْقِهِ كُلِّهِمْ رَحْمَةً وَاحِدَةً فَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ لَمْ يَيْئَسْ مِنْ الْجَنَّةِ وَلَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الْعَذَابِ لَمْ يَأْمَنْ مِنْ النَّارِ

Riwayat Muslim:


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَلَقَ اللَّهُ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَوَضَعَ وَاحِدَةً بَيْنَ خَلْقِهِ وَخَبَأَ عِنْدَهُ مِائَةً إِلَّا وَاحِدَةً


 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


 حَدَّثَنِي الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عُثْمَانَ النَّهْدِيُّ عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَمِنْهَا رَحْمَةٌ بِهَا يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ بَيْنَهُمْ وَتِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (و حَدَّثَنَاه مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ

الْأَعْلَى حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ عَنْ أَبِيهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ)


 حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِائَةَ رَحْمَةٍ كُلُّ رَحْمَةٍ طِبَاقَ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَجَعَلَ مِنْهَا فِي الْأَرْضِ رَحْمَةً فَبِهَا تَعْطِفُ الْوَالِدَةُ عَلَى وَلَدِهَا وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أَكْمَلَهَا بِهَذِهِ الرَّحْمَةِ

Riwayat al-Tirmidhy:


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَلَقَ اللَّهُ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَوَضَعَ رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ خَلْقِهِ يَتَرَاحَمُونَ بِهَا وَعِنْدَ اللَّهِ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ رَحْمَةً

Riwayat Ibn Majah:


 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ قَسَمَ مِنْهَا رَحْمَةً بَيْنَ جَمِيعِ الْخَلَائِقِ فَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى أَوْلَادِهَا وَأَخَّرَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


 دَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَأَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَجَعَلَ فِي الْأَرْضِ مِنْهَا رَحْمَةً فَبِهَا تَعْطِفُ الْوَالِدَةُ عَلَى وَلَدِهَا وَالْبَهَائِمُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَالطَّيْرُ وَأَخَّرَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أَكْمَلَهَا اللَّهُ بِهَذِهِ الرَّحْمَةِ

Riwayat al-Darimy:

أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ شُعَيْبٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ ، وَأَنْزَلَ فِى الأَرْضِ جُزْءاً وَاحِداً ، فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ حَتَّى تَرْفَعَ الْفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيبَهُ ».

Riwayat Ahmad:

 حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنِ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ فِي الْجَنَّةِ أَحَدٌ وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ الْجَنَّةِ أَحَدٌ خَلَقَ اللَّهُ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَوَضَعَ رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ خَلْقِهِ يَتَرَاحَمُونَ بِهَا وَعِنْدَ اللَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ رَحْمَةً


 حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّهِ مِائَةُ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى أَوْلَادِهَا وَأَخَّرَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ


 حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنِ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِالْجَنَّةِ أَحَدٌ وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ الْجَنَّةِ أَحَدٌ خَلَقَ اللَّهُ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَوَضَعَ وَاحِدَةً بَيْنَ خَلْقِهِ يَتَرَاحَمُونَ بِهَا وَعِنْدَ اللَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ رَحْمَةً


 حَدَّثَنَا رَوْحٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِائَةُ رَحْمَةٍ وَإِنَّهُ قَسَمَ رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ أَهْلِ الْأَرْضِ فَوَسِعَتْهُمْ إِلَى آجَالِهِمْ وَذَخَرَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ رَحْمَةً لِأَوْلِيَائِهِ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَابِضٌ تِلْكَ الرَّحْمَةَ الَّتِي قَسَمَهَا بَيْنَ أَهْلِ الْأَرْضِ إِلَى التِّسْعَةِ وَالتِّسْعِينَ فَيُكَمِّلُهَا مِائَةَ رَحْمَةٍ لِأَوْلِيَائِهِ يَوْمَ الْقِيَامَة


 حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَجَعَلَ مِنْهَا رَحْمَةً فِي الدُّنْيَا تَتَرَاحَمُونَ بِهَا وَعِنْدَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ رَحْمَةً فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ ضَمَّ هَذِهِ الرَّحْمَةَ إِلَى التِّسْعَةِ وَالتِّسْعِينَ رَحْمَةً ثُمَّ عَادَ بِهِنَّ عَلَى خَلْقِهِ


 حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِائَةُ رَحْمَةٍ فَقَسَمَ مِنْهَا جُزْءًا وَاحِدًا بَيْنَ الْخَلْقِ فَبِهِ يَتَرَاحَمُ النَّاسُ وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ


 حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلَّهِ مِائَةُ رَحْمَةٍ عِنْدَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَجَعَلَ عِنْدَكُمْ وَاحِدَةً تَرَاحَمُونَ بِهَا بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَبَيْنَ الْخَلْقِ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ ضَمَّهَا إِلَيْهَا


 حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا أَبِي أَخْبَرَنَا الْجُرَيْرِيُّ عَنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْجُشَمِيِّ حَدَّثَنَا جُنْدُبٌ قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَأَنَاخَ رَاحِلَتَهُ ثُمَّ عَقَلَهَا ثُمَّ صَلَّى خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى رَاحِلَتَهُ فَأَطْلَقَ عِقَالَهَا ثُمَّ رَكِبَهَا ثُمَّ نَادَى اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلَا تُشْرِكْ فِي رَحْمَتِنَا أَحَدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَقُولُونَ هَذَا أَضَلُّ أَمْ بَعِيرُهُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ قَالُوا بَلَى قَالَ لَقَدْ حَظَرْتَ رَحْمَةُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ رَحْمَةً وَاحِدَةً يَتَعَاطَفُ بِهَا الْخَلَائِقُ جِنُّهَا وَإِنْسُهَا وَبَهَائِمُهَا وَعِنْدَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ أَتَقُولُونَ هُوَ أَضَلُّ أَمْ بَعِيرُهُ


 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ مِائَةَ رَحْمَةٍ فَمِنْهَا رَحْمَةٌ يَتَرَاحَمُ بِهَا الْخَلْقُ فَبِهَا تَعْطِفُ الْوُحُوشُ عَلَى أَوْلَادِهَا وَأَخَّرَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Sabab Wurud al-Hadits:

Dari seluruh riwayat di atas, tidak ditemukan penjelasan tentang peristiwa khusus yang melatar belakangi munculnya sabda Nabi Saw tentang 100 rahmat dan hanya melapskan satu rahmat untuk di gunakan oleh seluruh makhluknya di buka bumi ini, kecuali pada riwayat ke-8 dari riwayat Ahmad bin Hanbal dari hadis Jundub. Dalam riwayat tersebut dikisahkan bahwa datang seorang Arab baduwi kemudian turun dari kendaraannya lalu dia pun mengikat kendaraannya tersebut kemudian salat dibelakang Rasulullah Saw, setelah Rasulullah Saw menyelesaikan salatnya, orang tersebut menuju ke kendaraannya melepaskan ikatannya dan menaikinya sembari berdo’a: ‘Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad dan jangan Engkau mengikutkan seorang pun antara kami dalam rahmatmu yang Engkau berikan kepada kami’. Kemudian Rasulullah Saw berkata: “Apakah kalian akan mengatakan bahwa orang ini yang sesat atau tunggangannya?, tidakkah kalian mendengarkan apa yang dikatakannya (dalam do’anya tersebut)?” mereka (para sahabat) menjawab: Ya (kami mendengarkannya) kalian telah diperingatkan (untuk berhati-hati) rahmat Allah Swt sangat luas, sesungguhnya Allah Swt menciptakan 100 rahmat, kemudian Allah menurunkan satu rahmat yang dengannya para makhluk saling berinteraksi baik (dari kalangan) jin, manusia, maupun binatang, dan pada sisi-Nya (tersisa) 99 rahmat. Apakah kalian akan mengatakan orang tersebut lebih sesat atau tunggangannya?.
Share:

Rabu, 19 April 2017

ABU YAZID AL-BUSTHAMY DAN ANJING

Suatu malam, Abu Yazid Al-Busthomi sedang berjalan sendirian. Lantas ia melihat seekor anjing berjalan ke arahnya. Anjing itu cuek saja jalan, tidak menghiraukannya. Namun ketika jarak anjing itu makin dekat dan akan berpapasan dengannya, Al-Busthomi mengangkat gamisnya, khawatir tersentuh anjing yang najis itu.

Spontan anjing itu berhenti dan memandangnya. Entah bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya,

“Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Bila pun engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7x dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Namun jika engkau mengangkat gamismu karena menganggap dirimu yang berbaju badan manusia lebih mulia, dan menganggap diriku yg berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walau kau basuh dengan 7 samudera”.

Abu Yazid tersentak dan minta maaf. Lalu sebagai permohonan maafnya dia mengajak anjing itu untuk bersahabat dan berjalan bersama. Tapi si anjing itu menolaknya.

“Engkau tidak pantas berjalan denganku. Mereka yg memuliakanmu akan mencemoohmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa orang-orang menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta wujud ini. Lihatlah, aku juga tidak menyimpan dan membawa sepotong tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum.”

Lalu anjing itu pun berjalan meninggalkan Abu Yazid. Abu Yazid masih terdiam, “Duh Gusti, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-MU saja aku tak pantas. Bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-MU, ampuni aku dan sucikan hatiku dr najis, Ya Allah.”

Tulisan ini diambil sebagai koleksi lihat di sini
Share:

ANJING; SE-HINA ITUKAH HAMBA?

Ia dengan keadaannya, merupakan makhluk Allah yang tercipta sesuai qadar-Nya. Dan tidak akan pernah ada yang salah dengan takdirNya. Artinya, butuh banyak alasan untuk kemudian membenci atau bahkan menghinakannya. Lalu, kadang muncul sebuah pertanyaan, bahwa iblis juga makhluk Allah yang ditakdirkan terkutuk, namun tidakkah Allah menyuruh kita membenci bahkan memusuhinya? Tentu kasus anjing berbeda dengan iblis yang merupakan bagian dari jin, yang laknatNya karena kesombongan iblis itu sendiri. Sedangkan anjing tidak demikian, bahkan nafsu pun ia tak punya.

Setidaknya ada beberapa alasan pembenaran menghinakan dan membunuh anjing yang sering terjadi di masyarakat. Pertama; karena Nabi membolehkan untuk membunuhnya, sebagai mana sabda beliau:

عن عاءشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: خمس من الدواب كلهن فاسق يقتلن في الحرم الغراب و الحدأة و العقرب و الفأرة و الكلب العقور

“Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya rasulullah bersabda: Lima dari hewan tunggangan yang mereka semua adalah fasiq, maka diperbolehkan untuk dibunuh ketika iharam yaitu burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, dan anjing penggigit.” (HR. Bukhari: 1828)

diriwayatkan oleh Ibnu Umar yaitu:

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر بقتل الكلاب إلا كلب صيد أو كلب غنم أو ماشيه. فقيل لابن عمر: إن أبا هريره يقول: أو كلب زرع. فقال ابن عمر: إن لأبي هريرة زرعا

“Dari Ibnu Umar bahwasannya rasulullah memerintahkan untuk membunuh semua anjing, kecuali anjing untuk berburu, anjing untuk menjaga kambing, atau anjing penjaga ternak. Maka kepada Ibnu Umar bahwasanya Abu Hurairah berkata: atau anjing untuk berkebun. Maka Ibnu Umar berkata: Sesungguhnya Abu Hurairah memiliki anjing untuk berkebun.” (HR.Muslim: 1571)

Kedua hadits ini memang menjelaskan tentang perintah Nabi membunuh anjing dan sering juga dijadikan dalil. namun perlu digaris bawahi dalam hadits yang pertama menegaskan bahwa anjing yang boleh dibunuh adalah anjing penggigit (الكلب العقور). jika tidak? Maka kita memasuki pada hadits yang kedua akan bolehnya membunuh dengan catatan bukan anjing untuk berburu, anjing penjaga kambing, penjaga ternak, dan anjing penjaga tanaman atau kebun. Artinya, umat islam tidak serta merta dibolehkan membunuh anjing, mesti memperhatikan unsur bahaya dan merugikan tidaknya bagi manusia, sama halnya dengan saya tidak boleh membunuh anda tanpa ada sebab. Bahkan Nabi pernah bersabda; Diriwayatkan oleh Jabir:

أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بقتل الكلب ثم نهى عن قتلها وقال عليكم بالأسود البهيم ذي النقطتين فإنه شيطان

“Sesungguhnya nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh anjing kemudian beliau melarang untuk membunuhnya, dan beliau berkata lagi: diperintahkan atas kalian (membunuh) anjing hitam yang memiliki dua bintik (dimata) karena itu adalah setan” (Al ath’imah wa ahkaamus shaidi wad dabaih , di tarjih oleh Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, cet:1, tt: 1988), hlm: 177)

Kedua; Karena Najis. Perlu diketahui tidak satu hadits Nabi pun yang mengatakan bahwa anjing itu najis. oleh karena itu, Syaikhul Islam rahimahullah berkata, bahwa mazhab maliky menghukumi anjing adalah suci, termasuk liurnya[1]. Adapun jumhur ulama yang sepakat akan najisnya anjing adalah berdasar pada hadits,  dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 طُهُورُ إِنَاءِ أحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

"Sucinya wadah kalian apabila dijilat anjing, adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama dengan debu." (HR. Muslim, no. 279) 

Yang kemudian dengan hadits ini disepakati bahwa najisnya anjing adalah najis berat (Mughalladlah). Karena untuk mensucikannya saja mesti dengan tahapan-tahapan khusus. Padahal secara redaksional hadits ini tidak memuat tentang najisnya anjing.

Yang ketiga; Rasul melarang memlihara atau memanfaatkan Anjing. Adapun dalil hadits menjadi rujukan adalah; dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda
,
مَنِ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Barangsiapa memanfaatkan anjing selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing (pintar) untuk berburu, atau anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qiroth” (HR. Muslim no. 1575). Kata Ath Thibiy, ukuran qiroth adalah semisal gunung Uhud (Fathul Bari, 3/149).

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ

“Barangsiapa memanfaatkan anjing, bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai anjing untuk berburu, maka setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua qiroth.” (HR. Bukhari no. 5480 dan Muslim no. 1574)

Fokus adanya larangan dari kedua hadits ini, terdapat pada dikuranginya pahala setiap hari, satu qiroth atau dua qirath. Artinya manusia diciptakan untuk beribadah[2], untuk mengmpulakan pahala sebanyak-banyaknya. Ketika ada suatu hal yang mengindikasikan dapat mengurangi pahala (padahal seharusnya bertambah), maka hal itu berarti bertentangan dengan hakikat diciptakannya manusia dan hal itu tidak boleh.

Namun, Imam Nawawi berkata, "Diperselisihkan dalam hal memelihara anjing selain untuk tujuan yang tiga di atas, seperti untuk menjaga rumah, jalanan. Pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan, sebagai qiyas dari ketiga hal tersebut, karena adanya illat (alasan) yang dapat disimpulkan dalah hadits, yaitu: Kebutuhan." (Syarh Muslim, 10/236).

Syekh Ibn Utsaimin rahimahullah berkata, "Dengan demikian, rumah yang terletak di tengah kota, tidak ada alasan untuk memelihara anjing untuk keamanan, maka memelihara anjing untuk tujuan tersebut dalam kondisi seperti itu diharamkan, tidak boleh, dan akan mengurangi pahala pemiliknya satu qirath atau dua qirath setiap harinya. Mereka harus mengusir anjing tersebut dan tidak boleh memeliharanya. Adapun kalau rumahnya terletak di pedalaman, sekitarnya sepi tidak ada orang bersamanya, maka ketika itu dibolehkan memelihara anjing untuk keamanan rumah dan orang yang ada di dalamnya. Menjaga penghuni rumah jelas lebih utama dibanding menjaga hewan ternak atau tanaman." (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/246)

Jadi, mungkin benar dan kita sepakat bahwa anjing itu najis. Tapi dalam islam, yang namanya najis adalah dengan disucikan, tidak selalu dengan dibersihkan apalagi dihilangkan, dijauhi bahkan dimusuhi ataupun dihinakan. Memusuhi adalah perbuatan hati, sedangkan Najis sangat bersifat lahiriyah dan cukup dengan disucikan (kisah inspiratif Abu Yazid al-Busthamy).

Waallahu a’lam bi a-shawaab.


[1] Syaikhul Islam rahimahullah berkata, "Adapun tentang anjing, para ulama berselisih dalam tiga pendapat; Pertama, bahwa anjing adalah suci, termasuk liurnya. Ini adalah mazhab Malik. Kedua, bahwa anjing adalah najis termasuk bulunya. Ini adalah mazhab Syafi'I, dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad. Ketiga, bulu anjing suci, sedangkan liurnya najis. Ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad.Pendapat ketiga adalah pendapat yang paling benar. Maka jika bulu anjing yang lembab menempel pada baju atau tubuh seseorang, hal itu tidak membuatnya najis." (Majmu Fatawa, 21/530).

[2] وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Share:

Senin, 17 April 2017

DARAH YANG DIHARAMKAN

Firman Allah Swt.:

{وَالدَّمُ}

dan darah. (Al-Maidah: 3)

Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pe­ngertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:

{أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا}

atau darah yang mengalir. (Al-An'am: 145)

Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bah­wa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah da­rah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir.

قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ ودمان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدمان فَالْكَبِدُ وَالطُّحَالُ".

Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Ra­sulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi melalui hadis Abdur Rah­man ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'. Menurut kami, ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain.
Share:

Sabtu, 15 April 2017

الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ibnu Jarir mengungkapkan pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, "Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat."

Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan ar-rahim hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saja.

Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عليه»

Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz ar-rahman dan ar-rahim mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapanmu rajulun gadbanu ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful.

***

Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:
وَكانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)

Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa ar-rahman adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an. bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, Ar-Rahim adalah nama Arab, dan Ar-Rahman nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

«قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ»

Allah Swt. berfirman, "Akulah Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis ini mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orang-orang Arab ingkar terhadap nama Ar-Rahman karena kebodohan mereka terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya.
Share:
TERIMA KASIH