السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kamis, 08 November 2018

IBNU TAIMIYAH DAN TUDUHAN LIBERAL


Sudah mafhum di era medsos seperti sekarang, sangat mudah bagi seseorang meluapkan unek-unek, emosi bahkan amarah. Sangat mudah menemukan sebuah tuduhan-tuduhan merajalela, baik terhadap pemerintah, tokoh-tokoh publik maupun tokoh agama.

Dahulu Imam Syafi’i juga pernah dituduh Syi’ah Rafidha oleh kaum Wahhabi Salafi Nashibi. Imam Tabari pernah ditudah Syi’ah dan Ilhad (ateis) oleh kelompok hanbaliyah.[1] Dan sekarang tuduhan-tuduhan ditujukan terhadap orang-orang atau tokoh yang dianggap “lberal.”  Contoh katakanlah, Gus Dur, KH. Aqil Siraj, Ulil Absor Abdallah, Musdah Mulia, Habib Quraishshihab, Buya Syafi'i Ma'arif dan lain-lain. Mereka dituduh “liberal” karena pandangan-pandangan mereka yang nyeleneh, atau dalam bahasa Ustadz Abdul Somad “pendapatnya “mursal.”

Lebih jauh, soal pandangan-pandangan nyeleneh yang kemudian dianggap sebagai ciri dari pemikiran “liberal,” maka Imam Ibu Taimiyah juga pernah membuat statemen filsafat yang cukup nyeleneh sehingga beliaupun pernah dituduh murtad dan kafir.

Inilah di antara pemikiran-pemikiran beliau yang dianggap nyeleneh (“liberal”);

Pertama, bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-Maddah atau al-Afrad).[2] Pendangan ini seolah mempertegas pemikirian-pemikiran filsuf Yunani, yang memnganggap alam semesta ini tidak memiliki permulaan. Dan hal itu tidak mungkin, sebab Alam ini adalah Allah yang menciptakan.

Kedua, bahwa Allah adalah Jism (benda)[3] Pendapat ini dianggap mempersamai pemikiran golongan mujassimah yang jauh sebelumnya telah dicap murtad. 

Ketiga, bahwa Allah berada pada tempat dan arah, dan Allah memiliki bentuk serta ukuran.[4] Pemikiran ini, dianggap seolah menyamakanNya dengan makhlukNya. Padahal Allah sama sekali berbeda dengan makhlukNya, sebagaimana terucap dalam AyatNya.[7]

Keempat, bahwa Neraka dan siksaan-siksaan terhadap orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan.[5] Pendapat ini dianggap bertentangan dengan Ayat dalam al-Qur'an.[6]

Namun, kenyataannya sekarang dalam bidang Hadis, fiqh dan politik Imam Ibnu Taimiyah dengan karya-karyanya menjadi rujukan kuat, bahkan dikalangan teman-teman Salafy.

Dengan demikian bagi penulis, mau seperti apapun itu, tuduhan tidak lah menunjukkan kredibilitas dan pribadi yang utuh. Sesungguhnya penuduh , ia sedang sakit, mentalnya tidak stabil. Sebab, tuduhan lahir lebih karena ketidak puasan dan kebodohan, serta pandangannya yang tidak utuh.

Oleh karena itu, apapun alasaannya, tuduh-menuduh adalah tidak baik, bahkan sekalipun realitas itu dianggap faktual. Dan yang paling ditakutkan adalah kita bisa jatuh  pada perbuatan ghibah yang dimaksud oleh Nabi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”. (HR. Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)


Wallahu a’lam bi al-shawab


[1] Bahkan sampai akhir hayat beliau Imam Muhammad bin Jarir Abu Ja’far at-Thabari  dituduh Rafidhah dan Ilhad.

وادعوا عليه الرفض، ثم ادعوا عليه الإلحاد

Mereka menuduh Ibnu Jarir sebagai Rafidhah, lalu menuduhnya dengan ilhad (atheis). (Izzuddin bin al-Atsir w. 630 H, al-Kamil fi at-Tarikh, hal. 6/ 677)

[2] Ibn Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam bayak karyanya. Di antaranya dalam; Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, j. 2, h. 75. Lihat pula j, 1, h. 245 dan j. 1, h. 64. , Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 224, Kitab Syarah Hadits an-Nuzul, h. 161, Majmu’ al-Fatawa, j. 6, h. 300, Kitab Syarah Hadits ‘Imran ibn al-Hushain, h. 192, Naqd Maratib al-Ijma’, h. 168
[3] Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam karyanya; Syarah Hadits an-Nuzul, h. 80, Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 1, h. 62, j. 1, h. 148, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180, Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 152, Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101

[4] disebutkan dalam karyanya sendiri;  Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30

[5] Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67

[6] Firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَآ أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. [Al Bayyinah:6].

[7]  Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)


Share:

Rabu, 07 November 2018

NABI SAJA ZIARAH KUBUR MASAK ENTE KAGAK, ENTE YAKIN?


Fenomina ziarah kubur memang selalu mengundang selisih paham. Termasuk, ada hal opinion yang lebih mirip alibi bin anomali, bahwa ada beberapa pernyataan yang mengatakan “yang dimaksud berbakti kepada orang tua bukan pergi kekuburannya, tapi adalah mendoakannya.”  Ada juga yang karena tidak ingin dianggap menyalahi hadis Nabi, maka dikatakan lah “saya tidak melarang ziarah ke kuburan,”  tapi dianya sendiri tidak pernah mau ziarah kubur, karena dianggapnya mendoakan dari rumah, dimasjid dan lain-lain juga bisa. Kemudian ada juga yang bilang “boleh ziarah kekuburan,” tapi kalau bicara sama orang lain seolah dia melarangnya dengan bermacam-macam alasan.

Di antara semua alasan tersubut selalu disandarkan pada pilihan keyakinan masing-masing.  Adalah Nabi Muhammad SAW. pernah melakukannya, sebagaimana hadis berikut, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” (HR. Muslim no.108, 2/671)

Bahkan terkait hadis ini, Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya ziarah kubur minimal sekali seumur hidup. lalu, Imam Nawawi mengatakan berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

Tapi masih ada saja yang tidak pernah ziarah kubur, bahkan ada yang tidak mau melakukannya dengan alasan yang macam-macam, termasuk atas dasar pilihan keyakinan. Padahal Nabi pernah melakunnya ziarah. Semisal lagi mengenai baca qunut, Nabi saja pernah atau melakukan qunut,[1] Namun, tetap saja ada yang tidak pernah bahkan tidak mau melakukannya.

Wallahu a'lam bi al-shawab


[1] Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Imam Ahmad, jilid 2 hal. 215 menuliskan hadits berikut ini :

مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada shalat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal dunia. (HR. Ahmad).

Share:

DALIL AKULTURASI BUDAYA TAHLILAN SEBAGAI SUNNAH YANG DICONTOHKAN NABI


Seringkali ada anggapan bahwa budaya/ akulturasi  tiga harian, tujuh harian, empat puluh harian dan semacamnya yang mafhum terjadi di mayoritas daerah-daerah di Indonesia, yang biasa diisi dengan tahlilan, yasinan dan lain-lain saat ada kematian adalah bid’ah atau ibadah yang dibuat-buat yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.[1] Atau paling tidak, budaya/ akulturasi tersebut dicap sebagai perbuatan tasyabbuh (penyerupaan).[2]

Tentu saja hal ini hanya soal perbedaan minhajul fiqr saja yang sama-sama mesti dihormati. Maka dari itu, saya akan ketengahkan dalil (dengan minhajul fiqr yang berbeda) melihat dari segi contoh perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. melalui konsep analogis. Bahwa Nabi pernah melakukan ziarah kubur, di mana awalnya adalah dilarang.[3] Namun, akhirnya Nabi membolehkannya dan melakukannya,[4] dengan merubah unsur-unsurnya dengan unsur islami, dari yang tadinya ziarah kubur dilakukan orang-orang jahiliyah untuk menyembah/ sembahyang dikuburan dan lain-lain.

Artinya ini adalah contoh akulturasi budaya dari Nabi Muhammad, dimana tradisi ziarah kubur adalah tradisi orang-orang jahiliah sebelum Islam datang, namun kemudian unsur-unsur di dalamnya diganti oleh Nabi Muhammad dengan unsur-unsur islami. Sama halnya dengan prosesi 3 (tiga) harian, 7 (tujuh) harian dan sebagainya pada ritual kematian, yang dulunya merupakan tradisi hindu-budha, tapi kemudian diganti unsur-unsurnya dengan unsur Islami.

Contoh akulturasi yang lain adalah budaya berjabat tangan dalam Islam, yang merupakan kebiasaan orang Yaman, namun juga diadopsi oleh Nabi Muhammad SAW.[5]  Artinya sampai di sini konsep akulturasi sendiri dicontohkan oleh Nabi SAW. meski tidak diperintahkan secara matan. Dengan kata lain, fungsi akulturasi ini juga dapat dicontoh dan dilaksanakan, dengan catatan unsur-unsurnya diganti dengan unsur-unsur islam tentunya.

Apakah bid’ah? Yang jelas Nabi tidak pernah menjelaskan definisi bid’ah dengan gamblang, sehingga hal tersebut dalam bahasa KH. Hasyim Asy’ari adalah bid’ah mukhtalaf, yakni para ulama ada yang mengatakan itu bid’ah dan juga ada yang menganggap bukan bid’ah, karena memang tidak ada dalil yang sharih yang mengatakan bahwa akulturasi tahlilan dan lain-lain itu bid’ah. Atau tidak ada contoh pada masa Nabi bahwa beliau ketika melaksanakan tradisi jahiliyah dan semacamnya yang sudah diganti unsur-unsurnya kemudian beliau katakan bahwa hal itu bid’ah. Sekali lagi tidak ada.

Apakah tasyabbuh? Dalam hal ini juga Nabi tidak menjelaskan apa tasyabbuh yang dimaksud. Ada sebuah contoh yang dicontohkan oleh beliau tentang tasyabbuh ini, bahwa nabi melarang bagi seorang muslim memelihara kumis, karena hal tersebut dapat menyerupakan kita dengan orang-orang yahudi.[6] Artinya tasyabbuh yang dimaksud di sini sangatlah fisikal. Sehingga tak ayal, ketika saat itu KH. Hasyim Asy’ari pernah melarang warga Indonesia memakai dasi, karena dasi dianggap pakaian orang kafir, yang dengan memakainya berarti kita telah tasyabbuh. Tapi nyatanya sekarang pendapat ini juga tidak berlaku. karena memang tidak ada penjelasan detail mengenai tasyabbuh yang dimaksud oleh Nabi.

Pertanyaan yang terakhir adalah, apakah Nabi Muhammad SAW yang mengadopsi ziarah kubur dan berjabatan tangan, beliau telah berbuat bid’ah dan tasyabbuh? Jawabannya, apalagi jika diperdebatkan, maka pasti akan terjadi perbedaan. Pro-kontra. Maka saling menghormati masing-masing hasil ijtihad merupakan hal yang paling bijak. Karena kita semua selalu dan sedang sama-sama berijtihad.

Wallahu a’lam bi al-shawab



[1] Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang membuat-buat suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).

[2] Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

[3] Ayatullah Subhani dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa orang-orang Ahlulkitab pernah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah, berdasarkan hal ini, Rasulullah Saw pada awalnya melarang, kemudian memperbolehkan. akan tetapi pelarangan ini tidak lama bertahan, dan ketika hadirnya kondisi-kondisi memungkinkan pada tahun ketujuh Hijriyah di Hudaibiyah. (Ibnu Sa'ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil.  1, hal. 94, Dar al-Kitab Islamiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H)

[4] bahwa Rasulallah pernah ziarah ke makam Baqi’ dan mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada para ahli kubur di makam Baqi’ tersebut.

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا

Artinya :    Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)

[5] Dalam sebuah riwayat Ahmad dari Anas bin Malik, Nabi pernah memuji sifat orang-orang Yaman di hadapan para sahabatnya, dengan kalimat:

قَدْ جَاءَكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ

Artinya: “Telah datang kepada kalian penduduk Yaman, dan merekalah orang yang pertama sekali yang melakukan berjabat tangan.” (HR Abu Daud dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu).

[6]  عْفُوْا اللُّحَى وَجَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى (أخرجه أحمد رقم 8657 والبيهقى رقم 673 عن أبى هريرة ، قال المناوى : بإسناد جيد)

“Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian menyamai dengan Yahudi dan Nashrani” (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari Abu Hurairah, sanadnya jayid)

Share:

HANYA BALA' DAN FITNAH YANG ABADI DI DUNIA INI


Allah dalam salah satu Ayat-Nya berfirma:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. (QS. Ar-Rahman : 26-27)

Menurut ayat ini, bahwa segala yang ada di dunia ini tidak abadi, senada dengan ayat 88 surah al-Qashash “bahwa tiap-tiap sesuatu pasti binasa.”[1] Sedangkan Imam Ibnu  Majah meriwatkan Hadis Nabi SAW;

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَمْ يَبْقَ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا بَلَاءٌ وَفِتْنَةٌ

Telah menceritakan kepada kami [Ghiyats bin Ja'far Ar Rahabi] telah memberitakan kepada kami [Al Walid bin Muslim] saya mendengar [Ibnu Jabir] berkata; katanya; saya mendengar [Abu Abdu Rabbihi] berkata; saya mendengar [Mu'awiyah] berkata, "Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah abadi (akan tersisa) dari dunia ini melainkan cobaan dan fitnah." (HR. Ibnu Majah:  4025)

Jadi, menurut hadis ini yang abadi di dunia ini hanyalah dua hal, yakni “Bala’ dan Fitnah.” Di mana keduanya merupakan hal niscaya dan identik dengan seluruh aspek hidup-kehidupan manusia dan kemanusiaan. Oleh karenanya, ikhlas, sabar dan tawakkal merupakan senjata jitu dalam menghadapi keniscayaan bala’ dan fitnah tersebut.

Di dalam masyarakat kita, memaknai keduanya (bala’ dan Fitnah) secara berbeda, bahwa bala’ selalu artikulasikan pada sesuatu yang negatif, tidak menyenangkan dan sebagainya. Seperti gempa tektonik, kecelakaan, sakit dan lain-lain. Sedangkan fitnah biasanya dipersepsikan pada hal-hal yang berkaitan dengan wanita, kadang harta. Akan tetapi, pada dasarnya keduanya memiliki makna yang sama, bahwa baik bala' maupun fitnah sama-sama merupakan ujian dari Allah yang bisa saja berupa kebaikan atau keburukan sebagaimana al-Qur’an menyinggungnya,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Kami akan membala' (menguji) kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (cobaan). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiya’: 35)

Menurut ayat ini, bahwa Allah senantiasa membala (menguji) manusia dengan "kejelekan" dan kebaikan" sebagai fitnah (cobaan). Namun demikian, memang dalam beberapa hadis Nabi seolah menunjukkan pada persepsi umum di atas, tentang fitnah identik dengan wanita, kadang harta. Nabi bersabda,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بْنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاء

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menguasakan kepada kalian untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada Bani Israil adalah karena wanita.” (Muslim [no. 2742 (99))

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita. (HR. Bukhari-Muslim)

Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya masing-masing umat itu ada fitnahnya dan fitnah bagi umatku adalah harta [HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibni Hibbân dalam shahihnya]

Namun, yang paling konferm kaitan persamaan keduanya adalah demi terciptanya suatu kesadaran, dapat diambil pelajaran dan muhasabah diri untuk lebih baik, sebagaimana firman-Nya;

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia membala' (menguji) kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk: 2)

Berbeda dengan keduanya adalah “musibah,” bahwa musibah merupakan cobaan dari Allah yang berupa sesuatu hal buruk saja, tidak baik dan dianggap negatif oleh manusia. (Baca Selengkapnya Ayat-Ayat tentang Musibah di sini). Namun pada dasarnya antara bala', fitnah dan musibah tujuan awalnya adalah untuk pelajaran/ muhasabah diri dan tujuan akhirnya adalah demi lebih baiknya diri, akhlak sosial dan agama.

Dan yang paling penting untuk semua hal yang terkait bala', fitnah dan musibah. Bahwa semuanya merupakan kata lain dari kasih sayang Allah terhadap hambaNya. Sehingga kita jangan menganggapnya sebagai beban apalagi kutukan yang kemudian kita merasa takut dengannya. Nabi Sihallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ 

Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. (HR. at-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Mâjah no. 4031 (Ash-Shahîhah no. 146)).

Waallahu a'lam bi al-shawab



[1] كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَ
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. (QS. Al-Qashash : 88)
Share:

Rabu, 14 Maret 2018

TIGA AMAL YANG TIDAK DITIMBANG DI HARI KIAMAT

ثلاثة أعمال ليس لها موازين يوم القيامة لعظمتها

Tiga amal yang tidak akan ada timbangannya pada hari kiamat, karena keagungannya...

1- العفو عن الناس : لم يحدد الأجر
قال الله تعالى: { فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ}.

1- Memaafkan Kesalahan Orang: (amal istimewa yang) tidak terbatas pahalanya.

Allah berfirman:

(وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ)

[Surat Ash-Shura 40]
_Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim._

2- الصبر: لم يحدد الأجر 
قال تعالى: (إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

2- Sabar:  (amal istimewa) yang juga tidak terbatas pahalanya.

Allah berfirman:

(قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ)

[Surat Az-Zumar 10]
_Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas._

3- الصيام: لم يحدد الأجر (كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به).

3- Puasa: (juga amal istimewa) yang tidak terbatas pahalanya.

Allah berfirman dalam hadits qudsi-Nya:

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به.

Yang artinya: _semua amal anak Adam adalah diperuntukkan kepadanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untukKu dan Aku sendiri yang akan membalasnya._ (Bukhori dan Muslim)

وينادي مُنادٍ يوم البعث: أين الذين أجرهم على الله؟ فـيقبل الصابرون والصائمون والعافون عن الناس.

Pada hari kebangkitan ada Penyeru yang memanggil : Mana orang-orang yang pahalanya atas (tanggungan) Allah..?!_

Maka menghadaplah orang-orang yang sabar, orang-orang yang berpuasa dan orang-orang yang lapang hati suka memberi maaf kepada orang lain.
Share:

Selasa, 13 Februari 2018

NABI TIDAK PERNAH MEMADU (POLIGAMI) ISTRI PERTAMA

Ustadz tengku Zulkarnaen dalam sebuah ceramahnya mengatakan bahwa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallah tidak pernah memadu (poligami) istri pertamanya. Sitti Khadijah yang merupakan istri pertama Nabi Muhammad tidak pernah dimadu hingga menginjak usia perkawinanya yang ke 25 tahun. Baru setelah Khadijah wafat diusia 65 tahun, Nabi melakukan poligami.

“Nabi tidak pernah memadu istri pertama. Sampai umur 65 pun sitti Khadijah tidak pernah dimadu sama Nabi. Nabi umur 50, sitti Khadijah umur 65 tidak pernah dimadu sampai wafat. Baru sesudah istri pertama wafat,baru  Nabi kawin banyak.” Imbuhnya.

Dalam acara yang dihadiri oleh para wali murid dan para ustadz-ustadzah itu, Ustadz tengku juga menyampaikan bahwa sunnah Nabi yang itu yang coba beliau laksanakan. Sebagaimana diketahui ustadz tengku memang belum pernah berpoligami.

“saya pingin melakukan sunnah Nabi yang itu.” Kata beliau.

Selain mencontohkan kisah Nabi di atas, beliu juga mingisahkan sitti Fatimah putri Nabi yang juga tidak pernah dimadu oleh sahabat Ali bin Abi Thalib selagi masih hidup. Begitu pun sahabat Utsman Bin Affan yang melakukan poligami setelah istri pertamanya wafat, Ummi Kulsum.

“Fatiamah radiyallahu ‘anha tidak pernah dimadu sampai wafat oleh sayyidina Ali. Begitu wafat fatiamah baru sayyidan Ali kawin empat. Ruqayyah, Ummi Kulsum anak Nabi, wafat Ruqayyah, Ummi Kulsum dikawini sayyidina Utsman. Baru wafat Ummi Kulsum, baru sayyidina Ustman kawin empat. Saya tidak berani memadu karena yang pertama masih hidup.” Tambah ustadz tengku dengan diikuti sorak tawa hadirin.

Begitulah hal inspiratif yang disampaikan oleh ustadz Tangku Zulkarnaen. Meski hal itu, tidak berarti mengandung larangan mempoligami istri pertama, namun perlu untuk diperhatikan bersama. Biasanya, selain karena istri pertama secara senioritas ia lebih impresif karena ia merasa lebih berhak atas suaminya, juga karena secara psikologis ia akan lebih tertekan dan tidak siap jika harus berbagi suami dengan yang lain.

Selain itu, jika dibawa ke dalam konteks negri ini, di mana poligami lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang berduit, tapi belum tentu siap secara batin. Juga kadang dilakukan tidak karena tujuan mengayomi, meringankan beban dan sebagainya. Maka dari itu, perkataan ustadz Tengku Zulkarnaen ini menjadi renungan bersama, syukur-syukur didengar DPR-RI.

Wallahu a’lam bi al-shawaab…..
Share:

Senin, 12 Februari 2018

JOGJA DAN BERBAGAI INSIDEN INTOLERAN

Buya Hamka pernah berkata, bahwa semakin kuatnya keyakinan (iman) yang dimiliki seseorang, seharunsnya akan membuatnya lebih menghormati keyakinan (iman) yang dimiliki orang lain. Seandainya sebaliknya? Ketika kekuatan keyakinan kita, justru malah membuat kita merasa semakin takut dan terganggu oleh keyakinan orang lain. Maka hal ini, seharusnya menjadi media introspeksi tersendiri bagi kehidupan sosial kita.

Seperti peristiwa penolakan terhadap bakti sosial gereja santo Paulus, pringgolayan, banguntapan Yogyakarta, Pada 28 januari 2018 lalu, oleh pemuda setempat dan ormas Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia, dengan alasan ada tendensi kristenisasi.

Seandainya anggapan kristenisasi ini benar, saya tidak tahu apakah konstitusi negri kita ini melarang? Sebagaimana misalkan umat islam mendakwahkan islam pada non muslim. Namun, seandainya anggapan tersebut salah? karena bisa jadi bakti sosial tersebut adalah untuk semakin mempererat hubungan antar warga terutama yang berbeda agama. Sebab, di Pringgolayan saling berbaur begitu sudah biasa terjadi.

Namun tidak itu saja, melihat kebelakang kasus diskriminasi-intoleran seperti ini sudah beberapa kali terjadi di Yogyakarta, kota istimewa yang kultur warganya tersohor karena keramah-santunnya. Sebagaimana dicatat Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, terjadi 13 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Yogyakarta sepanjang 2011 sampai 2015.

Pada Desember 2016, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta, menurunkan semua baliho iklan kampus yang menggambarkan beberapa mahasiswi, termasuk seorang mahasiswi berjilbab, setelah didatangi sejumlah orang dari Forum Umat Islam (FUI).

Lalu, pada Februari 2016, pesantren waria Al-Fatah di Bantul yang berdiri sejak 2008 ditutup setelah diancam akan disegel oleh ormas Front Jihad Islam (FJI).

Dan yang terbaru, insiden penyerangan Gereja Santa Lidwina, Bedog (Minggu, 11/2/2018) oleh Suliyono, warga Banyuwangi, yang mengakibatkan lima orang terluka. Walau belum diketahui motifnya, namun sebagaimana disampaikan oleh orang tua suliyono, bahwa suliyono merupakan anak pondok di yogya yang telah dua tahun meninggalkan kampung halamannya, banyuwangi.

Meski insiden-insiden tersebut, nyatanya tidak begitu mempengaruhi interaksi kerukunan antar umat beragama, terutama di Yogyakarta. Tetapi, hal itu tetap tidak bisa dibiarkan terus terulang kembali. Agar sama-sama terjaga hak-hak dan keadilan bagi seluruh warga.
Share:

Jumat, 09 Februari 2018

REALITAS LARANGAN DALAM ISLAM

Setidaknya ada beberapa lafadz dalam bahasa al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan ketidak-bolehan atau sesuatu yang mesti dijauhi. Antara lain adalah larangan; bisa berupa lafadznya sendiri, seperti  نهى  yang berarti larangan, bisa juga dengan لاناهى atauنافى  لا, dan atau bisa kereana adanya sebab sehingga hal itu dilarang, seperti najis (نجس/ ركس), لعن (laknat), هلك (merusak) dan semacamnya. Kemudian, haram; yang artinya ketidak-bolehannya adalah mutlak dan sesungguhnya yang paling berhak menentukan hal ini adalah Allah semata dengan firman-firmannya yang qhat'i.

Namun lebih khusus tulisan ini akan membahas permasalahan yang pertama, yaitu tentang larangan. Bahwa sejarah menunjukkan realitas larangan dalam islam sangat terkait dengan ada atau tidak adanya illat (alasan) dibalik tidak dibolehkannya sesusutu itu (يدور مع العلة وجودا وعدما) dan akan adanya kemungkinan para ahli untuk berbeda paham tentangnya.
Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :

لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه
artinya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya” (H.R Muslim)

Hadis di atas berisi tentang larangan (menggunakan huruf لاناهى = لاتكتب) menulis hadis dari rasulullah, bahkan dalam beberapa riwayat Sa’id al-Khudry mengatakan jika beliau telah beberapa kali meminta izin kepada Nabi agar diperbolehkan menulis hadis, namun Nabi tetap tidak memperbolehkannya. Hanya saja di lain hal dan kesempatan rasulullah pernah memerintakan Abdullah bin Amr bin ‘Ash menulis hadis, beliau bersabda:

أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق

Dari Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda : artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar.

Terkait contoh kasus hadis diatas, menurut para ulama adanya larangan tersebut mengandung alasan bahwa dikawatirkan hadis yang ditulis akan tercampur dengan al-Qur’an. Jika tidak? Maka, ketika ada sebuah olok-olok oleh kaum Quraisy akan entitas hadits, maka Nabi memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk menulis, sekaligus menyatakan bahwa apa-apa yang datang dari beliau adalah haq.

Contoh lain adalah larangan minum berdiri (baca artikelnya disini), buang air kecil berdiri (baca artikel selengkapnya di sini), ziarah kubur, wanita keluar tanpa didampingi oleh muhrimnya dan sebagainya. Yang kesemuanya, awalnya dilarang karena faktor alasan tertentu dan ternyata juga Nabi pernah melaksanakannya, hingga akhirnya sekarang menjadi mafhum.

Selanjutnya, bahwa dalam konteksitas larangan akan sangat mungkin menimbulkan perbedaan paham atau pendapat bagi para ahli. Abdullah bin Muhammad bin Asma' telah menceritakan kepada kami Juwairiyah bin Asma' dari Nafi' dari Ibnu 'Umar ra, ia berkata; Nabi saw bersabda ketika perang al-Ahzab:
 
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

"Janganlah seseorang melaksanakan shalat 'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah." Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan shalat 'Ashar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata; "Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di perkampungan itu." Sebagian yang lain beralasan; "Justru kita harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu." Setelah kejadian ini diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun." (HR. Bukhari)

Hadits ini, menunjukkan larangan (menggunakan huruf نافى  لا = لَا يُصَلِّيَنَّ) Nabi SAW agar menunaikan shalat ashar tidak diselaian ditempat bani Quraidlah. Bahkan menariknya, redaksi hadits ini memakai nun taukid tsakilah, yang artinya adanya larangan tersebut benar-benar tidak boleh dilanggar. Namun, kenyataan para sahabat berbeda pendapat, yakni di antaranya sami’na wa ‘ata’na terhadap perintah Nabi, dan di antaranya yang lain tidak patuh pada perintah Nabi dengan melaksanakan shalat ashar dalam perjalanan, karena pertimbangan waktu. Dan ternyata setelah persoalan ini disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu pihak. Imam Thabary mengatakan, malah Nabi tersenyum dengan kasus tersebut.

Kemudian, terkait larangan dilihat dari segi sebab hal itu dilaranga. Seperti contoh hal-ihwal konstitusianalisasi "najis", "merusak," "bahaya" dan lain-lain dalam islam, maka para ulama pasti akan terjadi perbedaan pendapat tentangnya.

Semisal, najisnya anjing, Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad mengatakan, bahwa seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Imam Malik mengatakan, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad berkata, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Selain itu, juga terkait perbedaan pendapat najisnya kotoran hewan yang halal atau haram dimakan (baca selengkapnya di sini) dan banyak lagi contoh yang lain.

Terkait alasan membahayakan atau dapat merusak kemudian hal itu dilarang bahkan ada yang mengharamkan. Ambil contoh, salah satunya adalah konsepsi haramnya rokok. Karena yang menjadi rujukan nashnya adalah bersifat larangan, maka keharaman rokok menununjukan pro-kontra.

Masih banyak lagi hal-hal yang karena sebab-sebab tertentu kemudian hal tersebut di”larang.” Selain Najis, merusak dan berhabaya seperti yang disebutkan di atas, silahkan dicari dan dicermati sendiri.  Kesimpulannya, konsepsi Larangan dalam termenologi islam sangat bersifat temporal-kondisional. Ia tidak bersifat mutlak.

Wallahu a’lam bi al-Shawaab.

Share:

Rabu, 07 Februari 2018

الطَّاعُونِ


Rasulullah SAW sebagaimana pada riwayat Imam Bukhari dan  Imam Ahmad bersabda:

 عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ ؟ فَأَخْبَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ " 

Artinya, “Dari Siti Aisyah RA, ia berkata, ‘Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, ‘Zaman dulu tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar serta mengharapkan ridha ilahi seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’’” (HR Ahmad).

Rasulullah SAW mengingatkan untuk tidak memasuki daerah yang sedang terjangkit penyakit dan tidak keluar dari daerah yang sedang tertimpa wabah. 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ 

Artinya, “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim).


Share:

Rabu, 31 Januari 2018

Belajar Cara Menjawab Kiriman Salam Pada Malaikat Jibril

Adalah kebiasaan umat islam Indonesia, saat mendapat kiriman salam dari orang ketiga yang disampaikan oleh orang kedua padanya. Jawabannya bisa dipastikan selalu “Wa’alaikumsalam,” atau dengan kalimat yang lengkap “wa’alaikumsalam wa rahmatullah wa barokatuh.” Selain, mungkin karena mereka hanya mengenal atau mafhum pada kalimat tersebut saja, juga karena mereka kurang mempelajari kaidah-kaidah keberislaman mereka. Maka dari itu, marilah kita sama-sama menyimak cara menjawab kiriman salam dari orang lain untuk kita, menurut hadis Nabi berikut;

Berdasarkan hadits shahih dari Aisyah radiallahu anha dengan lafazh:

إن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  :  يا عايش هذا جبريل وهو يقرأ عليك السلام قالت فقلت وعليه السلام ورحمة الله وبركاته ترى ما لا أرى تريد بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari ‘Aisyah radiallahu anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu.” Aisyah berkata; Kemudian Aku berkata, “Wa’alaihis salam warahmatullah wabarakatuh” (Maktabah Albani v2.0, hadits no. 1036)

Hadis ini mengajarkan secara khusus, ketika kita mendapat kiriman salam dari orang ketiga melalui orang kedua terhadap kita. Maka, seyogyanya menggunakan jawaban dengan khitab yang sesuai. Dalam hadis tersebut, malaikat mengatakan dengan kalimat “’alaikissallam,” (عليك السلام) karena memang khitab yang dimaksud adalah perempuan, Sitti Aisyah. Kemudian dijawab oleh Sitti Aisyah dengan kalimat “wa’alaihissalam wa rahmatullah wa barokaatuh,” (وعليه السلام ورحمة الله وبركاته) sebab, yang dimaksud adalah malaikat yang notabenenya oleh nash selalu identikkan pada jenis laki-laki (bahwa ketika dhamir yang menunjuk pada malaikat, al-Qur’an maupun Hadis selalu menggunakan khitab atau dhamir untuk laki-laki), maka Sitti Aisyah menggunakan Dhamir bariz muttashil, yakni ha’ (ه) pada lafadz ‘alaihi. Artinya khitab dan dhamir, baik yang dari malaikat Jibril maupun yang dari Sitti Aisyah sama-sama ditujukan langsung pada orang ketiga (dari Sitti Aisyah pada Malaikat Jibril) atau pada orang pretama (dari Malaikat Jibril pada Sitti Aisyah). 

Malaikat Jibril tidak mengucapkan  dengan kalimat “assalamu’alaikum” dan Sitti Aisyah juga tidak menjawabnya dengan “wa’alaikumsalam warahmatullah wabarokaatuh.” Sebagai mana kalimat tersebut lumrah digunakan oleh umat Islam Indonesia, yang kebetulan sampai saat ini belum ada Ulama pun yang menyalahkannya. Meski tidak ditemukan hadis yang menyalahkannya, setidaknya penulis juga belum menemukan tuntunan hadis bahwa harus demikian.

Dengan demikian, maka sepantasnya jawaban salam harus disesuaikan dengan situasi khitab atau dhamirnya. Seandainya yang mengirim salam adalah tiga orang atau lebih perempuan/laki-laki, maka kalimat jawaban yang sesuai adalah “wa’alaihinnasalam warohmatullah/ wa‘alaihimussalam warohmatullah” وعليهن السلام ورحمة الله \وعليهم السلام ورحمة الله)). Seandainya yang mengirim salam adalah dua orang perempuan atau laki-laki, maka jawabannya “wa’alaihimassalam warohmatullah” (وعليهما السلام ورحمة الله). seandainya orang yang mengirim salam adalah satu orang perempuan atau laki-laki, maka jawabanya “wa’alaihassalam/alaihissalam warohmatullah” (وعليهاالسلام \وعليه السلام ورحمة الله), dan seterusnya.

Wallahu a’lam bi al-shawaab…..
Share:

Selasa, 16 Januari 2018

أُولِي الْأَلْبَابِ

 الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 191)

Share:

Senin, 15 Januari 2018

MEMBERI DAN MENJAWAB SALAM PADA MASA NABI

Pada masa Rasulullah saw, cara menjawab salam sesungguhnya adalah bervariasi. Maka boleh menjawab salam, ketika ada satu orang mengucapkan salam dengan ucapan السلام عليكم (adapun keselamatan semuga atas kalian/anda), dengan jawaban وعليك (iya, atas kamu juga) tidak harus dengan وعليكم السلام sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amru berkata,

بينما نحن جلوس عند النبي صلى الله عليه وسلم في ظل شجرة بين مكة والمدينة إذ جاء أعرابي من أجلف الناس وأشدهم فقال السلام عليكم فقالوا وعليك

"Ketika kami duduk di sisi Nabi saw, di bawah naungan sebuah pohon antara Makkah dan Madinah, tiba-tiba ada seorang Arab Badui yang termasuk orang yang keras lagi kasar berkata,' Assalaamu'alaikum'. Lalu mereka menjawab, Wa'alaika"'(Adabul Mufrad-Imam Bukhari, Shahih sanadnya).

Walau pun begitu, jawaban pada satu orang dengan kalimat وعليكم السلام bukan berarti salah, bahkan tergolong lebih baik. Sebab, dhamir muttasil  كم bisa saja dipakai pada satu orang dengan maksud ta’dhim atau penghormatan. Dan demikian juga yang biasa diterapkan oleh masyarakat kita, Indonesia.  Bahkan  Mua'wiyah bin Qurrah pernah bercerita  bahnwa ayahnya pernah berkata kepadanya,

 يا بني إذا مر بك الرجل فقال السلام عليكم فلا تقل وعليك كأنك تخصه بذلك وحده ولكن قل السلام عليكم

'Wahai anakku, apabila ada seseorang bertemu denganmu lalu dia mengucapkan assalaamu'alaikum, maka engkau jangan mengucapkan wa 'alaika, seakan-akan kamu mengkhususkan untuk dia saja, sesungguhnya dia tidaklah sendirian. Katakanlah assalaamu'alaikum." (Shahih. Adabul Mufrad-Imam Bukhari:  791/1037)

Selain itu, berikut juga cara menjawab salam yang dicontohkan Rasulullah dan Para Sahabat beliau.
Dari Ibnu Jamrah,

سمعت بن عباس إذا يسلم عليه يقول وعليك ورحمة الله

"Saya mendengar Ibnu Abbas bila diucapkan salam kepadanya, dia berkata, 'Alaihi wa rahmatullaah."' (Bagimu rahmat Allah) (Adabul Mufrad-Imam Bukhari, Shahih sanadnya)

Dari Abu Abdullah berkata, "Qailah telah berkata, 'Seseorang berkata,

السلام عليك يا رسول الله قال وعليك السلام ورحمة الله

"Selamat bagi engkau wahai Rasulullah?," Nabi menjawab, "Wa'alaikas-salaamu wa rahmatullah.'" (Keselamatan dan rahmat Allah bagimu).” (Hasan shahih, Mukhtasharus-Syama’il Al Muhammadiyah (53/Pentahqiqan yang kedua). [Adabul Mufrad-Imam Bukhari, 789/1034].

Dari Abu Dzarr berkata,

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم حين فرغ من صلاته فكنت أول من حياه بتحية الإسلام فقال وعليك ورحمة الله ممن أنت قلت من غفار

"Saya menghampiri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, setelah selesai melaksanakan shalatnya. Saya orang pertama yang mengucapkan penghormatan dengan penghormatan secara Islam, lalu Nabi berkata, Wa'alaika, wa rahmatullah" (Dan bagimu rahmat Allah) Dari mana kamu?’ Saya menjawab, 'Dari bani Ghifar."' Shahih, [Muslim, 44- Kitab Fadhailush-Shahabah, hadits 132].

Selain itu, ada sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Seraya berkata,

إِذَا دَخَلَ البَيْتَ غَيْرَ المَسْكُوْنِ، فَلْيَقُلْ: السَّلاَمُ عَلَيْنَا، وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

“Jika seseorang masuk rumah yang tidak didiami, maka ucapkanlah “ASSALAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN (salam bagi diri kami dan salam bagi hamba Allah yang saleh)” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod 806/1055.Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, 11:17).

Hadist tersebut senanda dengan kalimat tahyat terakhir dalam shalat;


التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّه

Tidak hanya itu, berdasarkan hadits shahih dari Aisyah radiallahu anha dengan lafazh:

إن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  :  يا عايش هذا جبريل وهو يقرأ عليك السلام قالت فقلت وعليه السلام ورحمة الله وبركاته ترى ما لا أرى تريد بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari ‘Aisyah radiallahu anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu.” Aisyah berkata; Kemudian Aku berkata, “Wa’alaihis salam warahmatullah wabarakatuh” (Maktabah Albani v2.0, hadits no. 1036)

Begitulah seputar bagaimana dan dengan lafadz apa saja mereka para sahabat dan Rasulluh saw, senatiasa melafadzkan jawaban salam mereka terhadap orang lain. Adalah beragam dan tergantung mukhathab atau lawan bicaranya, apakah dia laki-laki atau permempuan, jamak (banyak) atau mufrad (sendirian).

Wallahu a’lam bi al-shawaab……
Share:

Jumat, 12 Januari 2018

BOLEH MENGUCAP SALAM HANYA DENGAN LAFADZ "SALAM" SAJA.

Termasuk hal yang terbilang baru, namun sudah sering terjadi dan dilakukan oleh beberapa orang. Terlebih di dunia chatting, seperti wahatsapp, BBM, Facebook, line dan sebagainya. Yakni pemanggilan salam yang hanya diucapakan dengan “salam” saja, tidak secara lengkap atau paling tidak minimal “Assalamu’aikum wa rahmatullah.” Terkait hukum masalah ini, sebetulnya sudah banyak dibahas, diantaranya ada yang tidak membolehkan. Imam Nawawi dalam kitab syarah Lubabul Hadis, mengatakan “ucapan salam hanya dengan lafadz salam saja adalah tidak dianggap, karena tidak diucapkan dengan kalimat yang sempurna (laisa bikalaamin taammin).” Bahkan ada sebagian yang menanggapinya (mengucap salam saja) dengan marah-marah, mengancam akan memblokir dan lain-lain. Sama halnya dengan mereka ketika mendapati ucapan salam dalam tulisan yang disingkat-singkat, contoh asslm.wrwb dan sebagainya.

Reaksi demikian menjadi mafhum, sebab memang kebiasaan kita seolah mengunci paradigma kita. Bahwa ketika ada orang tua menegur anaknya, semisal tidak mengucapkan salam saat memasuki rumah, maka sang ayah akan bilang; “Salam dulu toh nduk!” nah!, salam dimaksud adalah ucapan “assalamu’aikum wa rahmatullah wabarokatuh” secara utuh atau paling tidak minimal “assamu’alaikum.” Selain itu, dalam keseharian rakyat Indonesia secara umum, hanya mengenal ucapan salam dengan “assamu’alaikum,” jarang bahkan seperti tidak lumrah menggunakan lafadz “assalamu’alaika,” “assalamu’alaiki” seperti yang pernah dilakukan sahabat-sahabat pada masa Nabi.

Baralih pada dasar paling pokok dalam Islam, yakni al-Qur’an, maka paradigma umum tersebut tergambar pada pengertian ayat berikut:

تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ ۚ وَأَعَدَّ لَهُمْ أَجْرًا كَرِيمًا

Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka. (QS. Al-Ahzab: 44)

Pada ayat ini, posisi lafadz “salamun” (سَلَامٌ) sebagai khabar dari mubtada’ “tahiiyyatuhum” (تَحِيَّتُهُمْ) dapat dipahami, bahwa salam yang dimaksud adalah ucapan salam secara lengkap atau minimal “assalamu’alaikum,” sebagaimana pendapat umum. Sama seperti ayat yang lain berikut ini:

إِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًا ۗ قَالَ سَلٰمٌ ۚ قَوْمٌ مُّنْكَرُوْنَ

(Ingatlah) ketika mereka masuk ketempatnya lalu mengucapkan," Salaman (salam) '' Ibrahim menjawab, "Salamun (salam)". (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya. (adz-Dzirayat: 25).

Menurut ayat ini juga bisa dipahami, bahwa yang dimaksud mengucapakan salam adalah salam secara utuh atau minimal “assamu’alaikum.” Karena lafadz “salaman” (سَلٰمًا) setelah kata “faqaalu” (فَقَالُوْا) bisa saja kedudukannya dianggap sebagai maf’ul bih biasa, bukan maqaalul qaul. Walau pun, ayat ini masih dapat ditafsirkan berbeda, setelah memperhatikan kalimat setelahnya, “qaala salamun” (قَالَ سَلٰمٌ). Imam Ibnu Kasir dalam kitab Tafsirnya terkait ayat ini, mengatakan  Rafa' lebih kuat dan lebih kukuh daripada nasab, maka menjawab dengan memakai rafa' lebih utama daripada memulainya. Di sini Ibnu Kasir seolah ingin mengatakan, “salaman” dalam ayat tersebut memang demikian lafadznya, makanya dijawab dengan “salamun” saja cukup, dengan lafadnya yang sama-sama pendeknya. walau ia katakan lafadz “salamun” adalah lebih baik.

Lebih jauh, mari kita simak ayat berikut ini:

فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلامٌ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat tinggal)." Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk). (al-Zuhruf: 89)

Maka ayat inilah inti sari dari pembahasan kita. Dengan ayat ini kita dapat menyimpulkan bahwa mengucapkan salam hanya dengan kata “salam” saja adalah cukup. Dan ayat ini lah dalilnya. Sebab kedudukan lafadz “salamun” (سَلامٌ) pada ayat ini merupakan maqaalul qaul dari dari lafadz “qul” (قُلْ) sebelumnya. Yang artinya, lafadz “salamun” (سَلامٌ) tersebut adalah lafadz asalnya. Oleh karena itu, maka berarti mengucapkan salam hanya dengan lafadz salam saja adalah boleh, serta insyaallah berpahala. Sebab, telah menurut apa kata al-Qur’an.

Waallahu a’lam bi al-Shawaab…..
Share:
TERIMA KASIH