السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selasa, 13 Februari 2018

NABI TIDAK PERNAH MEMADU (POLIGAMI) ISTRI PERTAMA

Ustadz tengku Zulkarnaen dalam sebuah ceramahnya mengatakan bahwa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallah tidak pernah memadu (poligami) istri pertamanya. Sitti Khadijah yang merupakan istri pertama Nabi Muhammad tidak pernah dimadu hingga menginjak usia perkawinanya yang ke 25 tahun. Baru setelah Khadijah wafat diusia 65 tahun, Nabi melakukan poligami.

“Nabi tidak pernah memadu istri pertama. Sampai umur 65 pun sitti Khadijah tidak pernah dimadu sama Nabi. Nabi umur 50, sitti Khadijah umur 65 tidak pernah dimadu sampai wafat. Baru sesudah istri pertama wafat,baru  Nabi kawin banyak.” Imbuhnya.

Dalam acara yang dihadiri oleh para wali murid dan para ustadz-ustadzah itu, Ustadz tengku juga menyampaikan bahwa sunnah Nabi yang itu yang coba beliau laksanakan. Sebagaimana diketahui ustadz tengku memang belum pernah berpoligami.

“saya pingin melakukan sunnah Nabi yang itu.” Kata beliau.

Selain mencontohkan kisah Nabi di atas, beliu juga mingisahkan sitti Fatimah putri Nabi yang juga tidak pernah dimadu oleh sahabat Ali bin Abi Thalib selagi masih hidup. Begitu pun sahabat Utsman Bin Affan yang melakukan poligami setelah istri pertamanya wafat, Ummi Kulsum.

“Fatiamah radiyallahu ‘anha tidak pernah dimadu sampai wafat oleh sayyidina Ali. Begitu wafat fatiamah baru sayyidan Ali kawin empat. Ruqayyah, Ummi Kulsum anak Nabi, wafat Ruqayyah, Ummi Kulsum dikawini sayyidina Utsman. Baru wafat Ummi Kulsum, baru sayyidina Ustman kawin empat. Saya tidak berani memadu karena yang pertama masih hidup.” Tambah ustadz tengku dengan diikuti sorak tawa hadirin.

Begitulah hal inspiratif yang disampaikan oleh ustadz Tangku Zulkarnaen. Meski hal itu, tidak berarti mengandung larangan mempoligami istri pertama, namun perlu untuk diperhatikan bersama. Biasanya, selain karena istri pertama secara senioritas ia lebih impresif karena ia merasa lebih berhak atas suaminya, juga karena secara psikologis ia akan lebih tertekan dan tidak siap jika harus berbagi suami dengan yang lain.

Selain itu, jika dibawa ke dalam konteks negri ini, di mana poligami lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang berduit, tapi belum tentu siap secara batin. Juga kadang dilakukan tidak karena tujuan mengayomi, meringankan beban dan sebagainya. Maka dari itu, perkataan ustadz Tengku Zulkarnaen ini menjadi renungan bersama, syukur-syukur didengar DPR-RI.

Wallahu a’lam bi al-shawaab…..
Share:

Senin, 12 Februari 2018

JOGJA DAN BERBAGAI INSIDEN INTOLERAN

Buya Hamka pernah berkata, bahwa semakin kuatnya keyakinan (iman) yang dimiliki seseorang, seharunsnya akan membuatnya lebih menghormati keyakinan (iman) yang dimiliki orang lain. Seandainya sebaliknya? Ketika kekuatan keyakinan kita, justru malah membuat kita merasa semakin takut dan terganggu oleh keyakinan orang lain. Maka hal ini, seharusnya menjadi media introspeksi tersendiri bagi kehidupan sosial kita.

Seperti peristiwa penolakan terhadap bakti sosial gereja santo Paulus, pringgolayan, banguntapan Yogyakarta, Pada 28 januari 2018 lalu, oleh pemuda setempat dan ormas Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia, dengan alasan ada tendensi kristenisasi.

Seandainya anggapan kristenisasi ini benar, saya tidak tahu apakah konstitusi negri kita ini melarang? Sebagaimana misalkan umat islam mendakwahkan islam pada non muslim. Namun, seandainya anggapan tersebut salah? karena bisa jadi bakti sosial tersebut adalah untuk semakin mempererat hubungan antar warga terutama yang berbeda agama. Sebab, di Pringgolayan saling berbaur begitu sudah biasa terjadi.

Namun tidak itu saja, melihat kebelakang kasus diskriminasi-intoleran seperti ini sudah beberapa kali terjadi di Yogyakarta, kota istimewa yang kultur warganya tersohor karena keramah-santunnya. Sebagaimana dicatat Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, terjadi 13 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Yogyakarta sepanjang 2011 sampai 2015.

Pada Desember 2016, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta, menurunkan semua baliho iklan kampus yang menggambarkan beberapa mahasiswi, termasuk seorang mahasiswi berjilbab, setelah didatangi sejumlah orang dari Forum Umat Islam (FUI).

Lalu, pada Februari 2016, pesantren waria Al-Fatah di Bantul yang berdiri sejak 2008 ditutup setelah diancam akan disegel oleh ormas Front Jihad Islam (FJI).

Dan yang terbaru, insiden penyerangan Gereja Santa Lidwina, Bedog (Minggu, 11/2/2018) oleh Suliyono, warga Banyuwangi, yang mengakibatkan lima orang terluka. Walau belum diketahui motifnya, namun sebagaimana disampaikan oleh orang tua suliyono, bahwa suliyono merupakan anak pondok di yogya yang telah dua tahun meninggalkan kampung halamannya, banyuwangi.

Meski insiden-insiden tersebut, nyatanya tidak begitu mempengaruhi interaksi kerukunan antar umat beragama, terutama di Yogyakarta. Tetapi, hal itu tetap tidak bisa dibiarkan terus terulang kembali. Agar sama-sama terjaga hak-hak dan keadilan bagi seluruh warga.
Share:

Jumat, 09 Februari 2018

REALITAS LARANGAN DALAM ISLAM

Setidaknya ada beberapa lafadz dalam bahasa al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan ketidak-bolehan atau sesuatu yang mesti dijauhi. Antara lain adalah larangan; bisa berupa lafadznya sendiri, seperti  نهى  yang berarti larangan, bisa juga dengan لاناهى atauنافى  لا, dan atau bisa kereana adanya sebab sehingga hal itu dilarang, seperti najis (نجس/ ركس), لعن (laknat), هلك (merusak) dan semacamnya. Kemudian, haram; yang artinya ketidak-bolehannya adalah mutlak dan sesungguhnya yang paling berhak menentukan hal ini adalah Allah semata dengan firman-firmannya yang qhat'i.

Namun lebih khusus tulisan ini akan membahas permasalahan yang pertama, yaitu tentang larangan. Bahwa sejarah menunjukkan realitas larangan dalam islam sangat terkait dengan ada atau tidak adanya illat (alasan) dibalik tidak dibolehkannya sesusutu itu (يدور مع العلة وجودا وعدما) dan akan adanya kemungkinan para ahli untuk berbeda paham tentangnya.
Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :

لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه
artinya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya” (H.R Muslim)

Hadis di atas berisi tentang larangan (menggunakan huruf لاناهى = لاتكتب) menulis hadis dari rasulullah, bahkan dalam beberapa riwayat Sa’id al-Khudry mengatakan jika beliau telah beberapa kali meminta izin kepada Nabi agar diperbolehkan menulis hadis, namun Nabi tetap tidak memperbolehkannya. Hanya saja di lain hal dan kesempatan rasulullah pernah memerintakan Abdullah bin Amr bin ‘Ash menulis hadis, beliau bersabda:

أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق

Dari Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda : artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar.

Terkait contoh kasus hadis diatas, menurut para ulama adanya larangan tersebut mengandung alasan bahwa dikawatirkan hadis yang ditulis akan tercampur dengan al-Qur’an. Jika tidak? Maka, ketika ada sebuah olok-olok oleh kaum Quraisy akan entitas hadits, maka Nabi memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk menulis, sekaligus menyatakan bahwa apa-apa yang datang dari beliau adalah haq.

Contoh lain adalah larangan minum berdiri (baca artikelnya disini), buang air kecil berdiri (baca artikel selengkapnya di sini), ziarah kubur, wanita keluar tanpa didampingi oleh muhrimnya dan sebagainya. Yang kesemuanya, awalnya dilarang karena faktor alasan tertentu dan ternyata juga Nabi pernah melaksanakannya, hingga akhirnya sekarang menjadi mafhum.

Selanjutnya, bahwa dalam konteksitas larangan akan sangat mungkin menimbulkan perbedaan paham atau pendapat bagi para ahli. Abdullah bin Muhammad bin Asma' telah menceritakan kepada kami Juwairiyah bin Asma' dari Nafi' dari Ibnu 'Umar ra, ia berkata; Nabi saw bersabda ketika perang al-Ahzab:
 
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

"Janganlah seseorang melaksanakan shalat 'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah." Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan shalat 'Ashar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata; "Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di perkampungan itu." Sebagian yang lain beralasan; "Justru kita harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu." Setelah kejadian ini diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun." (HR. Bukhari)

Hadits ini, menunjukkan larangan (menggunakan huruf نافى  لا = لَا يُصَلِّيَنَّ) Nabi SAW agar menunaikan shalat ashar tidak diselaian ditempat bani Quraidlah. Bahkan menariknya, redaksi hadits ini memakai nun taukid tsakilah, yang artinya adanya larangan tersebut benar-benar tidak boleh dilanggar. Namun, kenyataan para sahabat berbeda pendapat, yakni di antaranya sami’na wa ‘ata’na terhadap perintah Nabi, dan di antaranya yang lain tidak patuh pada perintah Nabi dengan melaksanakan shalat ashar dalam perjalanan, karena pertimbangan waktu. Dan ternyata setelah persoalan ini disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu pihak. Imam Thabary mengatakan, malah Nabi tersenyum dengan kasus tersebut.

Kemudian, terkait larangan dilihat dari segi sebab hal itu dilaranga. Seperti contoh hal-ihwal konstitusianalisasi "najis", "merusak," "bahaya" dan lain-lain dalam islam, maka para ulama pasti akan terjadi perbedaan pendapat tentangnya.

Semisal, najisnya anjing, Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad mengatakan, bahwa seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Imam Malik mengatakan, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad berkata, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Selain itu, juga terkait perbedaan pendapat najisnya kotoran hewan yang halal atau haram dimakan (baca selengkapnya di sini) dan banyak lagi contoh yang lain.

Terkait alasan membahayakan atau dapat merusak kemudian hal itu dilarang bahkan ada yang mengharamkan. Ambil contoh, salah satunya adalah konsepsi haramnya rokok. Karena yang menjadi rujukan nashnya adalah bersifat larangan, maka keharaman rokok menununjukan pro-kontra.

Masih banyak lagi hal-hal yang karena sebab-sebab tertentu kemudian hal tersebut di”larang.” Selain Najis, merusak dan berhabaya seperti yang disebutkan di atas, silahkan dicari dan dicermati sendiri.  Kesimpulannya, konsepsi Larangan dalam termenologi islam sangat bersifat temporal-kondisional. Ia tidak bersifat mutlak.

Wallahu a’lam bi al-Shawaab.

Share:

Rabu, 07 Februari 2018

الطَّاعُونِ


Rasulullah SAW sebagaimana pada riwayat Imam Bukhari dan  Imam Ahmad bersabda:

 عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ ؟ فَأَخْبَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ " 

Artinya, “Dari Siti Aisyah RA, ia berkata, ‘Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, ‘Zaman dulu tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar serta mengharapkan ridha ilahi seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,’’” (HR Ahmad).

Rasulullah SAW mengingatkan untuk tidak memasuki daerah yang sedang terjangkit penyakit dan tidak keluar dari daerah yang sedang tertimpa wabah. 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ 

Artinya, “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim).


Share:
TERIMA KASIH