Dzikir, yang domain energinya tertumpu pada kekuatan hati dan niat ini, merupakan ritual yang sangat dianjurkan bahkan wajib disegala keadaan, dalam kondisi tenang maupun frontal. Dengan selalu dzikir berarti manusia telah menyadari akan eksistensi kehambaannya, akan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai makhluk ciptaanNya. Dengan dzikir juga manusia akan senantiasa diingat oleh Allah, hatinya akan diliputi perasaan tenang, dan akan tergolong hambanya yang beruntung. Bahkan dalam sebuah riwayat bahwa sebuah pohon menangis karena mendengar orang berdzikir.
Dari segi bahasa, kata Dzikir digunakan dalam beberapa makna atau maksud di dalam al-ur’an maupun Hadits, Di antara:
1 Al-Qur’an
Antara lain ayat-ayat berikut (al-Hijr: 9, al-Anbiya: 50, al-Fushilat: 41, Ali Imran: 58, Thahaa: 99):
إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنزلْنَاهُ أَفَأَنْتُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
ذَلِكَ نَتْلُوهُ عَليْكَ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ
كَذَلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا
2 Shalat.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِم
إنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Pada ayat yang pertama(Thahaa: 14) yang dimaksud dengan dzikir adalah kegiatan shalat. Adapun pada ayat yang kedua(Ali Imran: 191), menunjukan bahwa shalat adalah termasuk dzikir.
3 Peringatan.
إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.(Yasiin: 11)
4 Berfikir.
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ
Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?
Maka yang dimaksud dengan kata dzikir dalam surat Fathiir ayat 37 ini adalah ber”FIKIR”, sebagaimana yang terdapat dalam al-ur’an terjemahan kemenag.
5 Pelajaran.
وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (al-Haqqah: 48)
6 Khutbah.
Salah satu contoh Hadits dari Abu Hurairah;
فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ طَوَوْا صُحُفَهُمْ وَيَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Dan apabila Imam sudah keluar (untuk memberi khutbah), maka para Malaikat menutup buku catatan mereka kemudian mendengarkan (khutbah)." (H.R. Bukhari)
Dengan demikian dalam perspektif etimologis sebagaimana dipaparkan di atas, maka aktifitas dzikir sesungguhnya meliputi banyak aspek dalam kehidupan Manusia. Membaca al-ur’an , shalat, memberi peringatan, berfikir dan berkhotbah juga merupakan kegiatan dzikir, karena pada semuanya terdapat unsure penting, yaitu mengingat dan kembali kepada Allah, sebagaimana arti dasarnya bahwa “dzikir” ialah “mengingat.” Bahkan menurut Syekh Siti Jenar; dzikir adalah seluruh tingkah laku manusia yang berhubungan dengan Allah. Para filsof Muslim mengatakan, bahwa Alam ini juga berdzikir. Ibnu Kasir berkata, semua makhluk yang ada di langit dan di bumi menyucikan Allah, mengagungkan, memuliakan, dan membesarkan-Nya, firmanNya:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. (al-Israa: 44)
Menurut Syeikh Siti Jenar, dzikirnya alam raya adalah yang paling baik walau manusia tidak bisa memahaminya, karena dzikirnya alam raya adalah yang paling ikhlas terbebas dari segala maksud dan keinginan terselubung di dalamnya.
Sementara itu, terkait waktu dan jumlahnya, dzikir harusnya dilaksanakan oleh siapa aja, kapan saja, dimana saja dan dilakukan sebanyak-banyak. firmanNya;
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar beruntung. (al-Anfal: 45)
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah. (Al-Ahzab: 35)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring. (Ali Imran: 191)
Sedangkan terkait dengan tata cara bedzikir tergantung situasi-kondisi, kemantapan hati serta akan dampak terdalam bagi terciptanya kekhusyu’an yang merupakan esensi dari aktifitas dzikir itu sendiri. Dzikir boleh saja dilakukan dengan suara keras, pelan dan di antara keduanya.
Pada dasarnya dzikir dianjurkan dilakukan dengan suara pelan dan samar-samar, karena hakikat dzikir adalah kegiatan ibadah kepada Allah SWT. sementara Allah sendiri adalah maha mendengar, Allah tidak tuli, Allah lebih mengetahui apa-apa yang manusia sembunyikan (sirri) dan mengetahui pula apa-apa yang ada didalam hati bahkan yang belum terfikirkan sekalipun (akhfaa). Hal ini tergambar dalam firmanNya;
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (al-A’raf: 205)
Rasulullah juga pernah menegur salah seorang sahabat: dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a. berkata Ketika Nabi saw. menuju perang Khaibar bersama sahabatnya dan orang-orang sedang mendaki di atas lembah tiba-tiba mereka menjerit dengan suara takbir: Allahu akbar, Allahu akbar La ilaha ilallah, maka Nabi saw. bersabda:
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ
Tahanlah dirimu (emosimu), kalian tidak berseru kepada orang yang peka atau jauh, kalian hanya berseru pada Tuhan yang maha mendengar lagi sangat dekat, bahkan selalu bersamamu. (H.R Bukhari-Muslim)
Namun begitu, terkait hadis ini tidak berarti teguran Nabi tersebut secara otomatis melarang berdzikir dengan suara keras. Perlu dipahami dalam konteks hadis ini, bahwa para sahabat “menjeritkan” takbir pada situasi dan kondisi yang kurang tepat, sehingga Nabi menegurnya. Padahal kita tahu, data sejarah menunjukkan dalam banyak peperangan para sahabat selalu menggemakan takbir dengan suara keras, sampai-sampai sekarang juga terkadang diadopsi oleh para demonstran, oleh ormas Islam yang saling bertikai dan sebagainya.
Fakta sosial-kondisional dalam masyarakat kita juga sering terjadi ucapan-ucapan dzikir dengan suara keras, baik disadari atau tidak. Ketika ada orang yang sedang emosi tiba-tiba mengucapkan “Ya Allah,” “Astaghfirullah” dll. Ketika tiba-tiba ada orang yang dikagetkan atau terkagum-kagum akan sesuatu kemudian mengucapkan “Subhanallah.” Atau ketika ada yang mendapati tetangga sekitar meninggal dunia, lalu mengucapkan “Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un” dan sebagainya. Dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa dizaman Nabi telah terjadi pembacaan dzikir dengan suara keras (jahr):
أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ لِلذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ وَأَسْمَعُهُ
Dari Ma'bad, bekas budak Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas memberitahukan kepadanya, bahwasanya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai shalat fardhu telah dilakukan semenjak masa Rasulullah SAW, Ibnu Abbas berkata, "Aku mengetahuinya ketika mereka selesai melakukan itu (shalat), dan aku mendengarnya. " (Muttafaq Alaih)
Dalam surat al-Anfal ayat 9, Allah berfirman tentang istighatsah yang pasti akan dikabulkanNya (إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ). Hal yang dapat didiskusikan disini adalah konsep istighatsah tersebut, di mana mayoritas ahli terutama di Indonesia mendifinisikannya dengan perbuatan doa atau dzikir yang dilakukan bersama-sama dengan suara keras.
Kasus situasional terkait hal ini, juga pernah terjadi pada sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, di mana Abu Bakar merendahkan bacaannya karena alasan munajat sementara Umar bin Khattab mengeraskan bacaannya karena ingin mengusir setan dan melenyapkan rasa kantuk:
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ia pernah men¬dengar berita bahwa sahabat Abu Bakar apabila salat merendahkan ba¬caan Al-Qur'annya, sedangkan sahabat Umar mengeraskan bacaan Al-Qur'annya. Maka dikatakan kepada Abu Bakar, "Mengapa engkau laku¬kan hal itu?" Abu Bakar menjawab, "Saya sedang bermunajat kepada Tuhanku, dan Dia mengetahui keperluanku." Lalu dikatakan kepadanya, "Engkau baik." Dan dikatakan kepada Umar, "Mengapa engkau lakukan hal itu?" Umar menjawab, "Saya sedang mengusir setan dan melenyap¬kan rasa kantuk." Maka dikatakan kepadanya, "Engkau baik." Dan ketika firman Allah Swt. diturunkan, yaitu: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu, dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) maka dikatakan kepada Abu Bakar, "Angkatlah sedikit suara bacaanmu." Dan dikatakan kepada Umar, "Rendahkanlah sedikit suara bacaanmu."
Selanjutnya, berdzikir juga boleh dilakukan diantara kedua hal yang disebut di atas, yakni tidak merendahkan tapi juga tidak mengeraskannya, mungkin kalau dalam bahasa Imam Syafi’I “Membaca kira-kira bisa didengar oleh telinga sendiri.” Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salam salatmu, dan janganlah pula merendah¬kannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (al-Isra: 110)
Asy'as ibnu Siwar telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan berdoa.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Sauri dan Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan doa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Iyad, Makhul, dan Urwah ibnuz Zubair.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Ayyasy Al-Amiri, dari Abdul¬lah ibnu Syaddad yang menceritakan bahwa pernah ada seorang Badui dari kalangan Bani Tamim apabila mengucapkan salam kepada Nabi Saw. lalu ia mengiringinya dengan doa, "Ya Allah, berilah saya rezeki berupa ternak unta dan anak." Maka turunlah ayat ini: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110)
Pendapat lain. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abus Sa-ib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan bacaan tasyahhud, yaitu firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110)
Pendapat lain. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Maksudnya, janganlah kamu salat karena ingin dilihat oleh orang-orang, janganlah pula kamu meninggalkannya karena takut terhadap orang-orang kafir.
Meski terjadi perbedaan pendapat terkait ayat ini, namun yang pasti antara doa, dzikir, tasyahhud dan ikhlas, kesemuanya selalu diidentikkan sama dalam penetapan dalil-dalilnya satu sama lain dalam al-ur’an. Artinya, doa dan tasyahhud merupakan bagian dari dzikir, sedangkan ikhlas adalah unsure penting dalam melakukan aktifitas dzikir. Hanya saja, lakukan doa, dzikir dan tasyahhud tersebut dengan suara antara rendah atau keras (Jahr).
Rasulullah bersabda: Abu Musa Al-Asy'ari r.a. berkata: Ketika Nabi saw. menuju perang Khaibar bersama sahabatnya dan orang-orang sedang mendaki di atas lembah tiba-tiba mereka menjerit dengan suara takbir: Allahu akbar, Allahu akbar La ilaha ilallah, maka Nabi saw. bersab¬da: Pertahankan suaramu dan tahanlah dirimu (emosimu), kalian tidak berseru kepada orang yang peka atau jauh, kalian hanya berseru pada Tuhan yang maha mendengar lagi sangat dekat, bahkan selalu bersamamu.
وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ فَقَالَ لِي: يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ: لَبَّيْكَ رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Abu Musa berkata: Dan aku di belakang kendaraan Nabi saw. lalu ia mendengar suaraku membaca: Laa haula wala quwwata lila billah, maka Nabi saw. bersabda kepadaku: Hai Abdullah bin Qays. Jawabku: Labbaika ya Rasulullah, lalu bersabda: Sukakah aku tunjuk¬kan kepadamu satu kalimat dari perbendaharaan sorga? Jawahku: Baiklah ya Rasulullah. Maka sabda Nabi saw.: Laa haula wala quwwa-ta illa billahi (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan perto¬longan bantuan Allah semata). (H.R Bukhan Muslim).
Dari cerita hadis ini, dapat disimpulkan kalau bacaan sahabat “Laa haula wala quwwa-ta illa billahi” itu pasti dibacanya antara rendah dan keras, mengingat sahabat tersebut sebelumnya telah ditegur oleh Nabi saat meneriakkan takbir. Kemudian, juga tidak mungkin dibaca dengan samar atau suara rendah juga, karena ternyata Nabi dapat mendengar bacaan sahabat tersebut.
Kesimpulannya, bahwa dzikir adalah aktiftas ibadah yang meliputi keseluruhan dalam diri kita. Boleh dilakukan di mana saja, oleh siapa saja, kapan saja, dalam bentuk atau dengan cara apa-apa pun, bisa dengan suara keras, rendah dan di antara keduanya. Dzikir juga dapat dimanifestasikan dalam bentuk renungan terdalam (tadabbur atau tafakkur) akan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta dan seisinya, dengan tujuan untuk selalu mengingat-ngingat akan kebesaran dan ridhaNya.
Wallahu a’lam bi al-Shawaab