السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Senin, 21 Juli 2025

SYAFA'AT ITU ISTIMEWA DAN KHUSUS

Syafa’at merupakan bentuk pertolongan Allah SWT. atas hambaNya di hari pembalasan kelak (akhirat). Di dalam Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa tidak ada yang dapat memberikan syafa’at kepada siapapun kecuali Dia, sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah (Ayat al-Qur'an tentang Syafa'at) ayat yang salah satunya berbunyi,

وَأَنذِرْ بِهِ ٱلَّذِينَ يَخَافُونَ أَن يُحْشَرُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّهِمْ ۙ لَيْسَ لَهُم مِّن دُونِهِۦ وَلِىٌّ وَلَا شَفِيعٌ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya: Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa (QS. Al-An’am : 51).

Menurut Fazlur Rahman, paling tidak ada dua sebab Al-Qur’an menentang konsep Syafa’at bagi makhluk bahkan Nabi sekalipun. Pertama, dikarenakan setiap orang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Dan kedua, rahmat Allah melingkupi segala sesuatu. Bagi Rahman, tidak mungkin Allah memberi kemampuan dan kebebasan pada Manusia dapat memberi syafa’at kepada yang lain, sebab tabi’atnya yang berpotensi salah, pelupa, dan cendrung tidak adil. Bahkan manusia berpotensi menyalahgunakannya.

Namun demikian, al-Qur’an tidak menafikan kemungkinan adanya manusia yang bisa saja memberikan syafa’at, dengan catatan hal tersebut atas ijin Allah SWT. sebagaimana penjelasan dalam beberapa ayat al-Qur’an yang diantaranya,

مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ

Artinya: Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah kecuali dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah : 255).

Pengecualian ini yang kemudian memunculkan beberapa tradisi maupun rutinitas ritual pada Masyarakat Indonesia pada khususnya, seperti banyaknya bermunculan orkestrasi sholawat, peringatan dan perayaan maulid Nabi, rutinitas pembacaan dan kepercayaan terhadap redaksi sholawat tertentu, dan lain-lain. Hal ini, lahir dari sebuah pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW. dengan segala keistimewaan yang ada pada dirinya dapat memberikan syafa’at. Setidaknya sebagian percaya bahwa syafa’at tersebut akan diberikan di akhirat kelak dan sebagian lagi meyakini manusia bisa mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW. di Dunia dan di Akhirat sekaligus.

Berkenaan dengan syafa’at Nabi Muhammad SAW. telah disinggung dalam beberapa hadits (Hadits-hadits tentang Syafa'at) diantaranya yang diriwatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ شُفِّعْتُ ، فَقُلْتُ يَا رَبِّ أَدْخِلِ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ خَرْدَلَةٌ . فَيَدْخُلُونَ ، ثُمَّ أَقُولُ أَدْخِلِ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ أَدْنَى شَىْءٍ » . فَقَالَ أَنَسٌ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى أَصَابِعِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –

“Pada hari kiamat, aku diberi syafa’at. Aku berkata, “Wahai Rabbku, masukkanlah dalam surga orang yang masih punya iman sebesar biji sawi.” Mereka memasukinya. Aku pun berkata, “Masukkanlah dalam surga orang yang masih punya iman walau rendah.” Anas berkata, “Seakan-akan aku melihat (isyarat) pada jari-jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Sampai disini, kita sebagai umatnya pasti maklum kalaupun Allah memberikan keistimewaan kepada Nabi Muhammad SAW. dapat memberikan syafa’at terhadap umatnya, mengingat beliau memang Manusia terbaik, Rasul yang amanah, fathanah dan tidak mungkin menyalahgunakannya untuk hal yang menyimpang dari ketentuan Allah SAW.

Jadi intinya, syafa'at merupakan hak prerogatif Allah yang sangat khusus, juga diperuntukkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai keistimewaan dariNya. Sementara manusia selainnya tidak bisa memberikan syafa'at kepada yang lain. Syafa'at menjadi berkah agung bagi umat Islam, sebab ia adalah penolong kelak saat semua amal perbuatan, doa-doa, dan kebaikan sia-sia serta tidak lagi bisa menolong. Maka syafa'atlah satu-satunya harapan Manusia.

Oleh karena itu, umat yang cerdas tentu akan berlomba-lomba untuk mendapatkan syafa’at dari Allah dengan mentaati dan menjalankan apa-apa yang diperintahkanNya, mentadabburi firmanNya, dan meyakini bahwa kuasaNya meliputi segala yang tercipta di Dunia maupun yang ada di Akhirat. Juga berlomba-lomba dalam meraih syaf’at Nabi Muhammad SWA. dengan senantiasa mengerjakan sunah-sunahnya, meneladani akhlaknya, dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa beliau adalah utusanNya.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

Share:

Rabu, 05 Februari 2025

Ketika Efisiensi Anggaran Menjadi Ilusi Kemajuan

Kebijakan efisiensi anggaran yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah termasuk di sektor pariwisata, ada 'oknum' yang sedang mencoba membungkusnya dalam narasi heroik tentang "inovasi dalam keterbatasan". 

Saya ingin menyampaikan pandangan alternatif terhadap narasi tersebut, bahwa romantisasi pemangkasan anggaran hingga hampir ke titik nadir ini justru mengabaikan realitas struktural yang membuat pariwisata Indonesia rentan kolaps tanpa dukungan negara. Alih-alih menjadi momentum kebangkitan, kebijakan ini berpotensi resiko krisis mengubur daya saing sektor pariwisata dalam jangka panjang.  

Pertama, narasi bahwa "kreativitas dan kolaborasi" bisa menggantikan peran anggaran negara adalah simplifikasi berbahaya. Pariwisata bukan hanya tentang ide-ide brilian komunitas lokal atau kemitraan swasta; ia membutuhkan infrastruktur dasar, pemasaran global, dan sistem manajemen krisis yang hanya bisa dibiayai secara memadai oleh negara. 

Contoh konkret: Bali, destinasi unggulan Indonesia, masih bergantung pada anggaran pemerintah untuk pemeliharaan jalan, sanitasi, dan penanganan sampah. Tanpa investasi negara, bagaimana mungkin destinasi seperti Labuan Bajo atau Borobudur bisa bersaing dengan Phuket atau Angkor Wat yang didanai secara masif oleh pemerintahnya?  

Kedua, klaim bahwa "sinergi multistakeholder" akan secara ajaib mengisi kekosongan anggaran mengabaikan asimetri kekuatan dalam ekosistem pariwisata. Industri besar seperti jaringan hotel internasional atau platform wisata digital mungkin mampu beradaptasi, tetapi pelaku usaha kecil—homestay lokal, pemandu wisata mandiri, atau pengrajin—tidak memiliki sumber daya untuk bertahan. Kolaborasi tanpa pendanaan cenderung menjadi eksploitasi terselubung, di mana korporasi menguasai pasar dengan dalih "kemitraan", sementara UMKM tersingkir. Jika Kementerian Pariwisata hanya menjadi "orkestrator" tanpa anggaran, peran mereka akan direduksi menjadi mediator kepentingan kapital, bukan pelindung kepentingan publik.  

Ketiga, narasi ini mengabaikan pelajaran dari sejarah. Krisis pandemi COVID-19 membuktikan bahwa sektor pariwisata sangat bergantung pada intervensi negara untuk bertahan. Ketika usaha pariwisata kolaps, hanya stimulus fiskal—seperti insentif pajak atau bantuan langsung—yang mampu mencegah kebangkrutan massal. Di era sebelumnya , program seperti CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environmental Sustainability) dan Hibah Pariwisata sebagai salah satu bentuk business continuity plan menghadapi resiko krisis, bisa berjalan karena ada anggaran khusus. Tanpa itu, mustahil membangun kembali standar layanan yang kompetitif.  

Keempat, optimisme berlebihan terhadap "daya ungkit swasta" berisiko memprivatisasi pariwisata. Destinasi alam dan budaya, yang seharusnya menjadi milik publik, bisa beralih ke kendali korporasi jika negara absen membiayai pengelolaannya. Apa jadinya jika Raja Ampat hanya bisa diakses melalui resort mewah berbayar tinggi karena tidak ada dana negara untuk mengembangkan fasilitas umum? Efisiensi anggaran dalam konteks ini bukanlah inovasi, melainkan pengabaian tanggung jawab negara terhadap aksesibilitas dan keberlanjutan.  

Terakhir, memuji "keterbatasan sebagai peluang" adalah bentuk gaslighting kebijakan. Di tengah ancaman krisis iklim dan persaingan global, pariwisata Indonesia membutuhkan investasi—bukan hanya ide—untuk bertransformasi. Bagaimana mungkin destinasi wisata bisa mengurangi emisi karbon tanpa dana untuk transportasi ramah lingkungan? Bagaimana mungkin digitalisasi bisa merata tanpa infrastruktur internet di daerah terpencil? Kreativitas tanpa sumber daya hanyalah ilusi.  

Kreativitas, inovasi dan efisiensi sangat penting, namun juga harus diingat bahwa dalam implementasinya kebijakan ini juga memiliki potensi resiko melemahkan fondasi pariwisata Indonesia. 

Alih-alih memotivasi, narasi yg keliru itu justru mengirim pesan bahwa sektor strategis ini tidak diprioritaskan. Jika "kolaborasi" adalah jawaban ajaib, mengapa negara-negara seperti Prancis atau Jepang tetap mengalokasikan miliaran dolar untuk promosi dan infrastruktur pariwisata?  

Kita tidak perlu menjadikan keterbatasan sebagai musuh, tetapi menjadikannya sebagai tameng untuk membenarkan penghematan juga bisa menjadi sebuah kekeliruan.

Saya sepakat inovasi, kreativitas, serta efisiensi tetap diperlukan, baik dalam kondisi sedang berketerbatasan maupun berkelimpahan, dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing pariwisata kita dalam persaingan global

Inovasi sejati dalam pariwisata lahir ketika ada kombinasi antara anggaran yang memadai, regulasi yang jelas, dan partisipasi inklusif. Tanpa itu, kita hanya sedang menulis narasi kegagalan dengan tinta romantisme.


Oleh: Fadjar 'Cak Tom' Hutomo
Ketua Bidang Pariwisata
DKU Rekayasa Sipil & Lingkungan Terbangun
PP Persatuan Insinyur Indonesia
Share:
TERIMA KASIH