السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Selasa, 04 Juli 2017

REALITAS METOS, KENYATAAN YANG SENGAJA DISISIHKAN?

Metos, selalu dikaitkan dengan kehidupan masyarakat tradisional, yang cendrung masih mempercayai dongeng dan cerita-cerita lama yang kadang kita membayangkannya saja tidak habis pikir apalagi menganggapnya pernah nyata. Kepercayaan akannya menunjukkan sistem masyarakat yang masih kolot, irasional dan tidak berkemajuan. Metos menjadi definisi kepercayaan yang terbiasa diterima bahkan dijalankan secara suka-rela bagi masyarakat tradisional, namun sebaliknya bagi masyarakat modern ia malah dianggap momok atau paling tidak ada yang memandangnya sebagai takhayyul yang keberadaannya dibiarkan ada hanya sebagai bahan olok-olokan atau buat ngelucu, dan sudah seharusnya ditinggalkan. Namun dalam konteks masyarakat religius, metos terkadang digunakan sebagai kata lain untuk mengungkapkan “bid’ah,” atau sesuatu yang dibuat-buat sebagaimana kebiasaan masayarakat setempat tanpa ada rujukan real.

Tentu saya tidak sedang dan mempunyai kapasitas menilai mana yang paling atau benar terkait perbedaan perspektif yang terkesan kontradiktif di atas. Namun, saya mencoba mengilustrasikan dan mengajak untuk membayangkan seandainya Thomas alva edision dengan penemuan lampu, Orville Wright dan Wilbur Wright dengan kerangka desain dan perancangan  pesawat terbang efektif pertama, serta membuat penerbangan terkendali pertama menggunakan pesawat terbang bermesin, atau Michael Faraday dengan temuan listrikanya. Bayangkan seandainya mereka mempresentasikan penemuan-penemuan mereka pada zaman Rasulullah di suatu majlis. Padahal saat itu, masyarakat arab mencari air bersih dan melalui gersangnya padang pasir saja dengan alat seadanya dan cendrung susah. Saya kok tidak yakin mereka bakalan percaya, kecuali pasti akan menganggapnya sebagai metos. Kebenaran syari’at Islam yang haq dan disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad saja, masih ada diantara mereka yang menganggap sebagai cerita lama (Metos) yang dibuat-buat Nabi Muhammad.[1]

Bahkan seandainya Nabi Muhammad sendiri yang menjelaskan teori gravitasi, listrik, pesawat terbang dengan mesin, pasti orang-orang kala itu akan menganggap beliau tidak waras dan telah membuat dongeng dan cerita-cerita ngawur bin ngelantur. Sebab, waktu itu, teori-teori demikian belum relevan dan tidak rasional, belum realistis, belum jamannya. Katakanlah contoh pada saat Nabi Nuh berinisiatif membuat kapal dan mengajak kaumnya untuk ikut andil, kebanayakan mereka yang tidak beriaman malah mengolok-ngolok serta mengangggap Nabi Nuh sudah stress.

Atau mari kita bayangkan seandainya saat ini, dizaman yang serba canggih dan serba tekhnologi, kita diceritakan bahwa duhulu pada zaman Rasulullah ada seorang yang hanya dengan satu mangkok susu dapat mencukupi banyak orang dan semua bisa kenyang.[2] Ada orang yang dapat mengeluarkan cahaya dari ketiaknya, membelah lautan, dapat menyembuhkan segala penyakit hanya dengan air putih yang hanya dibacakan basmalah. Saya yakin, pasti kita menganggapnya adalah metos, dongeng semata yang tidak pernah terjadi. Sebab jamannya sekarang harus rasional, serba pragmatis, serba bergantung pada benda-benda empirik dan mesti dibuktikan dengan mata telanjang.

Lalu, apa sebenarnya metos? Tentu tulisan ini, tidak sedang berusaha mencari jawabannya. Saya serahkan kepada pembaca sekalian, silahkan mempertimbangkan, menyimpulkan dan menjawab sendiri. Namun, yang pasti sepanjang sejarahnya yang pernah ada menunjukkan bahwa perbedaan zaman juga mempengaruhi persepsi tentangnya (metos). Jika demikian, seandainya saya memutuskan definisi metos tersebut di sini, saya kawatir saya akan disanggah bahkan diolok-olok oleh generasi zaman saya selanjutnya. Namun, lebih amannya saya menyepakati saja segala difinisi metos yang telah ada, oleh para pakar.


[1] Firman Allah Swt.:

{إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ}

yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami, ia berkata, "Itu adalah dongengan-dongengan orang-orang yang dahulu.” (Al-Muthaffifin: 13)

Yakni apabila dia mendengar Kalamullah dari Rasul Saw., maka dia mendustakannya dan menuduhnya dengan prasangka yang buruk, maka dia meyakininya sebagai buat-buatan yang dihimpun dari kitab-kitab orang-orang yang terdahulu. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firmannya:

وَإِذا قِيلَ لَهُمْ مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قالُوا أَساطِيرُ الْأَوَّلِينَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Apakah yang telah diturunkan Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu.” (An-Nahl: 24)

Dan firman-Nya:

وَقالُوا أَساطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَها فَهِيَ تُمْلى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Dan mereka berkata, "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (Al-Furqan: 5)

Maka disangggah oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam surat ini:

{كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (Al-Muthaffifin:14)

Yakni keadaannya tidaklah seperti apa yang mereka dugakan, dan tidak pula seperti apa yang dikatakan oleh mereka bahwa Al-Qur'an ini adalah dongengan orang-orang dahulu, bahkan Al-Qur'an itu adalah Kalamullah, dan wahyu-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Dan sesungguhnya hati mereka terhalang dari beriman kepada Al-Qur'an, tiada lain karena hati mereka telah dipenuhi dan tertutup oleh noda-noda dosa yang banyak mereka kerjakan. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (Al-Muthaffifin:14) (Tafsir Ibnu Katsir)

[2]  Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu mulai mengisahkan sekelumit dari kisah perjalanan hidupnya bersama Rasulullah n ia bekata, “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia. Saya sering menegakkan rongga perutku ke tanah dan sering mengikatkan batu di perutku kerena lapar.
Pada suatu hari, saya duduk di jalan yang biasa dilewati orang. Kemudian Rasulullah Shollallahu `Alaihi Wasallam lewat dan tersenyum ketika melihat saya dan beliau tahu tentang apa yang sedang menimpa diri saya. Lalu beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Wahai Abu Hirr, mari ikut aku,’ maka saya pun mengikuti beliau. Lalu beliau memasuki rumah dan saya meminta izin masuk, beliaupun mengizinkan saya.
Ketika beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam masuk, ternyata di situ ada semangkok susu. Beliau lantas bertanya kepada istrinya, ‘Dari mana asal susu ini?’ Ia (istrinya) menjawab, ‘Dari si Fulan atau si Fulanah, ia menghadiahkan susu ini untuk mu.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Wahai Abu Hirr,’ saya menjawab, ‘Ada apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam ‘Temuilah para Ahli Suffah dan ajaklah mereka kemari,’
Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu berkata, ‘Ahli suffah adalah tamu-tamu islam yang tidak mempunyai keluarga, harta dan saudara. Apabila beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam mendapat sedekah, maka beliau mengirimkannya untuk mereka dan beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam tidak mengambilnya sedikitpun (karena beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam tidak boleh makan dari sedekah). Adapun apabila beliau mendapatkan hadiah, maka beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam mengirimkannya untuk mereka dan beliau ikut makan bersama mereka (karena Rasulullah Shollallahu `Alaihi Wasallam diperbolehkan makan dari hadiah).
(Ketika Rasulullah n menyuruhku untuk memanggil Ahli Suffah) Hal itu menyebabkan saya tidak enak hati. Saya berkata dalam hati, ‘Mengapa susu itu diberikan kepada Ahli Suffah? Padahal saya lebih pantas untuk minum dari susu itu agar kekuatanku pulih kembali. Apabila mereka datang, beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam pasti menyuruh saya untuk memberikan susu tersebut kepada mereka dan kemungkinan besar saya tidak akan mendapatkan bagian dari susu tersebut. Namun taat kepada Allah l dan Rasul-Nya wajib didahulukan.’
Maka kemudian saya mendatangi mereka dan mengajak mereka. Kemudian mereka pun datang dan meminta izin kepada Nabi Shollallahu `Alaihi Wasallam dan beliau pun mengizinkan mereka masuk lalu mereka duduk. Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam memanggil, ‘Wahai Abu Hirr.’ Saya menyahut, ‘Ya, Wahai Rasulullah.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Ambilah mangkok susu itu dan berikan kepada mereka.’ Maka saya mengambil mangkok tersebut dan memberikannya kepada orang pertama, maka ia minum sampai lega. Lalu mangkok tersebut diberikan kepada saya lagi dan saya berikan kepada orang selanjutnya, maka ia pun meminumnya sampai terasa lega. Lalu mangkok tersebut diberikan kepada saya lagi dan saya berikan kepada orang selanjutnya, maka ia pun meminumnya sampai terasa lega, sehingga sampai pada giliran Nabi Shollallahu `Alaihi Wasallam. Anehnya, mereka (Ahli Suffah) sudah minum semua akan tetapi susu tersebut belum habis.
Kemudian beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam mengambil mangkok itu dan memandangi saya sambil tersenyum, lalu bersabda, ‘Wahai Abu Hirr.’ Saya menjawab.’ Ya, wahai Rasulullah.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Tinggal aku dan kamu yang belum (minum).’ Saya menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Duduklah dan minumlah.’ Maka saya duduk dan minum. Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda lagi. ‘Minum lagi.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam mengulanginya sampai saya berkata, ‘Demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, perut saya sudah penuh.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Berilah mangkok itu kepadaku.’ Maka saya memberikan mangkok tersebut kepada beliau, kemudian beliau memuji Allah Subhanahu Wata`ala dan membaca basmallah lalu meminum sisanya.” (HR. Al- Bukhari)
Share:

0 comments:

Posting Komentar

TERIMA KASIH