Metos, selalu dikaitkan dengan kehidupan masyarakat tradisional,
yang cendrung masih mempercayai dongeng dan cerita-cerita lama yang kadang kita
membayangkannya saja tidak habis pikir apalagi menganggapnya pernah nyata.
Kepercayaan akannya menunjukkan sistem masyarakat yang masih kolot, irasional
dan tidak berkemajuan. Metos menjadi definisi kepercayaan yang terbiasa
diterima bahkan dijalankan secara suka-rela bagi masyarakat tradisional, namun
sebaliknya bagi masyarakat modern ia malah dianggap momok atau paling tidak ada
yang memandangnya sebagai takhayyul yang keberadaannya dibiarkan ada hanya
sebagai bahan olok-olokan atau buat ngelucu, dan sudah seharusnya ditinggalkan.
Namun dalam konteks masyarakat religius, metos terkadang digunakan sebagai kata
lain untuk mengungkapkan “bid’ah,” atau sesuatu yang dibuat-buat
sebagaimana kebiasaan masayarakat setempat tanpa ada rujukan real.
Tentu saya tidak sedang dan mempunyai kapasitas menilai mana yang paling atau
benar terkait perbedaan perspektif yang terkesan kontradiktif di atas. Namun,
saya mencoba mengilustrasikan dan mengajak untuk membayangkan seandainya Thomas
alva edision dengan penemuan lampu, Orville Wright dan Wilbur Wright dengan
kerangka desain dan perancangan pesawat
terbang efektif pertama, serta membuat penerbangan terkendali pertama
menggunakan pesawat terbang bermesin, atau Michael Faraday dengan temuan
listrikanya. Bayangkan seandainya mereka mempresentasikan penemuan-penemuan mereka
pada zaman Rasulullah di suatu majlis. Padahal saat itu, masyarakat arab
mencari air bersih dan melalui gersangnya padang pasir saja dengan alat
seadanya dan cendrung susah. Saya kok tidak yakin mereka bakalan percaya,
kecuali pasti akan menganggapnya sebagai metos. Kebenaran syari’at Islam yang
haq dan disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad saja, masih ada diantara mereka
yang menganggap sebagai cerita lama (Metos) yang dibuat-buat Nabi Muhammad.[1]
Bahkan seandainya Nabi Muhammad sendiri yang menjelaskan teori
gravitasi, listrik, pesawat terbang dengan mesin, pasti orang-orang kala itu akan
menganggap beliau tidak waras dan telah membuat dongeng dan cerita-cerita
ngawur bin ngelantur. Sebab, waktu itu, teori-teori demikian belum relevan dan
tidak rasional, belum realistis, belum jamannya. Katakanlah contoh pada saat
Nabi Nuh berinisiatif membuat kapal dan mengajak kaumnya untuk ikut andil,
kebanayakan mereka yang tidak beriaman malah mengolok-ngolok serta mengangggap
Nabi Nuh sudah stress.
Atau mari kita bayangkan seandainya saat ini, dizaman yang serba
canggih dan serba tekhnologi, kita diceritakan bahwa duhulu pada zaman
Rasulullah ada seorang yang hanya dengan satu mangkok susu dapat mencukupi
banyak orang dan semua bisa kenyang.[2]
Ada orang yang dapat mengeluarkan cahaya dari ketiaknya, membelah lautan, dapat
menyembuhkan segala penyakit hanya dengan air putih yang hanya dibacakan
basmalah. Saya yakin, pasti kita menganggapnya adalah metos, dongeng semata
yang tidak pernah terjadi. Sebab jamannya sekarang harus rasional,
serba pragmatis, serba bergantung pada benda-benda empirik dan mesti dibuktikan
dengan mata telanjang.
Lalu, apa sebenarnya metos? Tentu tulisan ini, tidak sedang
berusaha mencari jawabannya. Saya serahkan kepada pembaca sekalian, silahkan
mempertimbangkan, menyimpulkan dan menjawab sendiri. Namun, yang pasti
sepanjang sejarahnya yang pernah ada menunjukkan bahwa perbedaan zaman juga
mempengaruhi persepsi tentangnya (metos). Jika demikian, seandainya saya
memutuskan definisi metos tersebut di sini, saya kawatir saya akan disanggah
bahkan diolok-olok oleh generasi zaman saya selanjutnya. Namun, lebih amannya
saya menyepakati saja segala difinisi metos yang telah ada, oleh para pakar.
[1] Firman
Allah Swt.:
{إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ
أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ}
yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami, ia berkata,
"Itu adalah dongengan-dongengan orang-orang yang dahulu.” (Al-Muthaffifin:
13)
Yakni apabila dia mendengar Kalamullah dari Rasul Saw., maka dia
mendustakannya dan menuduhnya dengan prasangka yang buruk, maka dia meyakininya
sebagai buat-buatan yang dihimpun dari kitab-kitab orang-orang yang terdahulu.
Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firmannya:
وَإِذا قِيلَ
لَهُمْ مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قالُوا أَساطِيرُ الْأَوَّلِينَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Apakah yang telah
diturunkan Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Dongengan-dongengan
orang-orang dahulu.” (An-Nahl: 24)
Dan firman-Nya:
وَقالُوا
أَساطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَها فَهِيَ تُمْلى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Dan mereka berkata, "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (Al-Furqan: 5)
Maka disangggah oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam surat ini:
{كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ}
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka. (Al-Muthaffifin:14)
Yakni keadaannya tidaklah seperti apa yang mereka dugakan, dan
tidak pula seperti apa yang dikatakan oleh mereka bahwa Al-Qur'an ini adalah
dongengan orang-orang dahulu, bahkan Al-Qur'an itu adalah Kalamullah, dan
wahyu-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Dan sesungguhnya hati mereka
terhalang dari beriman kepada Al-Qur'an, tiada lain karena hati mereka telah
dipenuhi dan tertutup oleh noda-noda dosa yang banyak mereka kerjakan. Karena
itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
(Al-Muthaffifin:14) (Tafsir Ibnu Katsir)
[2] Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu mulai
mengisahkan sekelumit dari kisah perjalanan hidupnya bersama Rasulullah n ia
bekata, “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia. Saya
sering menegakkan rongga perutku ke tanah dan sering mengikatkan batu di
perutku kerena lapar.
Pada suatu hari, saya duduk di jalan yang biasa dilewati orang.
Kemudian Rasulullah Shollallahu `Alaihi Wasallam lewat dan tersenyum ketika
melihat saya dan beliau tahu tentang apa yang sedang menimpa diri saya. Lalu
beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Wahai Abu Hirr, mari ikut aku,’
maka saya pun mengikuti beliau. Lalu beliau memasuki rumah dan saya meminta
izin masuk, beliaupun mengizinkan saya.
Ketika beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam masuk, ternyata di situ
ada semangkok susu. Beliau lantas bertanya kepada istrinya, ‘Dari mana asal
susu ini?’ Ia (istrinya) menjawab, ‘Dari si Fulan atau si Fulanah, ia
menghadiahkan susu ini untuk mu.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda,
‘Wahai Abu Hirr,’ saya menjawab, ‘Ada apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shollallahu
`Alaihi Wasallam ‘Temuilah para Ahli Suffah dan ajaklah mereka kemari,’
Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu berkata, ‘Ahli suffah adalah
tamu-tamu islam yang tidak mempunyai keluarga, harta dan saudara. Apabila
beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam mendapat sedekah, maka beliau
mengirimkannya untuk mereka dan beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam tidak
mengambilnya sedikitpun (karena beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam tidak boleh
makan dari sedekah). Adapun apabila beliau mendapatkan hadiah, maka beliau
Shollallahu `Alaihi Wasallam mengirimkannya untuk mereka dan beliau ikut makan
bersama mereka (karena Rasulullah Shollallahu `Alaihi Wasallam diperbolehkan
makan dari hadiah).
(Ketika Rasulullah n menyuruhku untuk memanggil Ahli Suffah) Hal
itu menyebabkan saya tidak enak hati. Saya berkata dalam hati, ‘Mengapa susu
itu diberikan kepada Ahli Suffah? Padahal saya lebih pantas untuk minum dari
susu itu agar kekuatanku pulih kembali. Apabila mereka datang, beliau
Shollallahu `Alaihi Wasallam pasti menyuruh saya untuk memberikan susu tersebut
kepada mereka dan kemungkinan besar saya tidak akan mendapatkan bagian dari
susu tersebut. Namun taat kepada Allah l dan Rasul-Nya wajib didahulukan.’
Maka kemudian saya mendatangi mereka dan mengajak mereka. Kemudian
mereka pun datang dan meminta izin kepada Nabi Shollallahu `Alaihi Wasallam dan
beliau pun mengizinkan mereka masuk lalu mereka duduk. Beliau Shollallahu
`Alaihi Wasallam memanggil, ‘Wahai Abu Hirr.’ Saya menyahut, ‘Ya, Wahai
Rasulullah.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda, ‘Ambilah mangkok
susu itu dan berikan kepada mereka.’ Maka saya mengambil mangkok tersebut dan
memberikannya kepada orang pertama, maka ia minum sampai lega. Lalu mangkok
tersebut diberikan kepada saya lagi dan saya berikan kepada orang selanjutnya,
maka ia pun meminumnya sampai terasa lega. Lalu mangkok tersebut diberikan
kepada saya lagi dan saya berikan kepada orang selanjutnya, maka ia pun
meminumnya sampai terasa lega, sehingga sampai pada giliran Nabi Shollallahu
`Alaihi Wasallam. Anehnya, mereka (Ahli Suffah) sudah minum semua akan tetapi
susu tersebut belum habis.
Kemudian beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam mengambil mangkok itu
dan memandangi saya sambil tersenyum, lalu bersabda, ‘Wahai Abu Hirr.’ Saya
menjawab.’ Ya, wahai Rasulullah.’ Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda,
‘Tinggal aku dan kamu yang belum (minum).’ Saya menjawab, ‘Benar wahai
Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Duduklah dan minumlah.’ Maka saya duduk dan
minum. Beliau Shollallahu `Alaihi Wasallam bersabda lagi. ‘Minum lagi.’ Beliau
Shollallahu `Alaihi Wasallam mengulanginya sampai saya berkata, ‘Demi Dzat yang
mengutus engkau dengan kebenaran, perut saya sudah penuh.’ Beliau Shollallahu
`Alaihi Wasallam bersabda, ‘Berilah mangkok itu kepadaku.’ Maka saya memberikan
mangkok tersebut kepada beliau, kemudian beliau memuji Allah Subhanahu Wata`ala
dan membaca basmallah lalu meminum sisanya.” (HR. Al- Bukhari)
0 comments:
Posting Komentar