bahaya
memanggil dengan kafir atau fasiq
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا
كَفَرَ وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ
اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Dari Abu
Dzar, dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak
ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya
padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur.
Barangsiapa yang mengaku sesuatu yang bukan haknya, berarti dia tidak termasuk
golongan kami dan hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. Dan
barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh
Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh. (HR.
Imam Bukhari no. 3317, Imam Muslim no. 214)
Sabda
Rasulullah yang artinya: Tidak ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada
orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu, kecuali dia telah kafir
.
Mengakui
orang lain sebagai orang tua kandung, padahal bukan orang tuanya termasuk dosa
besar. Kebiasaan seperti banyak dilakukan oleh orang kafir Quraisy pada zaman
dulu untuk mencari popularitas. Kemudian kebiasaan ini dilarang oleh agama
Islam. Bahkan dalam hadits di atas, perbuatan seperti ini dianggap sebuah
kekufuran. Kata kufur disini mengandung dua makna. Pertama, kafir yang
sebenarnya jika perbuatan ini dianggap halal. Dan makna kedua, yaitu kufur
(tidak bersyukur) terhadap nikmat, kebaikan, hak Allah dan hak orang tua.
Kekufuran
yang disebutkan dalam hadits ini bukanlah kekufuran yang mengakibatkan
seseorang murtad dari agama ini. Kata kufur disini, bermakna sama dengan kata
kufur yang terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أُرِيتُ
النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ
بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ
إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ
مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Aku
diperlihatkan neraka, tiba-tiba (aku lihat) kebanyakan penghuninya adalah
perempuan yang kufur. Beliau ditanya,”Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau
menjawab,”Mereka kufur kepada suami dan kebaikannya. Jika engkau berbuat baik
kepada salah seorang diantara mereka selama setahun, kemudian melihat sesuat
yang mengecewakan, dia akan berkata,’Saya tidak pernah melihat kebaikanmu
sedikitpun’. [HR Bukhari].
Rasulullah
menjelaskan kata kufur disini dengan kufur kepada suami dan kebaikan.[1]
Jadi orang
yang mengakui orang lain sebagai bapaknya, padahal dia tahu itu bukan bapaknya,
maka dia telah kufur terhadap orang tuanya. Padahal orang tuanya merupakan
orang yang paling berhak padanya. Orang tuanya telah melahirkan, mendidik dan
memeliharanya. Karenanya Allah meletakkan kewajiban bersyukur kepada kedua
orang tua setelah kewajiban bersyukur kepada Allah. Sebagaimana firmanNya,
أَنِ
اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Hendaklah
kamu bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. [Luqman :14 ]
Sabda
Rasulullah SAW yang artinya : Barangsiapa yang mengakui yang bukan haknya,
berarti dia tidak termasuk golongan kami dan hendaklah ia menjadikan tempat
duduknya dari api neraka.
Kata da’wa (
الدعوى ) , maksudnya seseorang
mengakui sesuatu sebagai miliknya, haknya atau yang sejenisnya.
Sedangkan
menurut syar’i, da’wa adalah mengaku berhak atas sesuatu yang sedang berada
dalam tanggungan seseorang, atau berada di tangan orang lain atau yang sejenis
nya.
Dalam
masalah pengakuan ini, terdapat juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim,
لَوْ
أُعْطِيَ النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ
وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعَى
Kalau
seandainya orang-orang itu diberi sesuai dengan pengakuan mereka, tentu mereka
akan mengaku berhak atas darah atau nyawa orang dan harta orang, akan tetapi
wajib atas orang yang mengaku mendatangkan bukti.
Dalam hadits
yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّنَةُ
عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Penuduh
wajib mendatangkan bukti dan orang yang tertuduh wajib bersumpah. [HR
Tirmidzi].
Mengenai
sabda Beliau, hendaklah dia menempati rumahnya dari api neraka, para ulama
berpendapat, bahwa ungkapan itu berkisar antara do’a Beliau atau pemberitahuan.
Tetapi dengan lafadz perintah. Imam Nawawi mengokohkan pendapat yang kedua,
Beliau berkata, ”Itu pendapat yang paling jelas diantara dua pendapat.”
Sabda
Rasulullah yang artinya: Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan
panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu
akan kembali kepada penuduh.
Dalam hadits
yang lain Rasulullah bersabda,
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا
يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ
كَذَلِكَ
Dari Abu
Dzar Radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,”Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan
menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si
penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan. [HR Bukhari]
Dua hadits
di atas menjelaskan kepada kita bahaya ucapan kafir. Tuduhan kafir yang
ditujukan kepada seorang muslim, pasti akan tertuju kepada salah satunya,
penuduh atau yang dituduh.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا
كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Apabila ada
seseorang yang mengkafirkan saudaranya (seiman-red) maka salah satu dari
keduanya akan tertimpa kekufuran. [HR Muslim].
أَيُّمَا
امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa
yang berkata kepada saudaranya, “hai orang kafir,” maka kata itu akan menimpa
salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan (berarti orang yang dituduh
menjadi kafir); jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.
[HR Muslim].
Jika
panggilan itu keliru, artinya orang yang dipanggil kafir tidak benar kafir,
maka kata kafir akan kembali kepada orang yang memanggil. Wal iyadzu billah.
Jika benar, maka dia selamat dari resiko kekafiran atau kefasikaan, namun bukan
berarti ia selamat dari dosa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.[2]
Apakah menjadi
kafir penuduh kafir ataukah tidak? Para ulama berbeda pendapat.
Pertama, Dia
menjadi kafir jika diikuti dengan keyakinan halalnya mengkafirkan orang muslim.
Kedua, yang
kembali ke penuduh ialah dosa mencela dan mengkafirkan saudaranya.
Ketiga, hal ini
(dikafirkan) ialah haknya orang-orang Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin
(karena melakukan dosa besar, pent). Pendapat ini dinukil oleh Qhadhi Iyadh
dari Imam Malik bin Anas. Namun pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi,
karena menurut pendapat yang shahih sebagaimana ucapan banyak ulama dan para
pen-tahqiq, bahwa orang Khawarij tidak boleh dikafirkan, seperti juga semua
ahlul bid’ah tidak boleh dikafirkan.
Keempat, bahwa
perbuatan mengkafirkan itu akan menyeret kepada ke-kufuran. Maksudnya, perbuatan
ini (merusak kehormatan kaum muslimin dan mengkafirkan tanpa alasan yang
benar), dapat menyeret pelakunya kepada kekufuran. Pendapat ini didukung oleh
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Awanah.
وَإِنْ
كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ فَقَدْ بَاءَ بِالْكُفْرِ
Jika
kenyaataannya sebagaimana ucapannya (maka dituduh kafir) dan jika tidak benar,
maka dia kembali dengan membawa kekufuran.
Kelima, bahwa yang kembali kepada penuduh ialah dosa mengkafirkan. Bukan kekufuran yang
hakiki, tapi hanya dosa mengkafirkan, karena mengkafirkan saudaranya. Maka
seakan-akan mengkafirkan dirinya sendiri atau mengkafirkan orang yang sama
dengannya.[3]
Singkat
kata, perkataan seperti ini sangat berbahaya untuk diucapkan. Sudah sewajarnya
(seharusnya) kita berhati-hati menggunakan kalimat tersebut. Janganlah
terburu-buru menggunakan kata kafir, fasiq atau yang sejenisnya. Karena
kekufuran merupakan hukum syar’i yang berdasarkan nash-nash Al Qur’an dan As
Sunnah. Janganlah mengkafirkan seseorang, kecuali yang telah dikafirkan oleh
Allah dan RasulNya. Mengkafirkan seseorang karena perbedaan pendapat atau
karena emosi merupakan dosa besar.
Waallhu a'lam
Wewwww
BalasHapus