Setidaknya ada beberapa lafadz dalam
bahasa al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan ketidak-bolehan atau sesuatu yang
mesti dijauhi. Antara lain adalah larangan; bisa berupa lafadznya
sendiri, seperti نهى yang
berarti larangan, bisa juga dengan لاناهى
atauنافى لا, dan atau bisa
kereana adanya sebab sehingga hal itu dilarang, seperti najis (نجس/ ركس), لعن
(laknat), هلك (merusak) dan
semacamnya. Kemudian, haram; yang artinya ketidak-bolehannya adalah
mutlak dan sesungguhnya yang paling berhak menentukan hal ini adalah Allah semata dengan firman-firmannya yang qhat'i.
Namun lebih khusus tulisan ini akan
membahas permasalahan yang pertama, yaitu tentang larangan. Bahwa sejarah
menunjukkan realitas larangan dalam islam sangat terkait dengan ada atau tidak
adanya illat (alasan) dibalik tidak dibolehkannya sesusutu itu (يدور مع العلة
وجودا وعدما) dan akan adanya
kemungkinan para ahli untuk berbeda paham tentangnya.
Abu
sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :
لاتكتب عنى و من كتب عنى
غير القرأن فليمحه
artinya
: “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat
dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya” (H.R Muslim)
Hadis di atas berisi tentang larangan
(menggunakan huruf لاناهى
= لاتكتب) menulis
hadis dari rasulullah, bahkan dalam beberapa riwayat Sa’id al-Khudry mengatakan
jika beliau telah beberapa kali meminta izin kepada Nabi agar diperbolehkan
menulis hadis, namun Nabi tetap tidak memperbolehkannya. Hanya saja di lain hal
dan kesempatan rasulullah pernah memerintakan Abdullah bin Amr bin ‘Ash menulis
hadis, beliau bersabda:
أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق
Dari Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash
mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw
untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau
menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah
manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya.
Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk
mulut beliau seraya bersabda : artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai
jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar.
Terkait contoh kasus hadis diatas, menurut para ulama adanya larangan tersebut mengandung alasan bahwa
dikawatirkan hadis yang ditulis akan tercampur dengan al-Qur’an. Jika tidak? Maka,
ketika ada sebuah olok-olok oleh kaum Quraisy akan entitas hadits, maka Nabi
memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk menulis, sekaligus menyatakan bahwa apa-apa
yang datang dari beliau adalah haq.
Contoh
lain adalah larangan minum berdiri (baca artikelnya disini), buang air kecil berdiri (baca artikel selengkapnya di sini), ziarah kubur,
wanita keluar tanpa didampingi oleh muhrimnya dan sebagainya. Yang kesemuanya, awalnya
dilarang karena faktor alasan tertentu dan ternyata juga Nabi pernah melaksanakannya, hingga akhirnya sekarang menjadi mafhum.
Selanjutnya,
bahwa dalam konteksitas larangan akan sangat mungkin menimbulkan perbedaan
paham atau pendapat bagi para ahli. Abdullah bin Muhammad bin Asma' telah
menceritakan kepada kami Juwairiyah bin Asma' dari Nafi' dari Ibnu 'Umar ra, ia
berkata; Nabi saw bersabda ketika perang al-Ahzab:
لَا
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ
الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا
وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا
مِنْهُمْ
"Janganlah seseorang melaksanakan
shalat 'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah." Setelah berangkat,
sebagian dari pasukan melaksanakan shalat 'Ashar di perjalanan sementara sebagian
yang lain berkata; "Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di
perkampungan itu." Sebagian yang lain beralasan; "Justru kita harus
shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu." Setelah kejadian ini
diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak
menyalahkan satu pihakpun." (HR. Bukhari)
Hadits
ini, menunjukkan larangan (menggunakan huruf نافى
لا = لَا يُصَلِّيَنَّ) Nabi SAW agar
menunaikan shalat ashar tidak diselaian ditempat bani Quraidlah. Bahkan
menariknya, redaksi hadits ini memakai nun taukid tsakilah, yang artinya adanya
larangan tersebut benar-benar tidak boleh dilanggar. Namun, kenyataan para
sahabat berbeda pendapat, yakni di antaranya sami’na wa ‘ata’na terhadap
perintah Nabi, dan di antaranya yang lain tidak patuh pada perintah Nabi dengan
melaksanakan shalat ashar dalam perjalanan, karena pertimbangan waktu. Dan
ternyata setelah persoalan ini disampaikan kepada Nabi, beliau tidak
menyalahkan salah satu pihak. Imam Thabary mengatakan, malah Nabi tersenyum
dengan kasus tersebut.
Kemudian,
terkait larangan dilihat dari segi sebab hal itu dilaranga. Seperti
contoh hal-ihwal faham term "najis", "merusak," "bahaya" dan lain-lain dalam
islam, maka para ulama pasti akan terjadi perbedaan pendapat tentangnya.
Semisal,
najisnya anjing, Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat Imam
Ahmad mengatakan, bahwa seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya).
Imam Malik mengatakan, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Sedangkan pendapat Imam
Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad berkata, air liurnya itu najis
dan bulunya itu suci. Selain itu, juga terkait perbedaan pendapat najisnya
kotoran hewan yang halal atau haram dimakan (baca selengkapnya di sini) dan
banyak lagi contoh yang lain.
Terkait
alasan "bahaya" atau "merusak" kemudian hal itu dilarang bahkan ada
yang mengharamkan. Ambil contoh, salah satunya adalah konsepsi haramnya rokok (dimana alasan keharamannya, karena dianggap dapat berbahaya bagi kesehatan dan merusak tubuh). Akan tetapi, karena
yang menjadi rujukan nash-nya adalah bersifat larangan, maka keharaman rokok
menununjukan pro-kontra.
Masih
banyak lagi hal-hal yang karena sebab-sebab tertentu kemudian hal tersebut
di”larang' bahkan diharamkan. Selain term "najis," "merusak" dan "berhabaya" seperti yang disebutkan di
atas, silahkan dicari dan dicermati sendiri. Kesimpulannya, konsepsi Larangan dalam
termenologi islam sangat bersifat temporal-kondisional. Ia tidak bersifat
mutlak.
Wallahu
a’lam bi al-Shawaab.