السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Jumat, 09 Februari 2018

REALITAS LARANGAN DALAM ISLAM

Setidaknya ada beberapa lafadz dalam bahasa al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan ketidak-bolehan atau sesuatu yang mesti dijauhi. Antara lain adalah larangan; bisa berupa lafadznya sendiri, seperti  نهى  yang berarti larangan, bisa juga dengan لاناهى atauنافى  لا, dan atau bisa kereana adanya sebab sehingga hal itu dilarang, seperti najis (نجس/ ركس), لعن (laknat), هلك (merusak) dan semacamnya. Kemudian, haram; yang artinya ketidak-bolehannya adalah mutlak dan sesungguhnya yang paling berhak menentukan hal ini adalah Allah semata dengan firman-firmannya yang qhat'i.

Namun lebih khusus tulisan ini akan membahas permasalahan yang pertama, yaitu tentang larangan. Bahwa sejarah menunjukkan realitas larangan dalam islam sangat terkait dengan ada atau tidak adanya illat (alasan) dibalik tidak dibolehkannya sesusutu itu (يدور مع العلة وجودا وعدما) dan akan adanya kemungkinan para ahli untuk berbeda paham tentangnya.
Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :

لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه
artinya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya” (H.R Muslim)

Hadis di atas berisi tentang larangan (menggunakan huruf لاناهى = لاتكتب) menulis hadis dari rasulullah, bahkan dalam beberapa riwayat Sa’id al-Khudry mengatakan jika beliau telah beberapa kali meminta izin kepada Nabi agar diperbolehkan menulis hadis, namun Nabi tetap tidak memperbolehkannya. Hanya saja di lain hal dan kesempatan rasulullah pernah memerintakan Abdullah bin Amr bin ‘Ash menulis hadis, beliau bersabda:

أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق

Dari Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda : artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar.

Terkait contoh kasus hadis diatas, menurut para ulama adanya larangan tersebut mengandung alasan bahwa dikawatirkan hadis yang ditulis akan tercampur dengan al-Qur’an. Jika tidak? Maka, ketika ada sebuah olok-olok oleh kaum Quraisy akan entitas hadits, maka Nabi memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk menulis, sekaligus menyatakan bahwa apa-apa yang datang dari beliau adalah haq.

Contoh lain adalah larangan minum berdiri (baca artikelnya disini), buang air kecil berdiri (baca artikel selengkapnya di sini), ziarah kubur, wanita keluar tanpa didampingi oleh muhrimnya dan sebagainya. Yang kesemuanya, awalnya dilarang karena faktor alasan tertentu dan ternyata juga Nabi pernah melaksanakannya, hingga akhirnya sekarang menjadi mafhum.

Selanjutnya, bahwa dalam konteksitas larangan akan sangat mungkin menimbulkan perbedaan paham atau pendapat bagi para ahli. Abdullah bin Muhammad bin Asma' telah menceritakan kepada kami Juwairiyah bin Asma' dari Nafi' dari Ibnu 'Umar ra, ia berkata; Nabi saw bersabda ketika perang al-Ahzab:
 
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

"Janganlah seseorang melaksanakan shalat 'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah." Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan shalat 'Ashar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata; "Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di perkampungan itu." Sebagian yang lain beralasan; "Justru kita harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu." Setelah kejadian ini diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun." (HR. Bukhari)

Hadits ini, menunjukkan larangan (menggunakan huruf نافى  لا = لَا يُصَلِّيَنَّ) Nabi SAW agar menunaikan shalat ashar tidak diselaian ditempat bani Quraidlah. Bahkan menariknya, redaksi hadits ini memakai nun taukid tsakilah, yang artinya adanya larangan tersebut benar-benar tidak boleh dilanggar. Namun, kenyataan para sahabat berbeda pendapat, yakni di antaranya sami’na wa ‘ata’na terhadap perintah Nabi, dan di antaranya yang lain tidak patuh pada perintah Nabi dengan melaksanakan shalat ashar dalam perjalanan, karena pertimbangan waktu. Dan ternyata setelah persoalan ini disampaikan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan salah satu pihak. Imam Thabary mengatakan, malah Nabi tersenyum dengan kasus tersebut.

Kemudian, terkait larangan dilihat dari segi sebab hal itu dilaranga. Seperti contoh hal-ihwal faham term "najis", "merusak," "bahaya" dan lain-lain dalam islam, maka para ulama pasti akan terjadi perbedaan pendapat tentangnya.

Semisal, najisnya anjing, Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad mengatakan, bahwa seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Imam Malik mengatakan, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad berkata, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Selain itu, juga terkait perbedaan pendapat najisnya kotoran hewan yang halal atau haram dimakan (baca selengkapnya di sini) dan banyak lagi contoh yang lain.

Terkait alasan "bahaya" atau "merusak" kemudian hal itu dilarang bahkan ada yang mengharamkan. Ambil contoh, salah satunya adalah konsepsi haramnya rokok (dimana alasan keharamannya, karena dianggap dapat berbahaya bagi kesehatan dan merusak tubuh). Akan tetapi, karena yang menjadi rujukan nash-nya adalah bersifat larangan, maka keharaman rokok menununjukan pro-kontra.

Masih banyak lagi hal-hal yang karena sebab-sebab tertentu kemudian hal tersebut di”larang' bahkan diharamkan. Selain term "najis," "merusak" dan "berhabaya" seperti yang disebutkan di atas, silahkan dicari dan dicermati sendiri.  Kesimpulannya, konsepsi Larangan dalam termenologi islam sangat bersifat temporal-kondisional. Ia tidak bersifat mutlak.

Wallahu a’lam bi al-Shawaab.

Share:

1 komentar:

TERIMA KASIH