Seringkali ada anggapan bahwa budaya/ akulturasi tiga harian, tujuh harian, empat puluh harian
dan semacamnya yang mafhum terjadi di mayoritas daerah-daerah di Indonesia,
yang biasa diisi dengan tahlilan, yasinan dan lain-lain saat ada kematian adalah bid’ah atau ibadah yang dibuat-buat yang tidak dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW.[1]
Atau paling tidak, budaya/ akulturasi tersebut dicap sebagai perbuatan
tasyabbuh (penyerupaan).[2]
Tentu saja hal ini hanya soal perbedaan minhajul fiqr
saja yang sama-sama mesti dihormati. Maka dari itu, saya akan ketengahkan dalil
(dengan minhajul fiqr yang berbeda) melihat dari segi contoh perbuatan
yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. melalui konsep
analogis. Bahwa Nabi pernah melakukan ziarah kubur, di mana awalnya adalah
dilarang.[3]
Namun, akhirnya Nabi membolehkannya dan melakukannya,[4]
dengan merubah unsur-unsurnya dengan unsur islami, dari yang tadinya ziarah
kubur dilakukan orang-orang jahiliyah untuk menyembah/ sembahyang dikuburan dan
lain-lain.
Artinya ini adalah contoh akulturasi
budaya dari Nabi Muhammad, dimana tradisi ziarah kubur adalah tradisi orang-orang jahiliah sebelum Islam datang, namun
kemudian unsur-unsur di dalamnya diganti oleh Nabi Muhammad dengan unsur-unsur
islami. Sama halnya dengan prosesi 3 (tiga) harian, 7 (tujuh) harian dan sebagainya pada ritual kematian, yang dulunya merupakan tradisi hindu-budha, tapi kemudian diganti unsur-unsurnya dengan unsur Islami.
Contoh akulturasi yang lain adalah budaya berjabat tangan dalam Islam, yang merupakan kebiasaan orang Yaman, namun juga diadopsi oleh Nabi Muhammad SAW.[5] Artinya sampai di sini konsep akulturasi sendiri dicontohkan oleh Nabi SAW. meski tidak diperintahkan secara matan. Dengan kata lain, fungsi akulturasi ini juga dapat dicontoh dan dilaksanakan, dengan catatan unsur-unsurnya diganti dengan unsur-unsur islam tentunya.
Contoh akulturasi yang lain adalah budaya berjabat tangan dalam Islam, yang merupakan kebiasaan orang Yaman, namun juga diadopsi oleh Nabi Muhammad SAW.[5] Artinya sampai di sini konsep akulturasi sendiri dicontohkan oleh Nabi SAW. meski tidak diperintahkan secara matan. Dengan kata lain, fungsi akulturasi ini juga dapat dicontoh dan dilaksanakan, dengan catatan unsur-unsurnya diganti dengan unsur-unsur islam tentunya.
Apakah bid’ah? Yang jelas Nabi tidak pernah menjelaskan definisi
bid’ah dengan gamblang, sehingga hal tersebut dalam bahasa KH. Hasyim Asy’ari
adalah bid’ah mukhtalaf, yakni para ulama ada yang mengatakan itu bid’ah dan
juga ada yang menganggap bukan bid’ah, karena memang tidak ada dalil yang
sharih yang mengatakan bahwa akulturasi tahlilan dan lain-lain itu bid’ah. Atau
tidak ada contoh pada masa Nabi bahwa beliau ketika melaksanakan tradisi jahiliyah
dan semacamnya yang sudah diganti unsur-unsurnya kemudian beliau katakan bahwa
hal itu bid’ah. Sekali lagi tidak ada.
Apakah tasyabbuh? Dalam hal ini juga Nabi tidak menjelaskan
apa tasyabbuh yang dimaksud. Ada sebuah contoh yang dicontohkan oleh beliau
tentang tasyabbuh ini, bahwa nabi melarang bagi seorang muslim memelihara
kumis, karena hal tersebut dapat menyerupakan kita dengan orang-orang yahudi.[6] Artinya
tasyabbuh yang dimaksud di sini sangatlah fisikal. Sehingga tak ayal, ketika
saat itu KH. Hasyim Asy’ari pernah melarang warga Indonesia memakai dasi,
karena dasi dianggap pakaian orang kafir, yang dengan memakainya berarti kita
telah tasyabbuh. Tapi nyatanya sekarang pendapat ini juga tidak berlaku. karena memang tidak ada penjelasan detail mengenai tasyabbuh yang dimaksud oleh Nabi.
Pertanyaan yang terakhir adalah, apakah Nabi Muhammad SAW
yang mengadopsi ziarah kubur dan berjabatan tangan, beliau telah berbuat bid’ah
dan tasyabbuh? Jawabannya, apalagi jika diperdebatkan, maka pasti akan terjadi
perbedaan. Pro-kontra. Maka saling menghormati masing-masing hasil ijtihad merupakan hal
yang paling bijak. Karena kita semua selalu dan sedang sama-sama berijtihad.
Wallahu a’lam bi al-shawab
[1] Hal
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو
رد
“Barangsiapa yang membuat-buat suatu perkara di dalam
urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka perkara tersebut
tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).
[2] Dari
Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul
Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul
Gholil no. 1269)
[3] Ayatullah
Subhani dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa orang-orang Ahlulkitab
pernah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah,
berdasarkan hal ini, Rasulullah Saw pada awalnya melarang, kemudian
memperbolehkan. akan tetapi pelarangan ini tidak lama bertahan, dan ketika
hadirnya kondisi-kondisi memungkinkan pada tahun ketujuh Hijriyah di
Hudaibiyah. (Ibnu Sa'ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 1, hal. 94, Dar al-Kitab Islamiyah, Beirut,
Cetakan Pertama, 1410 H)
[4] bahwa
Rasulallah pernah ziarah ke makam Baqi’ dan mengucapkan kata-kata yang
ditujukan kepada para ahli kubur di makam Baqi’ tersebut.
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Artinya :
Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke
kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)
[5] Dalam
sebuah riwayat Ahmad dari Anas bin Malik, Nabi pernah memuji sifat orang-orang
Yaman di hadapan para sahabatnya, dengan kalimat:
قَدْ جَاءَكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ
وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ
Artinya: “Telah datang kepada kalian penduduk Yaman,
dan merekalah orang yang pertama sekali yang melakukan berjabat tangan.” (HR
Abu Daud dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu).
[6] عْفُوْا اللُّحَى وَجَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى (أخرجه أحمد رقم 8657 والبيهقى رقم 673 عن أبى هريرة ، قال المناوى : بإسناد جيد)
“Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian menyamai dengan Yahudi dan Nashrani” (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari Abu Hurairah, sanadnya jayid)
0 comments:
Posting Komentar