Sudah mafhum di era medsos seperti sekarang, sangat mudah bagi seseorang meluapkan unek-unek, emosi bahkan amarah. Sangat mudah menemukan sebuah tuduhan-tuduhan merajalela, baik terhadap pemerintah, tokoh-tokoh publik maupun tokoh agama.
Dahulu Imam Syafi’i juga pernah dituduh Syi’ah Rafidha oleh kaum Wahhabi Salafi Nashibi. Imam Tabari pernah ditudah Syi’ah dan Ilhad (ateis) oleh kelompok hanbaliyah.[1] Dan sekarang tuduhan-tuduhan ditujukan terhadap orang-orang atau tokoh yang dianggap “lberal.” Contoh katakanlah, Gus Dur, KH. Aqil Siraj, Ulil Absor Abdallah, Musdah Mulia, Habib Quraishshihab, Buya Syafi'i Ma'arif dan lain-lain. Mereka dituduh “liberal” karena pandangan-pandangan mereka yang nyeleneh, atau dalam bahasa Ustadz Abdul Somad “pendapatnya “mursal.”
Lebih jauh, soal pandangan-pandangan nyeleneh yang kemudian dianggap sebagai ciri dari pemikiran “liberal,” maka Imam Ibu Taimiyah juga pernah membuat statemen filsafat yang cukup nyeleneh sehingga beliaupun pernah dituduh murtad dan kafir.
Inilah di antara pemikiran-pemikiran beliau yang dianggap nyeleneh (“liberal”);
Pertama, bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-Maddah atau al-Afrad).[2] Pendangan ini seolah mempertegas pemikirian-pemikiran filsuf Yunani, yang memnganggap alam semesta ini tidak memiliki permulaan. Dan hal itu tidak mungkin, sebab Alam ini adalah Allah yang menciptakan.
Kedua, bahwa Allah adalah Jism (benda)[3] Pendapat ini dianggap mempersamai pemikiran golongan mujassimah yang jauh sebelumnya telah dicap murtad.
Ketiga, bahwa Allah berada pada tempat dan arah, dan Allah memiliki bentuk serta ukuran.[4] Pemikiran ini, dianggap seolah menyamakanNya dengan makhlukNya. Padahal Allah sama sekali berbeda dengan makhlukNya, sebagaimana terucap dalam AyatNya.[7]
Keempat, bahwa Neraka dan siksaan-siksaan terhadap orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan.[5] Pendapat ini dianggap bertentangan dengan Ayat dalam al-Qur'an.[6]
Namun, kenyataannya sekarang dalam bidang Hadis, fiqh dan politik Imam Ibnu Taimiyah dengan karya-karyanya menjadi rujukan kuat, bahkan dikalangan teman-teman Salafy.
Dengan demikian bagi penulis, mau seperti apapun itu, tuduhan tidak lah menunjukkan kredibilitas dan pribadi yang utuh. Sesungguhnya penuduh , ia sedang sakit, mentalnya tidak stabil. Sebab, tuduhan lahir lebih karena ketidak puasan dan kebodohan, serta pandangannya yang tidak utuh.
Oleh karena itu, apapun alasaannya, tuduh-menuduh adalah tidak baik, bahkan sekalipun realitas itu dianggap faktual. Dan yang paling ditakutkan adalah kita bisa jatuh pada perbuatan ghibah yang dimaksud oleh Nabi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”. (HR. Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)
Wallahu a’lam bi al-shawab
[1] Bahkan sampai akhir hayat beliau Imam Muhammad bin Jarir Abu Ja’far at-Thabari dituduh Rafidhah dan Ilhad.
وادعوا عليه الرفض، ثم ادعوا عليه الإلحاد
Mereka menuduh Ibnu Jarir sebagai Rafidhah, lalu menuduhnya dengan ilhad (atheis). (Izzuddin bin al-Atsir w. 630 H, al-Kamil fi at-Tarikh, hal. 6/ 677)
[2] Ibn Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam bayak karyanya. Di antaranya dalam; Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, j. 2, h. 75. Lihat pula j, 1, h. 245 dan j. 1, h. 64. , Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 224, Kitab Syarah Hadits an-Nuzul, h. 161, Majmu’ al-Fatawa, j. 6, h. 300, Kitab Syarah Hadits ‘Imran ibn al-Hushain, h. 192, Naqd Maratib al-Ijma’, h. 168
[3] Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam karyanya; Syarah Hadits an-Nuzul, h. 80, Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 1, h. 62, j. 1, h. 148, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180, Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 152, Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101
[4] disebutkan dalam karyanya sendiri; Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30
[5] Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67
[6] Firman Allah Azza wa Jalla.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَآ أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. [Al Bayyinah:6].
[7] Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)