PADA sebuah majelis Nabi Muhammad Saw yang mulia, beliau membabar senarai kisah, bahwa kelak di hari kiamat ia akan memamerkan umatnya di hadapan para Nabi terdahulu—yang saking banyaknya sehingga menyarati dataran dan bebukitan. Lalu Allah berfirman kepada Nabi Saw, “Ridhakah engkau, ya Muhammad?”
Maka Nabi Saw pun menjawab, “Aku ridha, ya Tuhanku!”
Kemudian Allah berfirman lagi, “Sesungguhnya ada tujuh puluh ribu orang dari umatmu yang masuk surga tanpa hisab dengan wajah seperti bulan purnama.”
Para Sahabat yang hadir saat itu pun larut dalam kekaguman atas cerita tersebut. Lalu seketika Sahabat Ukasyah mendekati beliau dan berkata, “Ya Rasulullah, doakanlah aku termasuk golongan itu.”
“Engkau termasuk golongan mereka!” ujar Nabi Saw.
Melihat tindakan Ukasyah, beberapa Sahabat juga mendekati beliau dan minta didoakan seperti halnya Ukasyah. Beliau tersenyum melihat reaksi para Sahabat, dan bersabda, “Kalian sudah didahului Ukasyah.”
Ukasyah bin Mihshan al-Asadi adalah seorang sahabat dari kalangan Muhajirin yang berasal dari Bani Abdu Syams. Dalam bahasa kita hari ini, ia adalah mantan preman yang tobat secara nasuha, dan telah memeluk Islam pada masa terawal Islam sehingga termasuk dalam golongan as-Sabiqun al-Awwalun.
Saat Perang Badr, Ukasyah bin Mihshan adalah penunggang kuda terbaik, yang bertempur hingga pedangnya patah. Lalu Rasulullah memberinya sebatang kayu—yang dalam sebuah riwayat—berubah menjadi pedang tajam yang kemudian diberi julukan al-‘aun (pertolongan) oleh Ukasyah. Pedang itulah yang ia gunakan dalam pelbagai pertempuran hingga ajal menjemputnya saat memerangi Musailamah al-Kadzab (Sang Pendusta), pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra.
Kisah kebaikan hati Nabi Saw di atas, kemudian dibalas setimpal oleh Ukasyah jelang beliau wafat pada 621 M. Kala itu, Nabi Saw memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan guna memanggil para Sahabat merapat ke Masjid Nabawi. Mendengar panggilan Bilal, para Sahabat yang telah sekian lama memendam rindu pada kekasihnya, segera bergegas melangkah. Setelah mereka berkumpul di masjid, Nabi Saw datang menghampiri. Tubuhnya kelihatan lemah dan menyusut. Wajah beliau pias ronanya. Lalu Nabi Saw pun duduk di hadapan Sahabatnya tercinta, dan bertanya dalam lirih.
“Sahabatku… Apakah telah kusampaikan bahwa Allah adalah satusatunya tuhan yang wajib disembah?”
“Benar, ya Rasulullah. Engkau telah menyampaikan bahwa Allah adalah satusatunya tuhan yang wajib disembah,” jawab Sahabat membenarkan.
“Sesungguhnya aku ini adalah Nabimu, pemberi nasihat dan penyeru manusia ke jalan Allah dengan izin-Nya. Aku ini bagimu bagaikan saudara yang penyayang dan ayah yang pengasih. Aku akan pergi menemui Allah. Sebelum pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Adakah aku pernah berhutang pada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang itu? Karena aku tak mau bertemu Allah dalam keadaan berhutang sesuatu pun kepada manusia.”
Mendengar pernyataan tersebut meluncur dari bibir Nabi Saw yang mulia, para Sahabat sontak tertegun. Merunduk. Mereka dilamun haru. Tak menyangka jika kedatangan mereka kali itu, adalah perjumpaan terakhir dengan sosok agung yang mereka cintai sampai ke dalam sumsum. Tak satu pun mereka sanggup menimpali apa yang diucapkan Nabi Saw.
“Siapa yang merasa teraniaya olehku di antara kamu semua, hendaklah ia bangkit berdiri sekarang juga agar melakukan qishas (pembalasan) padaku, sebelum ia melakukannya pada hari Kiamat nanti.”
Para Sahabat kian tak berdaya. Mulut mereka tercekat dan bibirbibir menjadi kelu pada saat itu. Pertanyaan yang sama kembali diulang oleh Nabi Saw. Baru pada pertanyaan ketiga, seorang lelaki bangkit dari duduknya. Dialah Ukasyah bin Mihsan. Ia berdiri di hadapan Nabi Saw sambil berkata.
“Ibu dan ayahku menjadi tebusanmu, ya Rasulullah. Kalau tidaklah karena engkau telah berulang kali menuntut kami supaya berbuat sesuatu atas dirimu, tidaklah aku akan berani tampil mengabulkannya sesuai permintaanmu. Dulu, aku pernah bersamamu di medan perang Badr sehingga untaku sempat berdampingan satu kali dengan untamu. Aku pun turun dari punggung unta dan menghampirimu. Lantas aku pun mencium pahamu. Kemudian engkau mengangkat cemeti memukul untamu supaya berjalan cepat, tetapi engkau sebenarnya telah memukul tulang rusukku. Aku tidak tahu apakah saat itu engkau sengaja atau tidak, ya Rasul Allah, atau barangkali maksudmu saat itu hendak memukul untamu sendiri?”
Rasulullah Saw berkata, “Wahai ‘Ukasyah, Rasulullah Saw sengaja memukul kamu.” Kemudian beliu menyuruh Bilal supaya pergi ke rumah Fatimah, mengambil cemeti miliknya.
Meski berat hati, Bilal segera ke luar dari Nabawi dengan tangan yang diletakkan di atas kepala. Ia heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin Ukasyah begitu tega dan Nabi Saw pun mengakui kesalahannya. Sambil menunggu Bilal kembali, suasana di Nabawi menegang. Para Sahabat utama mulai tersulut emosinya. Sebagian yang lain, menyorongkan pandangan ke arah Ukasyah yang tak tahu diri.
Bilal pun tiba di rumah Sayyidatina Fatimah. Ia mengetuk pintu sambil menguluk salam.
“Siapakah di luar?” tanya Fatimah.
“Saya Bilal. Datang kepadamu guna mengambil cemeti Rasulullah.”
“Duhai Bilal, apakah yang akan dilakukan ayahku dengan cambuknya?”
“Ya Fatimah! Ayahmu memberikan kesempatan kepada orang lain agar mengambil qishas terhadap dirinya.”
“Siapakah pula gerangan orang itu yang sampai hati mengqishas Rasulullah?” tanya Fatimah keheranan. Biarlah aku saja yang menjadi gantinya.”
Bilal ra tidak menjawab pertanyaan itu. Setelah Fatimah menyerahkan apa yang hendak diminta ayahandanya, Bilal pun mengambil cemeti tersebut dan kembali ke Nabawi. Lalu diberikannya kepada Rasulullah, yang kemudian menyerahkan cemeti itu ke tangan Ukasyah. Suasana mendadak panas. Semua Sahabat berdiri. Saat itulah, Abu Bakar dan Umar, maju menahan keinginan Ukasyah yang luarbiasa gila itu.
“Hai, Ukasyah! Kami sekarang berada di hadapanmu. Qishas lah kami, dan jangan sekali pun engkau memukul Rasulullah Saw!” Tangan kanan Umar barangkali sudah mendarat di gagang pedangnya, dengan wajah merah padam. Namun Rasulullah malah menahan kedua sahabatnya, lalu berkata.
“Duhai sahabatku, duduklah kalian berdua. Allah memafhumi kedudukan kamu berdua!”
Setelah mereka duduk kembali, berdiri pula ‘Ali bin Abi Tholib sambil berkata garang, “Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi Saw. Aku tidak sampai hati melihat engkau akan mengambil kesempatan mengqishas Rasulullah. Inilah punggungku. Qishas lah aku dengan tanganmu!”
“Allah telah memafhumi kedudukanmu di hadapan-Nya, dan juga niat baikmu, wahai Ali!” cegah Rasulullah lagi.
Ali pun surut. Ia beringsut duduk. Dalam keadaan menahan kesal yang teramat besar. Kemudian tampillah anaknya, cucu kesayangan Rasulullah, Hasan dan Husein.
“Hai Ukasyah! Bukankah engkau telah mengetahui, bahwa kami berdua ini adalah cucu kandung Rasulullah. Qishas lah kami, dan itu berarti sama dengan mengqishas Rasulullah!” Tetapi Rasulullah menegur pula kedua cucunya itu dengan berkata.
“Duduklah kalian berdua, duhai penyejuk mataku.”
Mendengar sang kakek berkata demikian, Hasan-Husein meriut, bersungut-sungut. Akhirnya, Nabi pun berujar, Hai Ukasyah! Pukullah aku jika engkau berhasrat mengambil qishas!”
Mengetahui keinginannya tak lagi terhalangi oleh siapa pun, Ukasyah kian bersemangat.
“Ya Rasul Allah! Sewaktu engkau memukulku dulu, kebetulan aku sedang mengenakan baju di badan,” sahut Ukasyah. Sontak ruangan dalam Nabawi menjadi sesak dan pengap oleh kemarahan Sahabat. Ukasyah kian menggila. Alihalih berniat mencambuk Nabi Saw, ia malah meminta beliau membuka bajunya. Kurang ajar! Namun tanpa bicara, Rasulullah ternyata melucuti bajunya. Semua yang hadir menghela nafas. Berteriak histeris, lantas menangis. Tak terkecuali Ukasyah. Sebenarnya, ada yang tertahan di dalam ia punya dada.
Ukasyah maju melangkah. Melepas ikatan cemeti Rasulullah yang sedang digenggamnya. Namun tatkala ia melihat tubuh putih pualam Rasulullah dan tanda kenabian di bahu kanannya, ia segera mendekap tubuh mulia yang harum mewangi itu. Sepuaspuasnya, sambil berkata, “Tebusanmu adalah Ruhku, ya Rasulullah. Siapakah yang sampai hatinya mengambil kesempatan mengqishas? Aku sengaja berbuat demikian hanya kerana berharap agar supaya tubuhku dapat menyentuh tubuh engkau yang mulia, dan agar supaya Allah dengan kehormatanmu, berkenan menjagaku dari sentuhan api neraka.”
Ukasyah menyampaikan kalimat itu dengan terbatabata. Airmatanya berlinangan. Membanjir tak tertahan. Dadanya sesak menanggung rindu yang sendu. Apalagi ia sadar, bahwa Rasulullah akan segera pergi meninggalkan mereka, selamanya. Hari itu mendadak manjadi haru-biru.
Akhirnya berkatalah Nabi Saw, “Ketahuilah wahai para sahabat! Sesiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini.”
Lantas bangkit berdirilah kaum Muslimin, beramairamai mencium wajah Ukasyah, di antara kedua matanya. Tak lupa, mereka pun bergiliran menciumi tubuh Nabi Saw yang begitu memesona. Syak wasangka mereka luntur seketika. Berganti haturan terimakasih teramat sangat pada Ukasyah yang cerdik dan beruntung itu. Lantaran keberanian dan kenekatannya lah, rasa penasaran para Sahabat yang ingin melihat tanda kenabian di bahu Nabi Saw, terpuaskan.
Bahkan bukan hanya melihat. Lebih dari itu, tubuh manusia paling mulia sejagat raya itu pun berhasil mereka dekap sepuas hati. Selama dan selekat mungkin. Kulit beradu kulit. Cinta bertumbukan rindu yang kian menyayat.[]