Ia dengan keadaannya, merupakan
makhluk Allah yang tercipta sesuai qadar-Nya. Dan tidak akan pernah ada yang
salah dengan takdirNya. Artinya, butuh banyak alasan untuk kemudian membenci atau
bahkan menghinakannya. Lalu, kadang muncul sebuah pertanyaan, bahwa iblis juga
makhluk Allah yang ditakdirkan terkutuk, namun tidakkah Allah menyuruh kita membenci bahkan memusuhinya? Tentu kasus anjing berbeda dengan iblis yang merupakan bagian dari
jin, yang laknatNya karena kesombongan iblis itu sendiri. Sedangkan anjing tidak
demikian, bahkan nafsu pun ia tak punya.
Setidaknya ada beberapa alasan pembenaran
menghinakan dan membunuh anjing yang sering terjadi di masyarakat. Pertama;
karena Nabi membolehkan untuk membunuhnya, sebagai mana sabda beliau:
عن عاءشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال: خمس من الدواب كلهن فاسق يقتلن في الحرم الغراب و الحدأة و العقرب
و الفأرة و الكلب العقور
“Diriwayatkan dari Aisyah ra
bahwasanya rasulullah bersabda: Lima dari hewan tunggangan yang mereka semua
adalah fasiq, maka diperbolehkan untuk dibunuh ketika iharam yaitu burung
gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, dan anjing penggigit.” (HR.
Bukhari: 1828)
diriwayatkan oleh Ibnu Umar yaitu:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر
بقتل الكلاب إلا كلب صيد أو كلب غنم أو ماشيه. فقيل لابن عمر: إن أبا هريره يقول:
أو كلب زرع. فقال ابن عمر: إن لأبي هريرة زرعا
“Dari Ibnu Umar bahwasannya
rasulullah memerintahkan untuk membunuh semua anjing, kecuali anjing untuk
berburu, anjing untuk menjaga kambing, atau anjing penjaga ternak. Maka kepada
Ibnu Umar bahwasanya Abu Hurairah berkata: atau anjing untuk berkebun. Maka
Ibnu Umar berkata: Sesungguhnya Abu Hurairah memiliki anjing untuk berkebun.” (HR.Muslim:
1571)
Kedua hadits ini memang menjelaskan
tentang perintah Nabi membunuh anjing dan sering juga dijadikan dalil. namun
perlu digaris bawahi dalam hadits yang pertama menegaskan bahwa anjing yang
boleh dibunuh adalah anjing penggigit (الكلب العقور). jika tidak? Maka kita memasuki pada hadits yang kedua akan
bolehnya membunuh dengan catatan bukan anjing untuk berburu, anjing penjaga
kambing, penjaga ternak, dan anjing penjaga tanaman atau kebun. Artinya, umat
islam tidak serta merta dibolehkan membunuh anjing, mesti memperhatikan unsur
bahaya dan merugikan tidaknya bagi manusia, sama halnya dengan saya tidak boleh membunuh anda tanpa ada sebab. Bahkan Nabi
pernah bersabda; Diriwayatkan oleh Jabir:
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بقتل الكلب ثم
نهى عن قتلها وقال عليكم بالأسود البهيم ذي النقطتين فإنه شيطان
“Sesungguhnya nabi shalallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh anjing kemudian beliau melarang
untuk membunuhnya, dan beliau berkata lagi: diperintahkan atas kalian
(membunuh) anjing hitam yang memiliki dua bintik (dimata) karena itu adalah
setan” (Al ath’imah wa ahkaamus shaidi wad dabaih , di tarjih oleh Sholeh bin
Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, cet:1, tt: 1988),
hlm: 177)
Kedua; Karena Najis. Perlu diketahui tidak satu hadits Nabi pun yang
mengatakan bahwa anjing itu najis. oleh karena itu, Syaikhul Islam rahimahullah
berkata, bahwa mazhab maliky menghukumi anjing adalah suci, termasuk liurnya[1]. Adapun
jumhur ulama yang sepakat akan najisnya anjing adalah berdasar pada hadits, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ
إِنَاءِ أحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
"Sucinya wadah kalian apabila
dijilat anjing, adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama
dengan debu." (HR. Muslim, no. 279)
Yang kemudian dengan hadits ini
disepakati bahwa najisnya anjing adalah najis berat (Mughalladlah). Karena untuk
mensucikannya saja mesti dengan tahapan-tahapan khusus. Padahal secara redaksional hadits
ini tidak memuat tentang najisnya anjing.
Yang ketiga; Rasul
melarang memlihara atau memanfaatkan Anjing. Adapun dalil hadits menjadi
rujukan adalah; dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam,
beliau bersabda
,
مَنِ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ
أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ
“Barangsiapa memanfaatkan anjing
selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing (pintar) untuk berburu, atau
anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang
sebesar satu qiroth” (HR. Muslim no. 1575). Kata Ath Thibiy, ukuran qiroth
adalah semisal gunung Uhud (Fathul Bari, 3/149).
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ
مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memanfaatkan anjing,
bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai
anjing untuk berburu, maka setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua
qiroth.” (HR. Bukhari no. 5480 dan Muslim no. 1574)
Fokus adanya larangan dari kedua
hadits ini, terdapat pada dikuranginya pahala setiap hari, satu qiroth atau dua
qirath. Artinya manusia diciptakan untuk beribadah[2],
untuk mengmpulakan pahala sebanyak-banyaknya. Ketika ada suatu hal yang mengindikasikan dapat mengurangi pahala (padahal seharusnya bertambah), maka hal itu
berarti bertentangan dengan hakikat diciptakannya manusia dan hal itu tidak
boleh.
Namun, Imam Nawawi berkata,
"Diperselisihkan dalam hal memelihara anjing selain untuk tujuan yang tiga
di atas, seperti untuk menjaga rumah, jalanan. Pendapat yang lebih kuat adalah
dibolehkan, sebagai qiyas dari ketiga hal tersebut, karena adanya illat
(alasan) yang dapat disimpulkan dalah hadits, yaitu: Kebutuhan." (Syarh
Muslim, 10/236).
Syekh Ibn Utsaimin rahimahullah
berkata, "Dengan demikian, rumah yang terletak di tengah kota, tidak ada
alasan untuk memelihara anjing untuk keamanan, maka memelihara anjing untuk
tujuan tersebut dalam kondisi seperti itu diharamkan, tidak boleh, dan akan
mengurangi pahala pemiliknya satu qirath atau dua qirath setiap harinya. Mereka
harus mengusir anjing tersebut dan tidak boleh memeliharanya. Adapun kalau
rumahnya terletak di pedalaman, sekitarnya sepi tidak ada orang bersamanya,
maka ketika itu dibolehkan memelihara anjing untuk keamanan rumah dan orang
yang ada di dalamnya. Menjaga penghuni rumah jelas lebih utama dibanding
menjaga hewan ternak atau tanaman." (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/246)
Jadi, mungkin benar dan kita sepakat
bahwa anjing itu najis. Tapi dalam islam, yang namanya najis adalah dengan
disucikan, tidak selalu dengan dibersihkan apalagi dihilangkan, dijauhi bahkan
dimusuhi ataupun dihinakan. Memusuhi adalah perbuatan hati, sedangkan Najis
sangat bersifat lahiriyah dan cukup dengan disucikan (kisah inspiratif Abu Yazid al-Busthamy).
Waallahu a’lam
bi a-shawaab.
[1] Syaikhul
Islam rahimahullah berkata, "Adapun tentang anjing, para ulama berselisih
dalam tiga pendapat; Pertama, bahwa anjing adalah suci, termasuk liurnya. Ini
adalah mazhab Malik. Kedua, bahwa anjing adalah najis termasuk bulunya. Ini
adalah mazhab Syafi'I, dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab
Ahmad. Ketiga, bulu anjing suci, sedangkan liurnya najis. Ini adalah pendapat
mazhab Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari dua pendapat dalam mazhab
Ahmad.Pendapat ketiga adalah pendapat yang paling benar. Maka jika bulu anjing
yang lembab menempel pada baju atau tubuh seseorang, hal itu tidak membuatnya
najis." (Majmu Fatawa, 21/530).
[2] وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
0 comments:
Posting Komentar