السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Rabu, 01 Februari 2017

AL-QUR'AN TIDAK MEN"SUCI"KAN CINTA

Ketika banyak pakar dan ahli dengan segala definisi dan perbedaan tentang makna cinta, tentang cinta yang suci, yang tidak bisa tercampur dengan hal-hal yang dapat mengotorinya, bahkan dikatakan jatuh cinta itu bukan cinta itu sendiri, sebab jatuh cinta timbulnya dari perasaan tidak murni, entah karena kecantikannya, ke seksiannya, ke molekannya dan lain-lain yang kesemuanya bersifat erotik, sementara cinta terlepas dari itu semua, sehingga menjadi wajar jika dibilang cinta sejati hanya milik Allah semata.

Maka tidak demikian dengan al-Qur'an, bagi al-Qur'an cinta itu sangat manusiawi, multi orientasi meliputi segala aktifitas dan sikap manusia. Dengan kata lain, pada baju baru atau lusuh terdapat cinta, pada wanita cantik atau jelek terdapat cinta, pada manusia, binatang, langit, bumi dan sebagainya juga terdapat cinta.

Cinta (al-Hubb) oleh al-Qur'an ditekstualisakan dengan kata al-Hubb dengan berbagai derivasinya. Walau sejatinya ada dua terma lagi yang menunjukkan makna suka, kasih-sayang sebagaimana cinta, yakni al-Mawaddah (lebih bersifat biologis) serta al-Rahmah (lebih pada sebuah proses). Namun, secara khusus hanya kata al-Hubb lah yang lebih identik, sebagaimana perkataan umum; "Ana uhibbu ilaiki." Sementara itu kata al-Hubb sendiri dengan berbagai derivasinya kurang-lebih termaktub dalam 59 ayat al-Qur'an, dengan pengertian yang sangat kompleks, situasional dan etis. Di antaranya:

1. Cinta (al-Hubb) itu Umum / Universal.

Berbeda dengan para pujangga bahwa yang disebut cinta (al-Hubb) itu eksklusif, sukar dibuktikan, dan khusus. Maka di sini sebaliknya, inklusif, bisa dibuktikan dan umum. jadi, siapa-pun, di mana-pun, kapan-pun, kepada siapa-pun "oke" bersama cinta. sehingga tidak heran ketika Nabi bersabda:

"Cintailah apa saja yang kau kehendaki, tapi ingat engaku pasti akan meninggalkannya."

walau pun redaksi hadist ini berpotensi mengandung makna ganda termasuk "li al-Tahdiid," di mana adanya perintah di sini bukan sebenarnya, tapi yang dikehendaki adalah larangan. Namun, mau perintah atau larangan hadits ini tetap menunjukkan bahwa eksistensi mencintai itu sangat universal dan semua orang bisa mengaplikasikan kehendaknya sebagai cinta (al-Hubb).

selain itu, Allah berfirman dalam kitabNya surat Ali 'Imran ayat 92:

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai (al-Hubb)."

Maka seandainya dikembalikan terhadap pendapat sang pujangga, tidak mungkin rasanya dapat merealisasikan sebagaimana ayat ini, di mana yang kau nafkahkan harus yang kau sayangi, berharga, bagus, yang kau puja-puja dan lain-lain. Padahal tidak demikian, jika pemberian dengan ikhlasdn cinta walau itu barang jelek tapi mash layak, maka insyaallah akan mendapat pahala dan kebijakan dari Allah. Lagi pula, seseorang berhak mencintai (al-Hubb) apa dan siapapun dengan kadar yang berbeda-beda. Sebagaimana berikut firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 24:

"Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai (al-Hubb) dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya."

Dalam ayat ini, lebih spisifik jelas menegaskan bahwa cinta (al-Hubb) bisa saja terhadap bapak, anak, saudara, isteri, keluarga, harta kekayaan, perniagaan, dan tempat tinggal. Tentu, tidak berarti cinta (al-Hubb) hanya tertentu pada hal-hal yang telah disebutkan oleh ayat ini, karena masih banyak ayat-ayat lain yang tidak mungkin dicantumkan disini semuanya. Namun, dengan ayat ini kita lebih yakin bahwa cinta (al-Hubb) meliputi segala apa yang ada di langit, di bumi dan seisinya.

Dengan demikan, betul adanya kalau cinta (al-Hubb) itu umum dan manusiawi. Bahkan ketika diakurasikan dengan kenyataan bahwa al-Hubb tidak masuk dalam "asma'ul husna" dan al-Hubb juga tidak termasuk sifat-sifat Allah yang sangat khusus itu. kalau pun di dalam al-Qur'an redaksi al-Hubb juga digunakan oleh Allah, seperti "Allah mencintai (al-Hubb) orang-orang yang berbuat adil", "Aku melemparimu sebuah cinta (mahabbah) dariku" dan sebagainya. Namun, hal itu tidak lain hanya tertentu untuk sesuatu yang melibatkan manusia dan ia pun mampu, tidak khusus seperti al-Rahman dan al-Rahim yang dikhususkan bagi orang-orang yang mendapat ke khususan.

2. Cinta (al-Hubb) Itu Buta.

Walau istilah ini, hanya lebih pada sebuah ungkapan semata. Namun, tidak berlebihan jika sekedar untuk menggambarkan kondisi hati yang sedang meluap-luap, menunjukkan perilaku aneh, rela berkorban tanpa memikirkan dirinya sendiri telah menjadi korban, rela melakukan apa-pun tanpa tahu hal itu baik dan etis apa tidak, over perhatian tanpa penduli dirinya sendiri tidak terperhatikan. Yang jelas terlalu banyak kisah untuk membeberkan semua itu disini, salah satunya kabar dari al-Qur'an:

"maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan." (Q.S Shaad: 32)

Pada dasarnya sebuah pengorbanan, perhatian dan kasih sayang merupakan simbol harmonisasi dan dialektika positif dalam tataran pergaulan sosial, lebih-lebih dalam sebuah hubungan. Asal tidak berlebihan dan tidak melampaui batas. Seperti dalam kisah ayat ini, saking cintanya terhadap sesuatu (fana) sehingga mengalahkan cintanya kepada Allah.

3. Dalam Cinta (al-Hubb), ada Perasaan Ingin di Puji.

Ketika tiba-tiba si Tukul berpenampilan, memakai wewangian dan berprilaku gak seperti biasanya, atau saat si Komeng selalu ada waktu untuk Qomariyah, atau ketika si Udin merasa lebih semangat saat geraknya diperhatikan oleh Susi. Begitulah efek rasa cinta (al-Hubb), dengan kepercayaan diri yang tiada tara, cari-cari perhatian tanpa henti, dan kronologisnya yang selalu bebas makna namun menjangkiti siapa-pun tanpa pandang bulu. Sebenarnya sebabnya cuma satu, yaitu ingin di"puji," dan itu manusiawi. Allah berfirman gini ni:

"dan mereka cinta (al-Hubb) supaya dipuji" (Q.S Ali 'Imran: 188)

4. Cinta (al-Hubb) Bertepuk Sebelah Tangan.

Cinta tak harus memiliki. Ungkapan yang cukup ngemas bagi mereka yang pernah ditolak, atau bagi mereka yang tidak berani mengungkapkan karena dia yang telalu cantik atau terlalu kaya. Sebuah anomali, hanya memang setiap orang memiliki hak yang sama untuk menolak dan memiliki kewajiban yang berbeda untuk menerima. Semua itu wajar dan juga pernah dirasakan oleh setiap manuisa yang pernah lahir ke dunia ini. Orang-orang dulu maupun saat ini. Sebagaimana gambaran al-Qur'an berikut:

"Beginilah kamu, mencintai (al-Hubb) mereka, padahal mereka tidak mencintai (al-Hubb) kamu." (Q.S Ali 'Imran: 119)

5. Cinta (al-Hubb), Satu Untuk Semua.

ketika seseorang hanya mencintai anaknya tapi tidak terhadap mertuanya, apa yang terjadi? ketika seseorang hanya mencintai dirinya sendiri tidak terhadap orang tua dan sekitarnya, apa yang terjadi?. Hal itu tidak perlu terjadi, sebab manusia sejatinya adalah pencinta. Dengan cintanya, ia dihormati, diangkat derajatnya, dimudahkan urusannya dan sebagainya. Jadi, ketika mencintai seseorang maka cintailah sekelilingnya pula. Perhatikan sebuah firman ini:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Q.S Ali 'Imran: 31).

6. Cinta (al-Hubb) Itu Pilih-pilih dan Etis.

Cinta adalah etika menghormati, etika menyangi, etika berbuat dan sebagainya agar kita pun mendapatkan timbal-balik dari itu semua. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan adalah mencintai sebagaimana Allah mencintai. Apakah mungkin? bisa!, yang tidak mungkin kita lakukan adalah menjadi al-Rahman dan al-Rahimnya Allah. Jika demikian, ketika Allah tidak cinta (al-Hubb) terhadap orang yang sombong, dzalim, kafir, penghianat, melampaui batas, berlebih-lebihan, cerewet dan Allah mencintai (al-Hubb) orang yang berbuat baik, bersuci, taqwa dan sebagainya, maka kita juga harus demikian.

Kemudian, tentu saja bercinta harus dengan kadar dan porsi yang berbeda dan pas. Cinta kepada istri tidak bisa disamakan dengan cinta kita terhadap anak, ibu-bapak, lingkungan apalagi Allah dan RasulNya. Itu tidak etis dan berdampak sistemik. Allah berfirman:

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah." (Q.S Al-Baqarah: 165)

"Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat." (Q.S Al-Nahl: 107)

Demikian, sebagia kesimpulan penulis katakan bahwa terminologi cinta dalam al-Qur'an sangat universal, situasional dan etis. Semua orang bebas mempersepsikan serta mengekspresikannya menurut kadar diri yang dimiliki, namun juga mesti sesuai standar koredor etis.

Namun kredibilitas tulisan ini, masih harus diteliti lagi... hehe... mari kita saling memberi masukan...!!!
Share:

0 comments:

Posting Komentar

TERIMA KASIH