Wahai orang-orang yang beriman, ingat, Islam adalah agama Allah yang sangat agung dan sempurna, sedangkan manusia itu lemah, selalu butuh dan ingin bahkan terhadap sesuatu yang sebenarnya dia tahu dia tidak membutuhkannya. Islam merupakan agama yang sangat mulia (a’la) serta lahirnya pun dari langit, sehingga disebut juga agama langit, sedangkan manusia adalah makhluk rendah yang tercipta dari tanah, yaitu bahan yang sering di injak-injak, dikotori, dirusak, dieksploitasi dan dimanipulasi bahkan oleh manusia itu sendiri.
Islam itu bukan Nusantara, bukan Arab Saudi, Madinah, Palestina dan sebagainya. Islam itu untuk semuanya. Soal perbedaan di dalamnya tidak kemudian mendikotomi negara-negara bahwa mereka ada yang lebih pantas atasnya dari pada yang lainnya. Adanya perbedaan hanya sebagai petunjuk jika kebersamaan dan kedamaian itu harus ada. Pengalaman sejarah mengisahkan, Dinasti Muawiyah tidak setuju seratus persen dengan cara keberagamaan Sahabat Ali bin Abi Thalib. Pengikut Sahabat Ali (Syi’ah) tidak setuju seratus persen pada keberislaman Ahlu Sunnah. Khawarij sangat menolak atas kebijakan Sahabat Ali yang dianggap keluar dari Islam.
Perkembangan Islam sejak lahir telah ditandai dengan adopsi paradigma paham yang tidak persis sama dalam setiap periode, oleh setiap penguasa saat itu. Pada periode sahabat, soal Hadis mereka memang sangat berhati-hati dan selektif sekali dalam menerimanya sebagai dasar hukum, namun keputusan kebijakan yang sering terjadi pada masa itu lebih berdasar pada mufakat musyawarah atau atas intruksi otoritas pemimpin. Kondisi ini berlanjut hingga kepada tabi’in, maka muncullah berbagai macam madzhab, paham fiqhiyah yang terkenal di antaranya madzhab Hanafy, Maliky, Syafi’I, Hanbaly dan sebagainya. Kemudian pada masa khalifah Umar bin Abdul ‘Azis timbul kesadaran akan pelestarian Hadis, lalu dilakukan pencatatan yang selanjutnya disempurnakan dengan elaborasi ilmiyah terkait kuantitas dan kualitas Hadis, ini terjadi saat dan memunculkan Imam-Imam Hadis seperti, Khuzaimah, Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Bukhari, Muslim dll. Dan tidak bisa dipungkiri juga pada era mutaakhir ini, kemunculan Wahabi, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dll adalah bagian dari faktor alamiyah yang memang harus terjadi dan merupakan bagian dari kebesaran rahmat islam.
Islam sebagai rahmat tidak hanya milik golongan NU, Muhammadiyah, Wahabi, HTI dan sebagainya. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Jadi tidak satupun kelompok yang dibenarkan mengklaim paling berhak atas islam serta merasa paling benar hasil interpretasinya terhadap al-Qur’an dan Hadis. Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis memang mutlak, namun kebenaran pembacaan manusia terhadapnya adalah kebenaran universal, artinya kebenaran yang memberi kesempatan bagi “siapapun.”
Maka dari itu, kita tidak pantas berpecah belah. Perpecahan yang hanya dilatarbelakangi perbedaan pendapat tentang literasi islam (al-Qur’an dan Hadis) sangatlah tidak etis. Yang paling etis adalah saling menghargai dan menghormati, karena itulah rahmatNya. Saling menghargai berarti menjalankan emosionalitas yang diyakininya tanpa memprofokasi dan mengkambing hitamkan yang lain. Ketika kita berfikir tentang kemurnian Islam (“ingin memurinkan Islam”) tidak lantas menganggap dan mengeksistensikan kelompok yang lain tidak murni. Ketika kita merasa telah berdakwah dengan “hikmah,” kemudian dengan serta merta menstigmasisasi kelompok lain tidak “hikmah.” Ketika kita merasa bahwa golongan kita “paling” Islam tidak berarti golongan yang lain adalah kafir. Ketika kita menganggap unifikasi kita adalah dedikasi “amar ma’ruf nahi munkar” jangan justru menuduh kelompok yang lain telah berbuat munkar dan tidak ma’ruf. Karena orang resek dan usil saja tidak demikian. hehe
Sedangkan, saling menghormati artinya kita menyadari bahwa perbedaan persepsi, interpretasi dan implementasi akan sesuatu apalagi Islam (al-Qur’an dan Hadis) adalah niscaya. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa kita mesti saling menghormati:
Pertama: faktor perbedaan minhajul fikr, sebagian menganggap “Pada dasarnya segala sesuatu itu haram kecuali ada dalil yang membolehkannya.” Sebagian lagi menganggap bahwa “Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh terkecuali ada dalil yang mengharamkannya.” (penulis sudah pernah menjelaskan hal ini pada tulisan yang lain).
Kedua: tentang ‘Urf dan kesadaran Purifikasi. ‘Urf artinya adalah kebiasaan, tradisi dan budaya. istilah ini dipopulerkan oleh Imam Hanafi. Menurut informasi sejarah, yang melestarikan dan mengadopsi sistem “kebiasaan” adalah Imam-imam besar Madzhab kecuali Imam Hanbaly. Hanya saja Imam Syafi’I mengistilahkan berbeda yakni dengan nama al-‘Adah, namun secara pengertian al-‘Adah sama dengan ‘Urf. Makanya, ada kaidah usul fiqh dalam madzhab Syafi’I yang dikenal “Al-‘Adaatu al-Muhakkamah.” Menurut Ibnu Rusyd, Imam Hanafi menghukumi segala sesuatu yang keluar dari badan dapat membatalkan wudlu termasuk keringat, karena hal ini menjadi kebiasaan para sahabat yang menganggap keringat juga membatalkan wudhu’. Sejarah juga mencatat, bahwa sebelum Arab Saudi secara politis dikuasai oleh madzhab Wahaby (1718), praktek keagamaan masyarakat Mekkah dan sekitarnya waktu itu masih cendrung dan mempertahankan ritual-ritual atau hal yang bersifat tradisional yang unsure-unsurnya telah dirubah dengan unsure islami dan tidak bertentangan al-Qur’an dan Hadis. Maka dari itu, dapat dimafhum ketika Islam masuk ke Indonesia juga mengadopsi cara-cara yang telah berlangsung di Mekkah pada saat itu, yakni islam tersebar di Indonesia harmonis dengan kebudayan dan tradisi setempat dengan merubah unsure-unsurnya tentunya. Tidak berarti Islam yang masuk ke Indonesia tidak murni, hanya karena memang perbedaan minhajul fikr. Sebab kita tahu bahwa para wali songo (dimulai skitar abad 15) sebagai penyebar islam di Indonesia mereka belajarnya juga di Mekkah waktu itu dan para wali juga tidak lebih bodoh dari kita, untuk sekedar membedakan yang “murni” dengan yang tidak.
Purifikasi arti sederhananya adalah “pemurnian.” Gerakan ini muncul sebagai akibat atas berkuasanya madzhab Wahaby di Mekkah. Madzhab Wahaby merupakan wujud nyata dari kelanjutan pemikitan dan pemahaman Imam Hambaly atau Hambaliyah. Dalam beberapa kali kesempatan gerakan ini berusaha membongkar makam Nabi dan memindahkannya ketempat yang dirahasiakan. Gerakan ini juga yang melahirkan gerakan politis arabisme, sebuah gerakan yang pada dasarnya berupaya agar seluruh umat Islam dunia berafiliasi pada cara beragama, kekuasaan dan otoritas Arab Saudi. Mekanisme penyebarannya, arabisme mengetengahkan idealisme spektrum hitam-putih, jadi Islam yang murni itu adalah madzhab Wahaby dan yang lain tidak murni. Madzhab yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis adalah Wahaby sedangkan Madzhab yang lain yang tidak sejalan adalah tidak sesuai dan sebagainya. Namun, mayoritas umat muslim dunia tidak seluruhnya sepaham dengan stigma ini, dipandangnya spectrum ini terlalu provokatif dan mengadu-domba. Ya,,,, pro-kontra itu soal biasa. hehe
Ketiga: perbedaan standarisasi akan kuantitas dan kualitas (Shahih tidaknya) Hadis. Konsekuensi logis dari terma ini, adalah banyaknya peneliti Hadis, baik yang bersifat naqd al-Riwayah dan naqd al-Matan. Masing-masing memiliki standar metodologis yang berbeda-beda dalam menentukan ke shahihan dan ke dha’ifan Hadis. Karena memang tidak adanya dalil naqli akan keabsahan standarisasi yang ada, yang harus diikuti. Syah Waliyullah mengatakan, Imam Malik bin Anas memiliki 10700 catatan Hadis, namun beliau memilih Hadis-hadis yang dianggap paling kuat dan membuang Hadis-hadis yang pandangnya lemah sehingga tercatat 700 Hadis yang masuk catatan beliau dalam kitabnya, al-Muwatta’. Namun, peneliti setelahnya banyak yang menilai di dalam al-Muwatta’ terdapat Hadis yang lemah atau dha’if. Bahkan Muridnya sendiri Imam Abu Hanifah tidak sepenuhnya setuju atas keseluruhan isi kitab gurunya tersebut.
Para Imam yang standar bakunya hanya Imam Bukhari dan Imam Muslim, mereka akan mudah mendha’ifkan bahkan memaudhu’kan sanad-sanad Imam Tirmidzi, Nasa’I, Ahmad, Tabrani dll. Seperti Syeikh Nasaruddin al-Bani dalam kitabnya, al-Silsilah al-Dha’ifah. Namun bagi Para Imam yang standarisasinya adalah kutub al-sittah bahkan yang kutub al-tis’ah, maka bagi mereka apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Nasa’I, Ahmad, Tabrani, Ibnu majah, Abu Daud, Bukhari-Muslim dll sanadnya adalah diterima. Kitab Shahih Bukhari-Muslim aja yang dianggap paling sahih, disinyalir terdapat Hadis dha’if (salah satu contoh, hadis yang menjelaskan paling utamanya perbuatan adalah shalat di awal waktu), Hadis gharib (hadis tentang pemindahan kiblat) dan sebagainya. Bahkan dalam kitab Shahihnya Ibnu Khuzaimah malah paling ditemukan Hadis-hadis “dha’if.”
Maka dari itu, banyak dari para ahli Hadis sendiri semisal Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang menerima Hadis yang didha’ifkan oleh para Ulama Hadis, dengan catatan hal tersebut tidak berkaitan dengan Ibadah Mahdhah, Tauhid dan tidak dipandang sebagai Hadis, hanya boleh dijalankan saja. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian oleh para Ulama Hadis sangatlah subyektif, dikawatirkan yang disangka Hadis dha’if ternyata adalah memang benar dari Nabi, menjadi dha’if hanya karena subyektifitas manusia yang dasar sifatnya adalah salah dan lupa.
Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan, karena manusia terlahir dengan watak, ruang-lingkup, pendidikan, tingkat intelektual, dan pengalaman yang berbeda-beda pula. Adapun yang sangat penting contoh teladan akan perihal yang ditampakkan oleh para Imam Madzhab, meski mereka berbeda pendapat, namun tidak saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain. Terakhir, kebenaran yang sesungguhnya adalah milik Allah. Wallahu A’lam bi al-Shawaab
Islam itu bukan Nusantara, bukan Arab Saudi, Madinah, Palestina dan sebagainya. Islam itu untuk semuanya. Soal perbedaan di dalamnya tidak kemudian mendikotomi negara-negara bahwa mereka ada yang lebih pantas atasnya dari pada yang lainnya. Adanya perbedaan hanya sebagai petunjuk jika kebersamaan dan kedamaian itu harus ada. Pengalaman sejarah mengisahkan, Dinasti Muawiyah tidak setuju seratus persen dengan cara keberagamaan Sahabat Ali bin Abi Thalib. Pengikut Sahabat Ali (Syi’ah) tidak setuju seratus persen pada keberislaman Ahlu Sunnah. Khawarij sangat menolak atas kebijakan Sahabat Ali yang dianggap keluar dari Islam.
Perkembangan Islam sejak lahir telah ditandai dengan adopsi paradigma paham yang tidak persis sama dalam setiap periode, oleh setiap penguasa saat itu. Pada periode sahabat, soal Hadis mereka memang sangat berhati-hati dan selektif sekali dalam menerimanya sebagai dasar hukum, namun keputusan kebijakan yang sering terjadi pada masa itu lebih berdasar pada mufakat musyawarah atau atas intruksi otoritas pemimpin. Kondisi ini berlanjut hingga kepada tabi’in, maka muncullah berbagai macam madzhab, paham fiqhiyah yang terkenal di antaranya madzhab Hanafy, Maliky, Syafi’I, Hanbaly dan sebagainya. Kemudian pada masa khalifah Umar bin Abdul ‘Azis timbul kesadaran akan pelestarian Hadis, lalu dilakukan pencatatan yang selanjutnya disempurnakan dengan elaborasi ilmiyah terkait kuantitas dan kualitas Hadis, ini terjadi saat dan memunculkan Imam-Imam Hadis seperti, Khuzaimah, Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Bukhari, Muslim dll. Dan tidak bisa dipungkiri juga pada era mutaakhir ini, kemunculan Wahabi, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dll adalah bagian dari faktor alamiyah yang memang harus terjadi dan merupakan bagian dari kebesaran rahmat islam.
Islam sebagai rahmat tidak hanya milik golongan NU, Muhammadiyah, Wahabi, HTI dan sebagainya. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Jadi tidak satupun kelompok yang dibenarkan mengklaim paling berhak atas islam serta merasa paling benar hasil interpretasinya terhadap al-Qur’an dan Hadis. Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis memang mutlak, namun kebenaran pembacaan manusia terhadapnya adalah kebenaran universal, artinya kebenaran yang memberi kesempatan bagi “siapapun.”
Maka dari itu, kita tidak pantas berpecah belah. Perpecahan yang hanya dilatarbelakangi perbedaan pendapat tentang literasi islam (al-Qur’an dan Hadis) sangatlah tidak etis. Yang paling etis adalah saling menghargai dan menghormati, karena itulah rahmatNya. Saling menghargai berarti menjalankan emosionalitas yang diyakininya tanpa memprofokasi dan mengkambing hitamkan yang lain. Ketika kita berfikir tentang kemurnian Islam (“ingin memurinkan Islam”) tidak lantas menganggap dan mengeksistensikan kelompok yang lain tidak murni. Ketika kita merasa telah berdakwah dengan “hikmah,” kemudian dengan serta merta menstigmasisasi kelompok lain tidak “hikmah.” Ketika kita merasa bahwa golongan kita “paling” Islam tidak berarti golongan yang lain adalah kafir. Ketika kita menganggap unifikasi kita adalah dedikasi “amar ma’ruf nahi munkar” jangan justru menuduh kelompok yang lain telah berbuat munkar dan tidak ma’ruf. Karena orang resek dan usil saja tidak demikian. hehe
Sedangkan, saling menghormati artinya kita menyadari bahwa perbedaan persepsi, interpretasi dan implementasi akan sesuatu apalagi Islam (al-Qur’an dan Hadis) adalah niscaya. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa kita mesti saling menghormati:
Pertama: faktor perbedaan minhajul fikr, sebagian menganggap “Pada dasarnya segala sesuatu itu haram kecuali ada dalil yang membolehkannya.” Sebagian lagi menganggap bahwa “Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh terkecuali ada dalil yang mengharamkannya.” (penulis sudah pernah menjelaskan hal ini pada tulisan yang lain).
Kedua: tentang ‘Urf dan kesadaran Purifikasi. ‘Urf artinya adalah kebiasaan, tradisi dan budaya. istilah ini dipopulerkan oleh Imam Hanafi. Menurut informasi sejarah, yang melestarikan dan mengadopsi sistem “kebiasaan” adalah Imam-imam besar Madzhab kecuali Imam Hanbaly. Hanya saja Imam Syafi’I mengistilahkan berbeda yakni dengan nama al-‘Adah, namun secara pengertian al-‘Adah sama dengan ‘Urf. Makanya, ada kaidah usul fiqh dalam madzhab Syafi’I yang dikenal “Al-‘Adaatu al-Muhakkamah.” Menurut Ibnu Rusyd, Imam Hanafi menghukumi segala sesuatu yang keluar dari badan dapat membatalkan wudlu termasuk keringat, karena hal ini menjadi kebiasaan para sahabat yang menganggap keringat juga membatalkan wudhu’. Sejarah juga mencatat, bahwa sebelum Arab Saudi secara politis dikuasai oleh madzhab Wahaby (1718), praktek keagamaan masyarakat Mekkah dan sekitarnya waktu itu masih cendrung dan mempertahankan ritual-ritual atau hal yang bersifat tradisional yang unsure-unsurnya telah dirubah dengan unsure islami dan tidak bertentangan al-Qur’an dan Hadis. Maka dari itu, dapat dimafhum ketika Islam masuk ke Indonesia juga mengadopsi cara-cara yang telah berlangsung di Mekkah pada saat itu, yakni islam tersebar di Indonesia harmonis dengan kebudayan dan tradisi setempat dengan merubah unsure-unsurnya tentunya. Tidak berarti Islam yang masuk ke Indonesia tidak murni, hanya karena memang perbedaan minhajul fikr. Sebab kita tahu bahwa para wali songo (dimulai skitar abad 15) sebagai penyebar islam di Indonesia mereka belajarnya juga di Mekkah waktu itu dan para wali juga tidak lebih bodoh dari kita, untuk sekedar membedakan yang “murni” dengan yang tidak.
Purifikasi arti sederhananya adalah “pemurnian.” Gerakan ini muncul sebagai akibat atas berkuasanya madzhab Wahaby di Mekkah. Madzhab Wahaby merupakan wujud nyata dari kelanjutan pemikitan dan pemahaman Imam Hambaly atau Hambaliyah. Dalam beberapa kali kesempatan gerakan ini berusaha membongkar makam Nabi dan memindahkannya ketempat yang dirahasiakan. Gerakan ini juga yang melahirkan gerakan politis arabisme, sebuah gerakan yang pada dasarnya berupaya agar seluruh umat Islam dunia berafiliasi pada cara beragama, kekuasaan dan otoritas Arab Saudi. Mekanisme penyebarannya, arabisme mengetengahkan idealisme spektrum hitam-putih, jadi Islam yang murni itu adalah madzhab Wahaby dan yang lain tidak murni. Madzhab yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis adalah Wahaby sedangkan Madzhab yang lain yang tidak sejalan adalah tidak sesuai dan sebagainya. Namun, mayoritas umat muslim dunia tidak seluruhnya sepaham dengan stigma ini, dipandangnya spectrum ini terlalu provokatif dan mengadu-domba. Ya,,,, pro-kontra itu soal biasa. hehe
Ketiga: perbedaan standarisasi akan kuantitas dan kualitas (Shahih tidaknya) Hadis. Konsekuensi logis dari terma ini, adalah banyaknya peneliti Hadis, baik yang bersifat naqd al-Riwayah dan naqd al-Matan. Masing-masing memiliki standar metodologis yang berbeda-beda dalam menentukan ke shahihan dan ke dha’ifan Hadis. Karena memang tidak adanya dalil naqli akan keabsahan standarisasi yang ada, yang harus diikuti. Syah Waliyullah mengatakan, Imam Malik bin Anas memiliki 10700 catatan Hadis, namun beliau memilih Hadis-hadis yang dianggap paling kuat dan membuang Hadis-hadis yang pandangnya lemah sehingga tercatat 700 Hadis yang masuk catatan beliau dalam kitabnya, al-Muwatta’. Namun, peneliti setelahnya banyak yang menilai di dalam al-Muwatta’ terdapat Hadis yang lemah atau dha’if. Bahkan Muridnya sendiri Imam Abu Hanifah tidak sepenuhnya setuju atas keseluruhan isi kitab gurunya tersebut.
Para Imam yang standar bakunya hanya Imam Bukhari dan Imam Muslim, mereka akan mudah mendha’ifkan bahkan memaudhu’kan sanad-sanad Imam Tirmidzi, Nasa’I, Ahmad, Tabrani dll. Seperti Syeikh Nasaruddin al-Bani dalam kitabnya, al-Silsilah al-Dha’ifah. Namun bagi Para Imam yang standarisasinya adalah kutub al-sittah bahkan yang kutub al-tis’ah, maka bagi mereka apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Nasa’I, Ahmad, Tabrani, Ibnu majah, Abu Daud, Bukhari-Muslim dll sanadnya adalah diterima. Kitab Shahih Bukhari-Muslim aja yang dianggap paling sahih, disinyalir terdapat Hadis dha’if (salah satu contoh, hadis yang menjelaskan paling utamanya perbuatan adalah shalat di awal waktu), Hadis gharib (hadis tentang pemindahan kiblat) dan sebagainya. Bahkan dalam kitab Shahihnya Ibnu Khuzaimah malah paling ditemukan Hadis-hadis “dha’if.”
Maka dari itu, banyak dari para ahli Hadis sendiri semisal Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang menerima Hadis yang didha’ifkan oleh para Ulama Hadis, dengan catatan hal tersebut tidak berkaitan dengan Ibadah Mahdhah, Tauhid dan tidak dipandang sebagai Hadis, hanya boleh dijalankan saja. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian oleh para Ulama Hadis sangatlah subyektif, dikawatirkan yang disangka Hadis dha’if ternyata adalah memang benar dari Nabi, menjadi dha’if hanya karena subyektifitas manusia yang dasar sifatnya adalah salah dan lupa.
Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan, karena manusia terlahir dengan watak, ruang-lingkup, pendidikan, tingkat intelektual, dan pengalaman yang berbeda-beda pula. Adapun yang sangat penting contoh teladan akan perihal yang ditampakkan oleh para Imam Madzhab, meski mereka berbeda pendapat, namun tidak saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain. Terakhir, kebenaran yang sesungguhnya adalah milik Allah. Wallahu A’lam bi al-Shawaab
0 comments:
Posting Komentar