Siapa yang tidak mengenal perbedaan
pendapat (di kalangan ulama), berarti hidungnya belum mencium bau fiqih”,
demikian pernyataan Qatadah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Khathib
al-Baghdadi di kitabnya.[1] Pernyataan ini relevan untuk
menunjukkan luasnya pembahasan fiqih di setiap babnya. Hampir setiap bab fiqih
melahirkan beberapa pembahasan yang diperselisihkan di kalangan ulama. Dan
pembahasan tentang kenajisan kotoran dan air kencing hewan pun tak luput dari
perbedaan pendapat ini.
Dari kajian singkat dan terbatas yang
saya lakukan, saya temukan tiga pendapat terkait kenajisan kotoran dan air
kencing hewan ini, yaitu: (1) seluruhnya najis, baik hewan tersebut boleh
dimakan dagingnya maupun tidak boleh dimakan, (2) kotoran dan air kencing hewan
yang boleh dimakan dagingnya hukumnya suci, sedangkan yang tidak boleh dimakan
hukumnya najis, (3) seluruhnya suci.[2] Dari pendapat ketiga (yang
menyatakan seluruhnya suci), ada yang mengecualikan kotoran dan air kencing
anjing dan babi.[3]
Berikut argumentasi mereka masing-masing:[4]
1. Seluruh Kotoran dan Air Kencing
Hewan Hukumnya Najis
Ini merupakan pendapat Hanafiyah dan
Syafi’iyah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibn Hazm dari kalangan
Zhahiriyah.
Kalangan ini menggunakan kemutlakan
dalil-dalil berikut ini:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي
المسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ
ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ
Artinya: “Seorang Arab dusun berdiri
lalu dia kencing di masjid. Orang-orang berusaha menahannya, maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada mereka, ‘Biarkan dia, dan siramlah
bekas air kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, karena
sesungguhnya kalian diutus untuk memberikan kemudahan, dan tidak diutus untuk
membuat kesulitan’.”[5]
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي
كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ وَأَمَّا
الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya mereka
berdua sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah
satunya disiksa karena tidak menjaga diri dari air kencing, dan satunya lagi
karena suka menyebarkan perkataan bohong/fitnah’.”[6]
Dua hadits di atas dan hadits-hadits
lain yang semisal yang menunjukkan najisnya air kencing mereka anggap tidak
hanya terbatas pada air kencing manusia, tapi mutlak untuk manusia maupun untuk
hewan.
Ada hadits lain yang semakin menguatkan
pendapat pertama ini, yaitu:
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ
حَجَرَيْنِ وَالتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً
فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا
رِكْسٌ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi tempat buang air besar, lalu beliau memerintahkanku
(‘Abdullah ibn Mas’ud) membawakan tiga buah batu untuk beliau. Aku menemukan
dua buah batu, dan aku mencoba mencari batu yang ketiga namun tidak
menemukannya, sehingga aku mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian
aku membawa semua itu ke hadapan Nabi, dan beliau mengambil dua buah batu itu
dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut, kemudian beliau berkata,
‘ini adalah riksun’.”[7]
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibn
Khuzaimah dengan redaksi:
أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَبَرَّزَ فَقَالَ ائْتِنِي بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
فَوَجَدْتُ لَهُ حَجَرَيْنِ وَرَوْثَةَ حِمَارٍ فَأَمْسَكَ الْحَجَرَيْنِ وَطَرَحَ
الرَّوْثَةَ وَقَالَ هِيَ رِجْسٌ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hendak buang air besar, lalu beliau bersabda, ‘Berikanlah saya tiga buah
batu’, dan aku (‘Abdullah ibn Mas’ud) hanya mendapatkan dua buah batu dan
kotoran keledai yang sudah kering, kemudian Nabi menerima dua buah batu itu dan
melemparkan kotoran kering tersebut, seraya berkata, ‘dia adalah rijsun’.”[8]
Kata ‘riksun’ dan ‘rijsun’
menurut pendapat pertama ini bermakna najis, dan ini berlaku umum untuk seluruh
hewan, baik yang dagingnya tidak boleh dimakan maupun yang boleh dimakan.
Dalam Kifayah al-Akhyar,
Taqiyuddin al-Hushni asy-Syafi’i menyatakan bahwa telah terdapat ijma’ tentang
najisnya kotoran dan air kencing hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, dan
kotoran dan air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya diqiyaskan pada
hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya tersebut karena keadaannya yang
sama-sama kotor dan menjijikkan.[9]
2. Kotoran dan Air Kencing Hewan
Yang Boleh Dimakan Dagingnya Hukumnya Suci, Sedangkan Yang Tidak Boleh Dimakan
Hukumnya Najis
Ini merupakan pendapat Malikiyah,
Hanabilah, Muhammad ibn Hasan dan Zufar dari kalangan Hanafiyah serta Ibn
Khuzaimah, Ibn al-Mundzir, Ibn Hibban, al-Ishthakhri dan ar-Ruyani dari
kalangan Syafi’iyah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh an-Nakha’i, al-Auza’i,
dan az-Zuhri.
Kelompok ini berargumentasi dengan
hadits berikut ini:
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ
عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا المدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
Artinya: “Sejumlah orang dari ‘Ukl atau
‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah
hingga mereka sakit. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
mereka agar menyusul sekawanan unta yang menghasilkan air susu, dan
memerintahkan mereka untuk meminum air kencing dan susunya.”[10]
Hadits ini menunjukkan sucinya air
kencing unta, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
orang-orang ‘Urainah untuk meminumnya saat mereka sakit. Hadits ini juga
menjadi dalil –bagi yang berpegang pada pendapat kedua ini– atas sucinya
seluruh air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya dengan mengqiyaskannya
pada unta yang memang termasuk hewan yang boleh dimakan dagingnya.
Ibn Hazm yang mendukung pendapat
pertama membantah penggunaan hadits ini sebagai dalil sucinya air kencing hewan
yang boleh dimakan dagingnya. Menurut beliau, hadits ini berbicara tentang
pengobatan orang sakit. Dan pengobatan terhadap sakit merupakan keadaan
darurat, dan keadaan darurat membolehkan seseorang makan dan minum sesuatu yang
haram yang mereka perlukan. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْه
Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kalian apa saja yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya.”[11] ()
Namun pernyataan Ibn Hazm dan
pendukungnya ini dibantah oleh Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah. Dalam kitab al-Jaami’
li Ahkaam ash-Shalaah, beliau menyatakan bahwa kondisi idhthirar itu
berbeda dengan kondisi sakit. Kondisi idhthirar adalah kondisi dimana
seseorang sudah merasa dekat dengan kematian, misalnya seseorang yang sangat
kehausan dan hampir mati karenanya sedangkan di dekatnya tidak ada minuman
kecuali khamr, maka ia dibolehkan untuk meminum khamr tersebut. Sedangkan
kondisi sakit tidak sama dengan idhthirar. Pada kondisi sakit masih
berlaku hukum umum, yaitu haram berobat dengan benda najis atau benda haram.
Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah adalah pendukung pendapat ketiga, yang menyatakan
semua kotoran dan air kencing hewan hukumnya suci, namun beliau mengecualikan
darinya kotoran dan air kencing anjing dan babi.
Kelompok kedua ini juga menguatkan
pendapatnya dengan hadits berikut ini.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يُبْنَى المسْجِدُ فِي مَرَابِضِ الغَنَم
Artinya: “Sebelum masjid dibangun,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali shalat di kandang kambing.”[12] (al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H [Maktabah Syamilah]),
hlm. 56, hadits no. 234. Diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, dan yang lainnya
dengan redaksi masing-masing)
Menurut kelompok kedua ini, hadits ini
juga menjadi dalil atas sucinya kotoran dan air kencing kambing, karena kandang
kambing tak mungkin bebas dari kotoran dan air kencing hewan tersebut. Seluruh
kotoran dan air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya diqiyaskan pada
kotoran dan air kencing kambing.
Terkait dengan hadits ini, ada hadits
lain yang menjadi penyanggah pendapat kelompok kedua ini, yaitu:
صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا
تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ الشَّيَاطِينِ
Artinya: “Shalatlah kalian di
kandang kambing, dan janganlah kalian shalat di kandang unta, karena unta itu
diciptakan dari setan.”[13] (HR. Ibn Majah, Sunan Ibn
Majah, Juz 1 (t.tp: Daar Ihyaa al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t [Maktabah
Syamilah]), hlm. 253, hadits no. 769. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Hibban.)
Ibn Hazm menyatakan, jika hadits
tentang shalat di kandang kambing menunjukkan sucinya kotoran dan air kencing
kambing, maka larangan shalat di kandang unta menunjukkan najisnya kotoran dan
air kencing unta. Dan tentu kesimpulan ini membatalkan kesimpulan pendapat
kedua. Dan jika larangan shalat di kandang unta adalah karena ia diciptakan
dari setan, maka bisa juga dikatakan bolehnya shalat di kandang kambing adalah
karena ia merupakan tunggangan surga, sebagaimana dinyatakan oleh sebuah hadits
shahih. Dan jika alasannya adalah itu, tentu tidak tepat menjadikan hadits ini
sebagai penentu suci atau najisnya kotoran dan air kencing hewan yang boleh
dimakan dagingnya.
3. Seluruh Kotoran dan Air Kencing
Hewan Hukumnya Suci
Menurut Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah,
pendapat ini dikemukakan oleh asy-Sya’bi dan Dawud azh-Zhahiri, serta cenderung
dipegang oleh al-Bukhari. Syaikh Abu Iyas sendiri pun memegang pendapat ini,
namun beliau mengecualikan kotoran dan air kencing anjing dan babi. Beliau
berpendapat anjing dan babi itu seluruh bagian tubuhnya najis, sehingga kotoran
dan air kencingnya tentu najis juga.
Pendapat kelompok ketiga ini senada
dengan kelompok kedua dari sisi menyatakan adanya kotoran dan air kencing hewan
yang hukumnya suci, namun kelompok kedua mengkhususkannya pada hewan yang boleh
dimakan dagingnya saja, sedangkan kelompok ketiga menyatakannya untuk seluruh
hewan.
Kelompok ini menyatakan dalil tentang
air kencing Arab badui dan orang yang disiksa di kuburnya, khusus hanya bagi
air kencing manusia saja. Mereka juga menyatakan bahwa pada dasarnya semua
benda itu berstatus suci, sampai ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Hal
ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
Artinya: “Dan Dia telah menundukkan
untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, sebagai
rahmat dari-Nya.”[14] (al-Jasiyah: 13)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah
menundukkan apa yang ada di bumi dan di langit seluruhnya untuk manusia,
artinya kita boleh memanfaatkan dan menggunakannya. Karena itu, status asal
suatu benda adalah suci, kecuali ada dalil yang menajiskannya.
Terkait kotoran dan air kencing hewan,
menurut kelompok ini tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya, sehingga ia
kembali ke hukum asal, yaitu suci.
Kemudian hadits-hadits tentang rautsah
(kotoran hewan yang sudah kering), yang menjadi dalil akan najisnya seluruh
kotoran dan air kencing hewan oleh kelompok pertama, dan najisnya kotoran dan
air kencing hewan yang tidak dimakan dagingnya oleh kelompok kedua, yang pada
hadits-hadits tersebut Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai riksun
dan rijsun, kelompok ketiga ini tidak memaknai kata riksun
dan rijsun tersebut sebagai najis. Mereka hanya memahami bahwa rautsah
itu tidak baik digunakan untuk beristinja, namun ia bukan najis.
*****
Tulisan ini sama sekali tidak saya
peruntukkan untuk menunjukkan pendapat mana yang paling kuat dari tiga pendapat
yang ada. Tulisan ini hanya ingin sedikit menunjukkan rumitnya istinbath
hukum dari dalil-dalil yang ada, dan bahwa tugas istinbath hukum ini
bukan perkara gampang dan bisa dilakukan oleh semua orang. Tugas ini adalah
tugas para ulama yang mendalam keilmuannya dan jernih pemikirannya. Wallahu
a’lam bish shawwab.
[1] Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Faqiih
wa al-Mutafaqqih, Juz 2 (as-Su’udiyyah: Daar Ibn al-Jauzi, 1421 H [Maktabah
Syamilah]), hlm. 40. Redaksi Arabnya: مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْإِخْتِلَافَ لَمْ
يَشُمَّ أَنْفُهُ الْفِقْهَ.
[2] Lihat: Ibn Hazm al-Andalusi, al-Muhalla,
Juz 1 (Beirut: Daar al-Fikr, t.t [Maktabah Syamilah]), hlm. 169-181; Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz 1 (Kairo: Daar
al-Hadits, 2004 [Maktabah Syamilah]), hlm. 87.
[3] Lihat: Mahmud ‘Abdul Lathif
‘Uwaidhah, al-Jaami’ li Ahkaam ash-Shalaah, Juz 1 (Amman: Daar
al-Wadhdhah, 2003 [Maktabah Syamilah]), hlm. 85-107.
[4] Argumentasi dari masing-masing
pendapat ini saya ambil dan ramu dari kitab al-Muhalla karya Ibn Hazm
al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid karya Ibn Rusyd
al-Hafid, Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar karya Taqiyuddin
al-Hushni, Nayl al-Authar karya asy-Syaukani, Fiqh as-Sunnah
karya Sayyid Sabiq, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah
az-Zuhaili, al-Jaami’ li Ahkaam ash-Shalaah karya Mahmud ‘Abdul Lathif
‘Uwaidhah, dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah terbitan Kementerian Wakaf dan
Urusan Keislaman Kuwait.
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H [Maktabah Syamilah]),
hlm. 54, hadits no. 220. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, an-Nasai dan al-Baihaqi.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H [Maktabah Syamilah]),
hlm. 54, hadits no. 218. Diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, an-Nasai, Ibn
Majah, Ibn Hibban dan al-Baihaqi dengan redaksi masing-masing.
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H [Maktabah Syamilah]),
hlm. 43, hadits no. 156. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai,
dan al-Baihaqi dengan sedikit perbedaan redaksi.
[8] Diriwayatkan oleh Ibn
Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, Juz 1 (Beirut: al-Maktab al-Islami,
1992 [Maktabah Syamilah]), hlm. 39, hadits no. 70.
[9] Taqiyuddin al-Hushni, Kifayah
al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Iktishar (Damaskus: Daar al-Khair,
1994[Maktabah Syamilah]), hlm. 65.
[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H [Maktabah
Syamilah]), hlm. 56, hadits no. 233. Diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, Abu
Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah dan yang lainnya dengan redaksi
masing-masing.
[11] QS. Al-An’aam [6]: 119.
[12] Diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Juz 1 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H [Maktabah
Syamilah]), hlm. 56, hadits no. 234. Diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, dan
yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
[13] Diriwayatkan oleh Ibn Majah, Sunan
Ibn Majah, Juz 1 (t.tp: Daar Ihyaa al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t [Maktabah
Syamilah]), hlm. 253, hadits no. 769. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Hibban.
[14] QS. Al-Jaatsiyah [45]: 13.
0 comments:
Posting Komentar