Zakat fitrah merupakan ibadah menafkahkan sebagian harta untuk tujuan menjadikan diri kembali kepada fitrah atau suci. Ia merupakan kegiatan memberi yang telah jelas tuntunannya, baik terkait waktunya[1], jumlahnya[2], dan subyek yang mesti memenuhinya, yaitu siapa pun yang lahir kedunia ini. Mulai dari yang baru lahir sampai yang sudah tua renta, kemuadian dia mampu.
Begitu pun zakat mal, kurban, aqiqah dan “semacamnya”, termasuk sebagian dari aktivitas shadaqah yang juga sudah jelas tuntunannya bahkan “mustahiqnya[3].” Allah berfirman:
Begitu pun zakat mal, kurban, aqiqah dan “semacamnya”, termasuk sebagian dari aktivitas shadaqah yang juga sudah jelas tuntunannya bahkan “mustahiqnya[3].” Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin. pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. al-Taubah: 60)
Redaksi ayat ini menyebut kata shadaqaat yang merupakan jama’ mu’annats salim dari lafadz shadaqah. Akan tetapi, yang dimaksud adalah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal dan “semacamnya.”
Oleh karena zakat telah jelas tuntunannya, maka umat Islam mesti hati-hati, mesti sesuai dengan syari’at serta mengetahui ilmunya. Penulis memiliki cerita, pada bulan puasa lalu, sekitar 2015. Saya adalah sebagai distributor beras, termasuk melayani delivery untuk zakat fitrah. Saat itu ada seorang ustadz salafi, namanya Ustadz Budi, beliau memesan beras dengan kualitas baik sebanyak 3 kg. padahal waktu itu yang disepakati berat zakat fitrah adalah 2.5 dan boleh diuangkan sebesar Rp. 25.000.
Saya jadi berfikir: “Inilah keutamaan orang yang memiliki ilmu.” Terkait 3 kg yang dilaksanakan oleh Ustadz Budi, karena memang terjadi perbedaan mengenai apa yang dimaksud dengan satu sha’ dalam hadis Nabi. Bahwa satu sha’ sama dengan tiga/3 mud. Sedangkan Ulama berbeda pendapat tentang takarannya. Ada yang mengatakan satu mud itu adalah dua belah tangan dijadikan satu dan menggunduk. Yang lain mengatakan satu mud adalah sebelah tangan penuh. Ada juga yang mengatakan adalah dua belah tangan dikumpulkan tapi tidak menggunduk atau datar. Makanya Imam Malik menentukan dengan berat 2.75 kg, Imam Syafi’I 2.70 kg, dan Imam Hanafi 3.00 kg.
Orang-orang yang berilmu pasti akan-akan berhati-hati terkait hal ini. paling tidak yang 3kg kalau pun tidak benar, selebihnya bisa diniatkan shadaqah biasa. Sebagian pendapat menyatakan bahwa lebih utama zakat fitrah yang kualitas berasnya sama dengan yang biasa dikonsumsi setiap hari oleh masing-masing keluarga. Hal ini mungkin berdasarkan pada kata thu’matun dalam hadits, dan membedakannya dengan lafadz tha’aam. Mungkin mengartikan thu’matun dengan sebuah makanan yang istimewa atau layak.
Kenapa ini saya sampaikan? Karena sepertinya ketika kita harus mengeluarkan harta kita, maka yang menjadi soal bukanlah banyak atau sedikitnya yang hendak kita keluarkan. Akan tetapi, kita selalu berfikir instan, hal yang lebih mudah dan tidak ribet. Sebab, kalau saya lihat, ketika orang kaya mengisi kotak infak yang diedarkan di masjid-masjid, mereka tidak perhitungan dan biasanya banyak. Terakhir saya pikir keutamaan itu tidak bisa kita dapat dengan sesuatu yang instan dan mudah. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
.[1]فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan diri orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan kotor serta untuk memberi makan kepada orangorang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Id, maka itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya sesudah shalat ‘Id, maka itu hanyalah sekedar sedekah.” [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah]
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِى تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
Dari Nafi’, ia berkata: “Sungguh’Abdullah bin ‘Umar mengutus agar memberikan zakat fitri atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri (HR. Baihaqi)
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ ، أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri (HR. Bukhari).
.[2]عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied. (HR Bukhari)
.[3]وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sementara Imam Syafi’I dan Madzhab Syafi’I memasukkan mustahiq zakat fitrah sama dengan delapan ashnaf sebagaimana termaktub dalam surat al-Taubah ayat 60.
0 comments:
Posting Komentar