Manusia dalam proses pencarian akan sebuah kebenaran boleh saja dan sangat wajar berbeda-beda, karena memang Allah menyediakan banyak jalan untuk menggapai itu. Namun, yang tidak boleh dan wajar tentu adanya klaim merasa paling benar bahkan menjustifikasi yang lain adalah salah. Perlu diketahui, manusia selalu bersifat temporal, akan tergantung pada tingkat pengetahuan dan kecerdasannya, sangat dipengaruhi oleh sistem disekelilingnya, lebih jauh lagi pada kepentingan serta seberapa besar mimpi yang akan menjadi tujuannya.
Sebagai ilustrasi pertama: Persepsi dan aktualisasi akan sesuatu, bagi orang-orang Madura dan orang-orang Yogyakarta tentu tidak mungkin sama. Selain karena pradigma pendidikan yang berbeda, kultur serta sistem social yang berbeda pula. Bagi orang-orang Madura yang rata-rata terbiasa sedari kecil telah dekat dengan rutinitas dan pendidikan keagamaan, di mana waktu menempuh pendidikan setara SD yaitu MI saja, telah diajarkan tidak hanya mengenai pendidikan agama tetapi juga ilmu alat untuk memahami dasar-dasar agama itu, contoh ilmu nahwu, shorrof, bahasa arab dan sebagainya. Sementara di MTs, diajarkan ilmu Mushthalah al-Hadits, pendalaman nahwu-shorrof, ilmu tafsir, tajdwid, pendalaman bahasa arab dll. Setelah di MA, lebih didalami lagi ilmu tafsir, ilmu ushul fiqh, ilmu hadits, bahasa arab, balaghah, alfiyah dll. Berbeda dengan mayoritas daerah Yogyakarta yang sejak kecil telah lebih ditekankan pada pengetahuan Umum; matematika, bahasa ingris, fisika dll serta ilmu-ilmu keagamaan yang terkesan hanya masuk kurikulum saja (mohon maaf tidak bermaksud mendiskreditkan satu sama lain, namun ini hanya secara umum yang diketahui penulis. Dan tidak berarti hal ini salah atau tidak benar).
Maka pengaruhnya pada ranah implementasi atas pengetahuan yang didapat dimasa sekolah. Di Jogja, mereka yang ternyata akhirnya menjadi aktifis keagamaan, maka mereka akan lebih lantang menyuarakan legalitas formal al-Qur’an dan Hadis. Bahkan sebagian mereka merasa hanya dengan terjemahan, interpretasi akan al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan sudah dirasa cukup dalam mencari dan mencapai kebenaran. Namun, tidak demikian dengan rata-rata orang-orang Madura, ketika menemukan dalil kontradiktif dalam al-Qur’an dan hadis, menjumpai kontroversi akan kualitas dan kuantitas hadis serta jika dalam pemahaman al-Qur’an dan hadis ternyata terjadi perbedaan dengan ijma’ Ulama, Sahabat, bahkan berbeda dengan ayat atau hadis yang lain, maka mereka cendrung akan bertanya kepada yang dianggap lebih ahli, kiai atau ustadz. Karena mereka sadar, bisa jadi perbedaan itu dikarenakan masih minimnya pengetahuan mereka. Tetapi apa-apa yang diterangkan oleh ahli tersebut tidak lantas dianggap yang paling benar. Mereka dapat menerima semua pendapat tapi bagi mereka tetap Allah lah yang paling tahu kebenaran sesungguhnya, sebagaimana yang sering mereka ucapkan ketika selesai membaca dan menyelesaikan sesuatu, yakni Wallahu a’lam bil al-Shawab.
Dari aspek sistem kultural, Masyarakat Madura dan Yogyakarta juga berbeda dalam menjalankan dan memandang kebiasaan atau tradisi tertentu. Jadi, kebiasaan yang berlaku di Madura tidak etis jika dijadikan tolak ukur dalam menilai sesuatu dalam perspektif kepentingan masyarakat Jogja. Kebiasaan masyarakat Madura menyalakan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan speaker pada spertiga malam, tentu hal tersebut kurang relevan untuk “masyarakat Jogja” bahkan bisa jadi cendrung salah. Karena mayoritas orang Jogja menganggap bahwa idealnya orang bangun tidur itu setelah masuk waktu subuh, sehingga bunyi-bunyian pada waktu sebelum itu malah akan dianggap mengganggu. Namun, sebaliknya bagi rata-rata orang Madura, yang menganggap idealnya terjaganya orang Islam dari tidur itu adalah sepertiga malam karena Nabi dan para sahabat memang bangun pada jam itu. Selain itu, kegiatan tersebut juga dianggap “dakwah” paling nyata walau hanya sekedar membangunkan umat untuk beribadah. Kemudian, soal terganggu atau tidak itu relative, bisa jadi waktu subuhpun bagi non-Muslim adzan dengan speaker akan dianggap mengganggu.
Kedua: Manusia akan sangat tergantung pada apa yang difikirkan saat itu. Ketika seseorang yang perhitungan pemikirannya saat itu hanya sekitar teks, maka tidak menutup kemungkinan otomatis dia akan berfikir teoritis-normatif. Dia mungkin akan menyalahkan orang-orang sufi yang adakalanya memilih menjauh dari kemegahan dan kemewahan duniawi (‘Uzlah), karena telah dianggap menyalahi teks-teks Hadis yang menganjurkan manusia untuk mencari rejeki, jangan tidur dipagi hari karena akan menjauhkan dari rejeki, selain itu juga Nabi bersabda agar manusia bersegera dipagi hari untuk mencari nafkah. Menurut keseluruhan tekstualitas Hadis bahwa mencari nafkah atau rejeki itu sebuah keharusan bahkan wajib.
Namun, sebaliknya bagi dia yang kedalaman berfikirnya menyentuh segi-segi spiritualitas-subtantif, maka sudut pandangnya pasti akan mengarah pada realitas kehidupan sehari-hari Nabi. Di mana, kenyataannya keseharian Nabi sangat sederhana, beliu tidur beralaskan pelapah kurma, berbantalkan batu, ada banyak riwayat bahwa untuk berbuka puasa saja beliau harus berbagi sedikit-demi sedikit. Hidup beliau hanya diperuntukkan beribadah kepada Allah, dalam sebuah riwayat Nabi keluar dari tempat shalatNya setelah matahari terbit. Kakinya bengkak karena banyaknya beribadah. Maka kenyataan inilah yang kemudian diteladani oleh para sahabat, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Umar bin Abdul ‘Aziz, para sufi dll.
Selain itu, bagi tekstualis mungkin jadi seluruh kegiatan keagamaan yang berbau-bau tradisi dan budaya, bakal dianggap menyimpang, bid’ah bahkan syirik. Karena selain dianggap mengada-ngada dalam sebuah ritual peribadatan, juga dalam beribadah harus ada tuntunannya. Sementar itu, melestarikan tradisi agama lain dianggap mengandung kesyirikan. Tapi sebaliknya bagi kontekstualis yang melihat segala sesuatunya tidak hanya terpaku pada teksnya tapi juga dari segi ideal moral kejadian atau teks. Baginya, mempertahankan sebuah tradisi dan budaya yang ada itu ada hadis dan tuntunannya, bahwa Nabi SAW. mencontohkan pernah beberapa kali mempertahankan tradisi non-muslim atau Jahiliyah, seperti ziarah kubur (merupakan tradisi jahiliyah) hanya saja unsure-unsurnya diganti dengan unsure Islam. Adapun soal bid’ah, masih terjadi ikhtilaf dan siapapun bisa mengatakan bid’ah termasuk tidak mengatakannya. Soal syirik, itu tergantung pada niat dan karena siapa dia mengerjakannya, jika untuk selain Allah maka itu syirik.
Ketiga: mikanisme tuntunan. Apa, sejak kapan, oleh siapa tuntunan dimunculkan? Yang jelas siapaun bisa mengatakan tuntunan termasuk tidak mengatakannya. Apakah tuntunan itu sebuah perbedaan atau dalil? Apakah ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib dituduh kafir oleh kaum khawarij karena dianggap membuat hukum selain hukum Allah yakni al-Qur’an, di mana beliau membuat kesepakatan damai (albitrase) dengan Mu’awiyah yang dianggap kafir, lantaskah tahkim yang dilakukan Sayyidina Ali tersebut berarti tidak sesuai tuntunan? Ketika para sahabat, seperti sayyidina Umar bin Khattab dalam banyak kebijakannya dan praktik keberagamaannya tidak sesuai dengan shahih Bukhari-Muslim dll, atau ketika pernah pada zaman sayyidina Ustman bin Affan, beliau meletakkan khatbah ied sebelum shalat, karena pertimbangan jamaah yang hanya suka melaksanakan atau menunggu shalat iednya saja lalu diantaranya banyak yang lebih memilih pulang dari pada mendengarkan khatbah. Lalu apakah perbuatan mereka menyalahi tuntunan?.
Kita coba ambil contoh kongkrit, semisal “Yasinan.” Setidaknya ada dua pendapat terkait kegiatan ini, ada yang mengatakan bid’ah, tapi ada juga yang mengatakan mubah (boleh). Bid’ah artinya haram dilakukan karena cendrung mengada-ngada dan tidak ada tuntunannya. Boleh karena tidak ada dalil qath’I yang secara langsung membid’ahkan atau mengharamkan, sebab bagi kelompok ini mengharamkan sesuatu yang boleh yang tidak jelas dalil haramnya (hadis: al-Haram bayyinun) adalah syirik sebagaimana kajian ayat tematik tafsir al-Qur’an (read, Zia’ulhaq). Bid’ah, artinya barangsiapa yang melaksankannya berarti dia telah meninggalkan sunah. Boleh, lalu sunah yang mana yang ditinggalkan dalam kegiatan “Yasinan”? itu mubah. bahkan bagi kelompok ini, dia telah melaksanakan Hadis riwayat Tirmidzi secara tersirat. Bahkan menurut sejarah, yang merasa paling sesuai al-Qur’an dan Hadis serta merasa paling murni adalah yang membid’ahkan. Padahal tidak dapat menunjukkan satu Hadis pun tentang kebid’ahannya, sehingga dengan alasan inilah tidak semua dapat mengikuti pendapat mereka. Adapun soal pahala, tentu hak prioritas Allah.
Maka dengan demikian, setelah apa yang kita telah bahas di atas, kebenaran yang dicari dan dituju oleh manusia adalah relatif. Di atas kebenaran masih ada kebenaran yang lebih tinggi. Kebenaran dalam perbedaan yang termaklumi dalam sebuah khazanah keilmuan masing-masing. Bisa jadi semua golongan adalah benar. Islam sejatinya menghargai dan mengakui perbedaan dalam mencari sebuah kebenaran. Namun, tidak mengakui klaim merasa paling benar. Sebab, kebenaran didunia ini tidak tunggal, jadi tidak etis jika kebenaran digiring pada satu persepsi apalagi pada golongan tertentu. Karena kebenaran tunggal dan sejati adalah milik Allah.
Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari ini, bahwa jangan-jangan Allah dengan keniscayaan perbedaan yang ada, hendak menunjukkan terhadap hambanya bahwa inilah gambaran kekayaan ilmu Allah yang sang luas itu, yang ketika kau ingin menulisnya maka lautan dan pepohonan di bumi tidak cukup dijadikan alat tulis dan tintanya. Wallahu a’lam bil Shawab
Sebagai ilustrasi pertama: Persepsi dan aktualisasi akan sesuatu, bagi orang-orang Madura dan orang-orang Yogyakarta tentu tidak mungkin sama. Selain karena pradigma pendidikan yang berbeda, kultur serta sistem social yang berbeda pula. Bagi orang-orang Madura yang rata-rata terbiasa sedari kecil telah dekat dengan rutinitas dan pendidikan keagamaan, di mana waktu menempuh pendidikan setara SD yaitu MI saja, telah diajarkan tidak hanya mengenai pendidikan agama tetapi juga ilmu alat untuk memahami dasar-dasar agama itu, contoh ilmu nahwu, shorrof, bahasa arab dan sebagainya. Sementara di MTs, diajarkan ilmu Mushthalah al-Hadits, pendalaman nahwu-shorrof, ilmu tafsir, tajdwid, pendalaman bahasa arab dll. Setelah di MA, lebih didalami lagi ilmu tafsir, ilmu ushul fiqh, ilmu hadits, bahasa arab, balaghah, alfiyah dll. Berbeda dengan mayoritas daerah Yogyakarta yang sejak kecil telah lebih ditekankan pada pengetahuan Umum; matematika, bahasa ingris, fisika dll serta ilmu-ilmu keagamaan yang terkesan hanya masuk kurikulum saja (mohon maaf tidak bermaksud mendiskreditkan satu sama lain, namun ini hanya secara umum yang diketahui penulis. Dan tidak berarti hal ini salah atau tidak benar).
Maka pengaruhnya pada ranah implementasi atas pengetahuan yang didapat dimasa sekolah. Di Jogja, mereka yang ternyata akhirnya menjadi aktifis keagamaan, maka mereka akan lebih lantang menyuarakan legalitas formal al-Qur’an dan Hadis. Bahkan sebagian mereka merasa hanya dengan terjemahan, interpretasi akan al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan sudah dirasa cukup dalam mencari dan mencapai kebenaran. Namun, tidak demikian dengan rata-rata orang-orang Madura, ketika menemukan dalil kontradiktif dalam al-Qur’an dan hadis, menjumpai kontroversi akan kualitas dan kuantitas hadis serta jika dalam pemahaman al-Qur’an dan hadis ternyata terjadi perbedaan dengan ijma’ Ulama, Sahabat, bahkan berbeda dengan ayat atau hadis yang lain, maka mereka cendrung akan bertanya kepada yang dianggap lebih ahli, kiai atau ustadz. Karena mereka sadar, bisa jadi perbedaan itu dikarenakan masih minimnya pengetahuan mereka. Tetapi apa-apa yang diterangkan oleh ahli tersebut tidak lantas dianggap yang paling benar. Mereka dapat menerima semua pendapat tapi bagi mereka tetap Allah lah yang paling tahu kebenaran sesungguhnya, sebagaimana yang sering mereka ucapkan ketika selesai membaca dan menyelesaikan sesuatu, yakni Wallahu a’lam bil al-Shawab.
Dari aspek sistem kultural, Masyarakat Madura dan Yogyakarta juga berbeda dalam menjalankan dan memandang kebiasaan atau tradisi tertentu. Jadi, kebiasaan yang berlaku di Madura tidak etis jika dijadikan tolak ukur dalam menilai sesuatu dalam perspektif kepentingan masyarakat Jogja. Kebiasaan masyarakat Madura menyalakan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan speaker pada spertiga malam, tentu hal tersebut kurang relevan untuk “masyarakat Jogja” bahkan bisa jadi cendrung salah. Karena mayoritas orang Jogja menganggap bahwa idealnya orang bangun tidur itu setelah masuk waktu subuh, sehingga bunyi-bunyian pada waktu sebelum itu malah akan dianggap mengganggu. Namun, sebaliknya bagi rata-rata orang Madura, yang menganggap idealnya terjaganya orang Islam dari tidur itu adalah sepertiga malam karena Nabi dan para sahabat memang bangun pada jam itu. Selain itu, kegiatan tersebut juga dianggap “dakwah” paling nyata walau hanya sekedar membangunkan umat untuk beribadah. Kemudian, soal terganggu atau tidak itu relative, bisa jadi waktu subuhpun bagi non-Muslim adzan dengan speaker akan dianggap mengganggu.
Kedua: Manusia akan sangat tergantung pada apa yang difikirkan saat itu. Ketika seseorang yang perhitungan pemikirannya saat itu hanya sekitar teks, maka tidak menutup kemungkinan otomatis dia akan berfikir teoritis-normatif. Dia mungkin akan menyalahkan orang-orang sufi yang adakalanya memilih menjauh dari kemegahan dan kemewahan duniawi (‘Uzlah), karena telah dianggap menyalahi teks-teks Hadis yang menganjurkan manusia untuk mencari rejeki, jangan tidur dipagi hari karena akan menjauhkan dari rejeki, selain itu juga Nabi bersabda agar manusia bersegera dipagi hari untuk mencari nafkah. Menurut keseluruhan tekstualitas Hadis bahwa mencari nafkah atau rejeki itu sebuah keharusan bahkan wajib.
Namun, sebaliknya bagi dia yang kedalaman berfikirnya menyentuh segi-segi spiritualitas-subtantif, maka sudut pandangnya pasti akan mengarah pada realitas kehidupan sehari-hari Nabi. Di mana, kenyataannya keseharian Nabi sangat sederhana, beliu tidur beralaskan pelapah kurma, berbantalkan batu, ada banyak riwayat bahwa untuk berbuka puasa saja beliau harus berbagi sedikit-demi sedikit. Hidup beliau hanya diperuntukkan beribadah kepada Allah, dalam sebuah riwayat Nabi keluar dari tempat shalatNya setelah matahari terbit. Kakinya bengkak karena banyaknya beribadah. Maka kenyataan inilah yang kemudian diteladani oleh para sahabat, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Umar bin Abdul ‘Aziz, para sufi dll.
Selain itu, bagi tekstualis mungkin jadi seluruh kegiatan keagamaan yang berbau-bau tradisi dan budaya, bakal dianggap menyimpang, bid’ah bahkan syirik. Karena selain dianggap mengada-ngada dalam sebuah ritual peribadatan, juga dalam beribadah harus ada tuntunannya. Sementar itu, melestarikan tradisi agama lain dianggap mengandung kesyirikan. Tapi sebaliknya bagi kontekstualis yang melihat segala sesuatunya tidak hanya terpaku pada teksnya tapi juga dari segi ideal moral kejadian atau teks. Baginya, mempertahankan sebuah tradisi dan budaya yang ada itu ada hadis dan tuntunannya, bahwa Nabi SAW. mencontohkan pernah beberapa kali mempertahankan tradisi non-muslim atau Jahiliyah, seperti ziarah kubur (merupakan tradisi jahiliyah) hanya saja unsure-unsurnya diganti dengan unsure Islam. Adapun soal bid’ah, masih terjadi ikhtilaf dan siapapun bisa mengatakan bid’ah termasuk tidak mengatakannya. Soal syirik, itu tergantung pada niat dan karena siapa dia mengerjakannya, jika untuk selain Allah maka itu syirik.
Ketiga: mikanisme tuntunan. Apa, sejak kapan, oleh siapa tuntunan dimunculkan? Yang jelas siapaun bisa mengatakan tuntunan termasuk tidak mengatakannya. Apakah tuntunan itu sebuah perbedaan atau dalil? Apakah ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib dituduh kafir oleh kaum khawarij karena dianggap membuat hukum selain hukum Allah yakni al-Qur’an, di mana beliau membuat kesepakatan damai (albitrase) dengan Mu’awiyah yang dianggap kafir, lantaskah tahkim yang dilakukan Sayyidina Ali tersebut berarti tidak sesuai tuntunan? Ketika para sahabat, seperti sayyidina Umar bin Khattab dalam banyak kebijakannya dan praktik keberagamaannya tidak sesuai dengan shahih Bukhari-Muslim dll, atau ketika pernah pada zaman sayyidina Ustman bin Affan, beliau meletakkan khatbah ied sebelum shalat, karena pertimbangan jamaah yang hanya suka melaksanakan atau menunggu shalat iednya saja lalu diantaranya banyak yang lebih memilih pulang dari pada mendengarkan khatbah. Lalu apakah perbuatan mereka menyalahi tuntunan?.
Kita coba ambil contoh kongkrit, semisal “Yasinan.” Setidaknya ada dua pendapat terkait kegiatan ini, ada yang mengatakan bid’ah, tapi ada juga yang mengatakan mubah (boleh). Bid’ah artinya haram dilakukan karena cendrung mengada-ngada dan tidak ada tuntunannya. Boleh karena tidak ada dalil qath’I yang secara langsung membid’ahkan atau mengharamkan, sebab bagi kelompok ini mengharamkan sesuatu yang boleh yang tidak jelas dalil haramnya (hadis: al-Haram bayyinun) adalah syirik sebagaimana kajian ayat tematik tafsir al-Qur’an (read, Zia’ulhaq). Bid’ah, artinya barangsiapa yang melaksankannya berarti dia telah meninggalkan sunah. Boleh, lalu sunah yang mana yang ditinggalkan dalam kegiatan “Yasinan”? itu mubah. bahkan bagi kelompok ini, dia telah melaksanakan Hadis riwayat Tirmidzi secara tersirat. Bahkan menurut sejarah, yang merasa paling sesuai al-Qur’an dan Hadis serta merasa paling murni adalah yang membid’ahkan. Padahal tidak dapat menunjukkan satu Hadis pun tentang kebid’ahannya, sehingga dengan alasan inilah tidak semua dapat mengikuti pendapat mereka. Adapun soal pahala, tentu hak prioritas Allah.
Maka dengan demikian, setelah apa yang kita telah bahas di atas, kebenaran yang dicari dan dituju oleh manusia adalah relatif. Di atas kebenaran masih ada kebenaran yang lebih tinggi. Kebenaran dalam perbedaan yang termaklumi dalam sebuah khazanah keilmuan masing-masing. Bisa jadi semua golongan adalah benar. Islam sejatinya menghargai dan mengakui perbedaan dalam mencari sebuah kebenaran. Namun, tidak mengakui klaim merasa paling benar. Sebab, kebenaran didunia ini tidak tunggal, jadi tidak etis jika kebenaran digiring pada satu persepsi apalagi pada golongan tertentu. Karena kebenaran tunggal dan sejati adalah milik Allah.
Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari ini, bahwa jangan-jangan Allah dengan keniscayaan perbedaan yang ada, hendak menunjukkan terhadap hambanya bahwa inilah gambaran kekayaan ilmu Allah yang sang luas itu, yang ketika kau ingin menulisnya maka lautan dan pepohonan di bumi tidak cukup dijadikan alat tulis dan tintanya. Wallahu a’lam bil Shawab
0 comments:
Posting Komentar