BID'AH, Apa sih itu? Wallahu a'lam, yang pasti tidak ada manusia manapun yang tahu pasti apa sebenarnya yang dimaksud oleh Nabi mengenai hal yang satu ini. Sebab, Nabi sendiri tidak pernah menjelaskan secara detail dan tegas dalam hadits-haditsnya, bahkan Nabi dizamannya tidak pernah membid'ah-bid'ahkan. Jika hal itu tidak boleh, maka beliau katakan tidak boleh. Jika hal itu haram, maka Nabi katakan haram.
Walau pun dalam beberapa haditsnya Nabi pernah menyinggungnya (bid'ah). Namun, sekali lagi beliau tidak menjelaskannya dengan rinci dan pasti. Maka menjadi wajar, ketika ada orang yang mengatakan ini bid'ah, yang itu bid'ah. Ibnu Umar berkata kalau shalat dhuha dimasjid dan "tsyawwab" adalah bid'ah (cek hadis). Umar bin Khattab mengatakan: shalat terawih dengan berjema'ah juga bid'ah (cek hadits). Abu Malik al-Asyja'i mengatakan: qunut itu bid'ah (cek hadits ;padahal qunut ada dalilnya: cek hadits). Umar bin Abdul Aziz berkata: seruling adalah bid'ah (cek hadits). Imam Syafi'i membagi bid'ah dalam dua kategori, bid'ah hasanah dan dlalalah (cek maqalah beliau di sini). Temanku pernah bilang: "mukaku ini bid'ah lho." Dipondok dulu teman-teman secara etimologi lebih memaknai bid'ah; sesuatu yang tidak ada pada masa Nabi, makanya lodspeaker, mobil, hp dan lain-lain itu bid'ah. Di jogja rata-rata memaknai bid'ah dengan perkara yang dibuat-buat dalam hal agama. Entahlah.... Sekali lagi wallahu a'lam bi al-shawaab.
Setidaknya secara etimologis, bid'ah selalu diidentifikasikan dengan dua kata mendasar dalam Hadits, yakni "bada'a" atau "ibtada'a" (cek hadits) dan "ahdatsa atau muhdatsah" (cek hadits). Walau-pun ada beberapa kata lagi yang juga diterjemahkan dengan bid'ah (hanata dan al-q), namun kita harus hati-hati dengan hadits terjemahan seperti ini, karena bisa jadi hal itu sangat terkait dengan kepentingan dan kredibilitas keilmuan si penerjemah.
Menurut Asy-Syathibi dalam kitabnya, al-I'tisham, bahwa asal kata bid'ah adalah diambil dari kata bada'a dan ibtada'a, yang bermakna 'menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya'. Oleh karena itu, Al-Qur'an mendeskripsikan Allah SWT sebagai, "Allah Pencipta langit dan bumi." (QS. Al-Baqarah: 117). Maksudnya 'sesuatu yang belum ada sebelumnya' disini adalah sesuatu yang belum pernah ada atau dilaksanakan pada zaman Nabi. maka seperti diketahui dari segi etimologis ini, para sahabat-tabi'in pun pernah mengaktualisasikannya, seperti Umar Bin Khattab, Ibu Umar, Umar bin Abdul Aziz dll. Bahkan mengingat akan jarak waktu yg begitu jauh dengan zaman Nabi dan kemajuan jaman seperti sekarang, maka begitu banyak hal "bid'ah" yang ada.
Kemudian, kata "muhdatsah" merupakan isim maf'ul dari fi'il madhi "ahdatsa", di mana "ahdatsa" sendiri adalah 'tsulasti mazid' dari fi'il 'tsulatsi mujarrad' "haditsa" yang bermkana 'baru'(kata "hadits" juga berasal dari kata ini). Dengan demikian, maka "muhdatsah" berarti kurang lebih bermakna 'diperbaharui' atau 'dibuat baru' dll, dengan kata lain, karena sekarang sudah jamannya tekhnologi, kok shalat sambil nonton TV (berjema'ah), Imamnya di Jawa makmumnya kok di Saudi (lewat HP. hehe) dsb. Tapi, sebagian besar menterjemahkan "muhdatsah" = 'diada-adakan atau mengada-ngada.' Kemudian apa hubungan kata ini dengan bid'ah? jawabannya ada pada hadits berikut:
Walau pun dalam beberapa haditsnya Nabi pernah menyinggungnya (bid'ah). Namun, sekali lagi beliau tidak menjelaskannya dengan rinci dan pasti. Maka menjadi wajar, ketika ada orang yang mengatakan ini bid'ah, yang itu bid'ah. Ibnu Umar berkata kalau shalat dhuha dimasjid dan "tsyawwab" adalah bid'ah (cek hadis). Umar bin Khattab mengatakan: shalat terawih dengan berjema'ah juga bid'ah (cek hadits). Abu Malik al-Asyja'i mengatakan: qunut itu bid'ah (cek hadits ;padahal qunut ada dalilnya: cek hadits). Umar bin Abdul Aziz berkata: seruling adalah bid'ah (cek hadits). Imam Syafi'i membagi bid'ah dalam dua kategori, bid'ah hasanah dan dlalalah (cek maqalah beliau di sini). Temanku pernah bilang: "mukaku ini bid'ah lho." Dipondok dulu teman-teman secara etimologi lebih memaknai bid'ah; sesuatu yang tidak ada pada masa Nabi, makanya lodspeaker, mobil, hp dan lain-lain itu bid'ah. Di jogja rata-rata memaknai bid'ah dengan perkara yang dibuat-buat dalam hal agama. Entahlah.... Sekali lagi wallahu a'lam bi al-shawaab.
Setidaknya secara etimologis, bid'ah selalu diidentifikasikan dengan dua kata mendasar dalam Hadits, yakni "bada'a" atau "ibtada'a" (cek hadits) dan "ahdatsa atau muhdatsah" (cek hadits). Walau-pun ada beberapa kata lagi yang juga diterjemahkan dengan bid'ah (hanata dan al-q), namun kita harus hati-hati dengan hadits terjemahan seperti ini, karena bisa jadi hal itu sangat terkait dengan kepentingan dan kredibilitas keilmuan si penerjemah.
Menurut Asy-Syathibi dalam kitabnya, al-I'tisham, bahwa asal kata bid'ah adalah diambil dari kata bada'a dan ibtada'a, yang bermakna 'menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya'. Oleh karena itu, Al-Qur'an mendeskripsikan Allah SWT sebagai, "Allah Pencipta langit dan bumi." (QS. Al-Baqarah: 117). Maksudnya 'sesuatu yang belum ada sebelumnya' disini adalah sesuatu yang belum pernah ada atau dilaksanakan pada zaman Nabi. maka seperti diketahui dari segi etimologis ini, para sahabat-tabi'in pun pernah mengaktualisasikannya, seperti Umar Bin Khattab, Ibu Umar, Umar bin Abdul Aziz dll. Bahkan mengingat akan jarak waktu yg begitu jauh dengan zaman Nabi dan kemajuan jaman seperti sekarang, maka begitu banyak hal "bid'ah" yang ada.
Kemudian, kata "muhdatsah" merupakan isim maf'ul dari fi'il madhi "ahdatsa", di mana "ahdatsa" sendiri adalah 'tsulasti mazid' dari fi'il 'tsulatsi mujarrad' "haditsa" yang bermkana 'baru'(kata "hadits" juga berasal dari kata ini). Dengan demikian, maka "muhdatsah" berarti kurang lebih bermakna 'diperbaharui' atau 'dibuat baru' dll, dengan kata lain, karena sekarang sudah jamannya tekhnologi, kok shalat sambil nonton TV (berjema'ah), Imamnya di Jawa makmumnya kok di Saudi (lewat HP. hehe) dsb. Tapi, sebagian besar menterjemahkan "muhdatsah" = 'diada-adakan atau mengada-ngada.' Kemudian apa hubungan kata ini dengan bid'ah? jawabannya ada pada hadits berikut:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
4607. Dari Abdurrahman bin 'Amr As-Sulami dan Hujr bin Hujr, keduanya berkata: Berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru (diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat'. " (H.R Abu Daud fi sunanihi)
Bid'ah Adalah Sesat.
Begitulah sabda Nabi, sebuah pernyataan yang tidak main-main. Kita mesti serius mengintrodusir hadits ini. Sebab, dalam terminologi ini, tidak sedikit yang tidak membedakan bid'ah dengan haram, artinya bid'ah sama halnya dengan ketidak-bolehkan secara mutlak. Segala jenis bid'ah adalah sesat. Kemudian ada sebagian lagi yang selektif-analisis, bahwa tidak semua bid'ah itu sesat, bagi korp ini bid'ah ada dua macam, bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah, dengan tinjaun aspek bahasa dan aspek definitif (istilah).
Namun, lagi-lagi masalahnya, apa bid'ah itu? bagi kelompok yang pertama yang dimaksud berarti bukan seperti bid'ah yang dikatakan oleh Umar Bin Khattab, "Ibnu Umar," Abu Malik al-Asyja'i dan Umar Bin Abdul Aziz. Lalu seperti siapa? Tentunya seperti bagaimana mereka mempersepsikan hadits-hadits berikut ini:
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد " رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم " من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak".(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”) [Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]
Dalam Hadits Arba’in An-Nawawi dengan syarah Ibnu Daqiqil ‘Ied dikatakan bahwa hadits ini memang sederhana, namun sangat penting dihafal untuk membentengi diri dari perkara bid’ah dan tidak termasuk orang-orang ahli bid’ah. Terkait hadits di atas, bahwa barangsiapa yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama, maka ditolak. Tidak hanya ditolak, bahwa perkara yang diada-adakan tersebut juga termasuk perkara bid’ah yang oleh Nabi dikecam sebagai sesat. Sebagaimana hadits berikut:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
413. Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: 'Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW sejelek-jelek urusan (agama) adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan (bid’ah) adalah sesat' (H.R Muslim, juga Ibnu Majah).
Bagi kelompok ini, bahwa yang dimaksud dengan kata “al-umuur muhdatsatuha” adalah perkara baru yang diada-adakan dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dimana hal itu menyangkut perkara agama dan ibadah. Adapun hal baru yang berkaitan dengan hal umum dan duniawi, maka tidak termasuk perspektif ini. Contoh makan, minum, bekerja, berenovasi dalam hal kreatifitas keduniaan dan lain-lain. Sebetulnya masih banyak lagi hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah ini, yang tidak semua disebutkan disini karena beberapa fakor. (karena subtansi hadits-haditsnya cendrung sama).
Sedangkan menurut kelompok yang kedua, bahwa terkadang bid'ah adalah seperti apa yang dikatakan oleh Umar Bin Khattab, "Ibnu Umar," Abu Malik al-Asyja'i dan Umar Bin Abdul Aziz. Bahwa tidak semua bid'ah itu sesat, yakni ada perkara-perkara yang "mubah" sekalipun tidak ada tuntunan langsung dan perintah, namun Nabi juga tidak melarangnya. Contoh, dzikir bersama setelah shalat dengan "jahr," dan bacaan-bacaan diantara shalat terawih. Hal ini memang gak pernah dicontohkan atau dilakukan Nabi, namun Nabi juga tidak melarang, tapi juga tidak dibuat-buat. Bahwa di dalam al-Qur'an Allah membolehkan berdzikir dengan "jahr" secara bersama-sama (al-Anfaal: 9), begitupun diantara shalat terawih bahwa Nabi pernah menganjurkan untuk memperbanyak membaca doa.
Bagi kelompok kedua, pendasaran terhadap hadits-hadits yang disebutkan oleh kelompok pertama dianggap masih ambigu, selain Nabi tidak pernah secara pasti dan gamblang menjelaskan apa itu bid'ah, mereka juga terlalu menitik beratkan pada hadits-hadits yang menggunakan redaksi "ahdatsa" (yang makna asalnya; membaut baru/membaharui) ketika menjelaskan soal bid'ah, padahal bid'ah memiliki asal kata sendiri yakni "bada'a." kelompok kedua juga sepakat jika bid'ah itu sesat sebagaimana sabda Nabi فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. Akan tetapi harus tegas pelarangannya, seperti shalat sambil makan, menambahi atau mengurangi jumlah rakaat dsb maka hal ini bid'ah dhalalah karena sudah jelas larangannya. Selain itu, membid'ahkan sesuatu sama halnya dengan mengharamkan sesuatu, sedangkan Nabi bersabda; Haram itu jelas, Halal juga jelas. Maka, bagi kelompok ini, bid'ah itu hanya tertentu untuk ibadah "mahdhah" saja. Untuk ibadah "ghairu mahdhah" dan tidak tegas larangannya maka tidak masuk bid'ah dhalalah walau hal itu termasuk perkara baru. Sebab, perkara baru laksana takdir di era dan semodern sekarang ini.
Kalau soal berbuat perkara baru dalam konteks agama, maka ketika kita masuk Islam, hal apa yang ada pada diri dan yang bisa kita lakukan yang boleh lepas dari agama? bahkan imathathul adza 'ani al-Thariiq (menyingkirkan sesuatu dari jalan yang bisa mengganggu pengguna jalan), lailaha illallah, senyum, tidur, hidup dan mati. Semua seharusnya sudah dinisiasikan untuk islam dan karena Allah semata. Padahal dizaman global dan serba canggih begini, sudah banyak sekali hal-hal baru, baik ketika harus melakukan sesuatu, ketika harus bersikap, dan cara berbicara yang tidak ada pada zaman dan dicontohkan Nabi. Ternyata dalam konsepsi ini (definisi agama), antara kelompok pertama dan kedua juga berbeda. Dan hal ini wajar-wajar aja.
Dan mengenai perkara baru dalam hal Ibadah, maka apa itu ibadah yang dimaksud? Shalat saja oleh al-Qur'an tidak disebut ibadah, tetapi merupakan 'kewajiban' dan ditekstualisasikan dengan kaidah "amar" (al-ashlu fil amri lilwujub) dan lafadz "kutiba 'ala" atau "maktub" dan "kitaab." Bahkan di Hadits-hadits Nabi lebih sering juga disebut dengan "faridhah" atau "fardhan" dan ada juga "maktub." Maka logikanya, semisal shalat dilakukan oleh orang mabuk dan "saahuun" (dalam bahasa al-Qur'an dekenal dengan orang-orang yang riya'), maka tidak akan dianggap ibadah. Akan tetapi, susutu yang sepele tetapi dilakukan oleh seorang abid (ahli ibadah), maka tidur pun akan dianggap sebagai ibadah. Maka lagi-lagi ibadah seperti apa dan bagaimana yang mereka maksud? Padahal "innaa shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillahi rabbil 'alamiin." Imam ghazali mengatakan: segala sesuatu yang dilakukan diniatkan karena Allah, maka akan berninai ibadah. (ternyata tentang konsep ibadah juga mereka bebeda).
Selain itu, keduanya juga berbeda dalam "minhajul fikri" (dasar memaknai sesuatu), sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuti: bahwa kelompok yang pertama dasar berpikirnya adalah "al-ashlu fi al-asyya'i al-tahriimu hatta yadulla al-daliilu 'ala al-ibaahah" (pada dasarnya segala sesuatu itu haram sehingga ada dalil yang membolehkannya). Kemudian kelompok yang kedua minhaj berpikirnya lebih pada "al-ashlu fi al-asyya'i al-ibaahah hatta yadulla al-daliilu 'ala al-tahriim" (Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya). Oleh karena itu, otomatis bagi kelompok pertama 'dzikir bersama-sama setelah shalat wajib dengan "jahr" dan membaca doa diantara shalat teraweh adalah haram (tidak boleh, bid'ah),' walau mereka sendiri tidak bisa mengetengahkan dalil keharamannya secara langsung. Begitupun kelompok kedua, 'dzikir bersama-sama setelah shalat wajib dengan "jahr" dan membaca doa diantara shalat teraweh' adalah boleh (bukan bid'ah), walau mereka juga tidak bisa secara langsung membuktikan dalil kebolehannya tersebut. Dengan begini, jelas sekali mereka memang berbeda cara dalam mempersepsikan sesuatu. Dan sekali lagi hal ini wajar-wajar aja.
***
Adapun siapa yang paling benar diantara keduanya, Wallahu a'lam, sebab jika dipahami lebih mendalam, keduanya juga memiliki dalil yang sama-sama kuat dalam mengimplementasikan keberagamaannya. Keduanya juga sama-sama memiliki tabiat tidak sempurna dan ganjil, yang pertama jika terlalu kekanan maka berakibat pada pola sikap ekstrimis-fanatik intoleran, sedang yang kedua jika terlalu ke kiri maka akan berimplikasi pada sikap pluralisme-inklusif. Sebab, keduanya adalah golongan, yang memiliki perspektif, konon asasi, dan tujuan masing-masing. Sedangkan islam bukan golongan, islam adalah agama, islam adalah islam. Yang penting tetap bersatu untuk Islam dan damai-damai "wae" lah.
Tapi yang pasti, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah membid'ah-bid'ahkan siapapun. Penulis tidak pernah menemukan hadis bahwa Nabi pernah membid'ah-bid'ah sesuatu-apapun pada zaman beliau. Dengan kata lain, tidak ditemukan pada zaman Nabi, ketika beliau mendapati aktivitas para sahabat yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam kemudian beliau berkata bahwa hal itu bid'ah, akan tetapi beliau langsung MELARANG atau MENGHARAMKAN. Padahal beliau sadar betul bahwa bid'ah adalah sesat dan sangat dikecam oleh beliau.
Namun pertanyaannya sekarang adalah, kenapa Nabi tidak pernah menjelaskannya secara detail padahal perkara ini sangat penting, mengingat persoalan bid'ah adalah persoalan ibadah kita bisa diterima atau tidak? Atau apakah Bid'ah ini adalah Haram yang dimaksud, di mana dalil-dalil tentangnya sudah jelas? Waallahu a'lam bi al-Shawab. Jadi intinya bagi penulis, membid'ah-bid'ahkan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, apalagi diperintahkan. Jadi, jadi, jadi, jadi, jadi membid'ah-membid'ahkan adalah?........ Silahkan isi sendiri titik-titik ini.... hehe
0 comments:
Posting Komentar