“Yakin, justru karena kita benar-benar tidak tahu.” Begitu Cank Nun ungkapkan dalam bukunya Markesot Marketul. Perikata Cak Nun tersebut, tidak dalam kapasitas spectrum: Benar atau salah. Karena ia sendiri berkata juga dalam buku yang sama, “saya benar karena saya telah berhasil menghindar dari hal yang dianggap salah. Tapi saya belum mencapai hal yang benar.”
Oleh karena itu, maka manusia hanya perlu mementingkan “tadris,” yakni upaya mempelajari apa-apa yang ada diluar untuk pematangan diri. Kemudian “tadarrus,” yaitu efektivitas kesadaran tadris demi kemanfaatan seluruh yang membutuhkan. Selanjutnya, baru “ta’lim-ta’allum, tafhim-tafahhum, dan ta’rif-ta’arruf.” “Terserah semuanya mau ditafsirkan sekehandak masing-masing. Toh, yang paling penting dari segala pemaknaan adalah kemanfaatannya untuk orang banyak.” Katanya.
Dari sini, sebenarnya Cak Nun ingin mengungkapkan tentang prinsip rasionalitas seluruh kehidupan, yang bersifat relative, fluktuatif dan paling banter pencapaiannya adalah kebenaran universal. Dan lagi-lagi kebenaran yang seperti ini malah secara tidak disadari akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan, tafsiran-tafsiran bahkan kekacauan yang lebih besar. Makanya, jalan satu-satunya lagi-lagi adalah keyakinan. Iya, Yakin. “Tapi bukan keyakinan yang spekulatif, tapi harus berhaluan yang nyata.” Katanya lagi.
“Maka dari itu, marilah berfikir sekarang: Tuhan tidak menciptakan kita berorganisasi, walaupun kenyataannya kita malah lebih suka berorganisasi, bahkan ketika melakukan keburukan, ketengngelan, sungguh memalukan. “ Dan ini, yang banyak difikirkan manusia.
“Tak ada kewajiban bagi manusia untuk menang, yang ada adalah perjuangan sampai mati untuk mencapai kemenangan.” Dan untuk apa sebuah kemenangan jika menang dala padangan kemanusiaan. “Kalau begitu fikirkanlah sebelum kita merasa menang; ketika kita berkelahi dengan anak kecil dan menang. Hal itu bukan kemenangan namanya, tapi kehinaan. Camkanlah, hidup ini probabilistik, bahkan hal yang kita anggap pemenang dan menang, kadang kala tanpa dia sadari dia telah kalah.” Katanya lagi-lagi sampai disisni.. he… wallahu ‘alam bi al-shawaab
Oleh karena itu, maka manusia hanya perlu mementingkan “tadris,” yakni upaya mempelajari apa-apa yang ada diluar untuk pematangan diri. Kemudian “tadarrus,” yaitu efektivitas kesadaran tadris demi kemanfaatan seluruh yang membutuhkan. Selanjutnya, baru “ta’lim-ta’allum, tafhim-tafahhum, dan ta’rif-ta’arruf.” “Terserah semuanya mau ditafsirkan sekehandak masing-masing. Toh, yang paling penting dari segala pemaknaan adalah kemanfaatannya untuk orang banyak.” Katanya.
Dari sini, sebenarnya Cak Nun ingin mengungkapkan tentang prinsip rasionalitas seluruh kehidupan, yang bersifat relative, fluktuatif dan paling banter pencapaiannya adalah kebenaran universal. Dan lagi-lagi kebenaran yang seperti ini malah secara tidak disadari akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan, tafsiran-tafsiran bahkan kekacauan yang lebih besar. Makanya, jalan satu-satunya lagi-lagi adalah keyakinan. Iya, Yakin. “Tapi bukan keyakinan yang spekulatif, tapi harus berhaluan yang nyata.” Katanya lagi.
“Maka dari itu, marilah berfikir sekarang: Tuhan tidak menciptakan kita berorganisasi, walaupun kenyataannya kita malah lebih suka berorganisasi, bahkan ketika melakukan keburukan, ketengngelan, sungguh memalukan. “ Dan ini, yang banyak difikirkan manusia.
“Tak ada kewajiban bagi manusia untuk menang, yang ada adalah perjuangan sampai mati untuk mencapai kemenangan.” Dan untuk apa sebuah kemenangan jika menang dala padangan kemanusiaan. “Kalau begitu fikirkanlah sebelum kita merasa menang; ketika kita berkelahi dengan anak kecil dan menang. Hal itu bukan kemenangan namanya, tapi kehinaan. Camkanlah, hidup ini probabilistik, bahkan hal yang kita anggap pemenang dan menang, kadang kala tanpa dia sadari dia telah kalah.” Katanya lagi-lagi sampai disisni.. he… wallahu ‘alam bi al-shawaab
0 comments:
Posting Komentar