السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Rabu, 01 Februari 2017

TOLERANSI DAN POLEMIK AHOK


Polemik Ahok terus menunjukkan sisi potensitas kognitif, jika diamati pada aspek hikmah dibalik hiruk-pikuk yang terjadi. Di mana daya jangkau media sosial membuat gairah tersendiri bagi penggunanya. Efeknya, berbagai statmen mengetengahkan semacam korep-korep yang kontradiktif. Namun, hanya ada dua kubu yang secara nyata terlihat sekali bersebrangan, tapi sama-sama mengklaim di bawah bayang-bayang sebuah sistem besar, yaitu Toleransi.

Kubu pertama, terwakili oleh sebagian umat Islam yang memiliki tafsiran dan penilaian berbeda terkait pengertian surat al-Maidah 51 maupun mengenai pernyataan Ahok tentang ayat tersebut. Kelompok ini menantang keras aksi damai 4 november. Bahwa aksi demo besar-besaran semacam itu, dikawatirkan hanya akan menimbulkan kegaduhan baru yang tidak diinginkan, bahkan bisa saja membuat perpecahan, tidak hanya antar umat beragama, lebih-lebih terhadap kerukunan antar warga negara. Dan para pengutuk Ahok dianggap Islam garis keras, antitoleransi dan penyebar kebencian.

Sedangkan kubu kedua, terwakili oleh ormas Islam yang melaporkan Ahok dan menuntut agar diproses secara hukum. Mereka adalah pelopor aksi damai 4 november. Mereka beranggapan model lisan ugal-ugalan Ahok dapat mengancamkan keberagaman dan inntoleransi. Sementara orang-orang yang mendukung serta membela Ahok dicap sebagai penjilat yang rela agamanya dihina dan dinistakan.

Namun kenyataannya kedua kubu tersebut, menampakkan posisinya yang bersebrangan, saling beradu argumentasi bahkan marasa benar sendiri. Padahal mereka sama-sama dalam tujuan, atas nama toleransi. Tapi faktanya, mereka saling menghujat, menuduh bahkan menjatuhkan. Baginikah wajah toleransi di Negeri ini?

***

Sementara itu, pasca reformasi bangsa Indonesia telah mencoba menampakkan sikapnya sebagai negara yang toleran. Gusdur selaku presiden kala itu mengesahkan ras teonghoa menjadi bagian dari kekayaan budaya sekaligus menjadi warga negara Indonesia. Sejak itu pun rakyat Indonesia telah terbiasa hidup berdampingan, saling gotong royong serta rukun dalam kehidupan sehari-hari antar umat beragama. Bahkan denganya, Indonesia mendapat pujian dari sejumlah negara, tak terkecuali presiden Italia Sergio Mattarella mengagumi berbagai aspek kehidupan di Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di Dunia, namun dapat hidup berdampingan dan damai. (10/11/2015)

Fakta sebaliknya dalam dataran idealisme-religuistik. Mentalitas tolerantif, seolah seringkali dikesampingkan. Para pemuka dan tokoh agama terkait tidak jarang dijumpai pernyataannya yang sensitif, bahkan menodai atas nama kitab suci, agama dan keyakinan. Entah itu pada sesama agama apalagi yang berbeda agama.

Tidak menutup mata, bangsa Indonesia telah sering berkonflik terkait hal ini. terakhir puncaknya adalah aksi damai 4 november kemarin. Namun, belum belajarkah kita, mengertikah kita bahwa prinsip toleransi tidak hanya soal kerukunan dalam hidup berdampingan semata, tetapi juga harus menjaga dan mengerti akan perasaan, keyakinan serta kehormatan orang maupun agama lain?

***

Namun tidak bisa dipungkiri, ada sebagian yang lain direpublik ini yang bersikap elegan. Bahwa secara pribadi, siapa pun boleh tersinggung, merasa dihina bahkan dinistakan. Nyatanya, Nabi Muhammad SAW pernah dicerca sebagai pembohong, diolok-olok, bahkan dilempari dengan abu, batu dan kotoran hewan. Akan tetapi, beliau tidak memandang itu sebagai hinaan atas dirinya. Beliau malah mendoakan kaumnya kepada Allah agar supaya mereka diberikan hidayah.

Bahwa surat al-Maidah 51, sejatinya memang harus ditafsirkan kembali sesuai konteks kebangsaan kita, Indonesia. Setidaknya tiga hal yang perlu diperhatikan dalam ayat itu. Pertama, kalam ayat menggunakan “La nafi bi ma’na nahi,” artinya larangan tersebut tidak bersifat mutlak tergantung ada dan tidak adanya alasan yang mengitarinya (yaduuru ma’a illati wujuudan wa ‘adaman). Kedua, terkait asbab al-nuzul (konteks ayat perang), dan ketiga, persoalan terjemahan awliya’. Selain itu, sudah ada beberapa ulama yang membolehkan “kepemimpinan” non Muslim, seperti Imam al-Mawardy (lahir 975 M), Imam Fakhrudin al-Rozi(wafat 1209 M), Imam Yusuf Qardhawi (lahir 1926), Imam Muhammad Sayyid Thanthawi (lahir 1928). Dan semua imam-imam tersebut memliki nasab agama yang taat, berhaluan dan tsiqqah.

Selain itu, perbedaan pendapat dalam Islam telah hidup sejak masa Rasulullah. Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa nabi pernah melarang beberapa sahabat shalat ashar keculai diperkampungan Bani  Quraidah. Tapi, ternyata setelah ditengah perjalanan waktu sudah hampir maghrib. Maka terjadilah perbedaan pendapat di antara para sahabat, ikut perintah nabi atau ijtihad mereka. Namun, masalah tersebut disampaikan ke nabi, beliau hanya diam dan tersenyum.

Oleh karena itu, saling menghargai adalah harga mati bangsa ini. Bahwa tidak berarti hanya yang pro demo 4 november para pembela al-Qur’an dan Islam, kemudian yang kontra ke-Islam-annya dicap abu-abu dan sebgainya. Baik yang pro maupun yang kontra aksi “411” sama-sama umat Islam yang sama-sama perlu dihargai. Adapun yang pailing agung menurut Rasulullah Muhammad SAW ketika mendapati saudara sesama Muslim bertikai, maka yang harus dilakukan adalah mendamaikannya dengan istighfar dan ta’awwudz. Sekaligus dengan cara tidak memprovokasi, mengadu-domba dan membuat statmen yang dapat memancing kemarahan. Penulis kira, sikap toleransi semacam ini lah yang harus dimiliki bangsa ini, saat ini.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

TERIMA KASIH