Pemandangan langka terjadi di 4 November ini, gerombolan umat manusia bersuara lantang dan meyakinkan, dengan seragam putih memenuhi masjid Istiqlal hingga istana kepresidenan di Jakarta. Sebuah aksi damai oleh berbagai elemen umat muslim dari seluruh bangsa ini. Sungguh menggetarkan jiwa-jiwa yang menyaksikannya, polisi bersurban dengan barisan asma’ul husnanya, begitu juga peserta demo dengan shalwat, kalimat tayyibah dan kumandang takbirnya.
Semua berkumpul untuk satu suara,
satu hati dan aspirasi. Di situ tidak ada perbedaan, satu sama lain saling bahu
mebahu, saling melindungi, saling membantu seolah mereka saudara meski
sebetulnya mereka baru berjumpa saat itu. Mereka lupa bahwa awalnya mereka
berbeda paham, berbeda kehendak bahkan cara ber-Islam. Mereka juga lupa bahwa
sebenarnya dalam internal Islam sendiri belum sepenuhnya “damai” dalam paham.
Majelis Zikir yang dipelopori oleh
Ustadz Arifin Ilham, oleh sebagian golongan umat Islam sendiri di cap bid’ah,
karena dianggap mengada-ada, tidak ada tuntunannya dan bertentangan dengan
pendapat para “’Ulama” bahwa yang di maksud majelis zikir adalah majelis yang
di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu ke-Islam-an bukan berzikir bersama-sama
sebagaimana Ustadz Arifin Ilham beserta jama’ahnya. (lihat kitab Darus-Salaf, bab Bid'ahnya zikir bersama ala Arifin Ilham 7). walaupun mungkin gak benar-benar begitu :)
Kelompok yang biasa mengomandangkan
shalawat seperti FPI (Front Pembela Islam), beberapa Habib atau golongan
tertentu, dicap syirik atau bid’ah. Selain karena shalawat yang dibaca kadang
bukan dari Nabi, juga kegiatan tersebut dipandang terlalu memulyakan dan mengagung-agungkan
Nabi Muhammad SAW. (lihat video ini). Meski anggapan ini, agak berlebihan mungkin :)
NU (Nahdlatul Ulama) dan
Muhammadiah juga berbaur di situ. Bahkan dalam status twitternya Dahnil A Simanjuntak selaku ketua pusat pemuda Muhammadiyah mengatakan: “Jadikanlah
aksi damai 4 november besok sebagai ajang silaturrahmi antar umat Islam.”
Padahal kita tahu keduanya berbeda “paham” dan “realisasi” ke-Islam-an.
Di situ, perbedaan sudah tidak
penting lagi. Ketika ada Ulama, siapa pun Ulamanya, maka yang akan membela dan
tidak terima pasti Umat Islam seluruh Indonesia, dari latar belakang mana pun.
Penulis membaca disebuah group whatsapp, ada yang berkata: “Salah apa Ulama,
ya Allah,” ucapan ini keluar karena mendengar dari sebuah medsos bahwa
Ustadz Arifin Ilham tertembak. Padahal dari segi paham ke-Islam-an, penulis
tahu kalau beliau tidak sepaham dengan Ustadz Arifin Ilham.
Sekali lagi aksi atau demonstrasi ini, harus
membuat hati kita semakin tergetar. Sebab, umat Islam ternyata memiliki
tanggung-jawab yang sangat dan jauh lebih besar, yaitu menjaga ke-“benar”-an
dan kesucian al-Qur’an. Dari sekedar hanya berusaha memperjuangkan silang
pendapat dan tafsir antar golongan kemudian berselisih karenanya. Yang justru
malah dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan mengatakan: “Sebagian
pendapat itu adalah tidak murni,” atau contoh kongkritnya: “Jangan mau
dibohongin oleh surat al-Ma’idah: 51,” dan sebagainya.
Maka marilah kita saling menghargai
dan teruslah bersatu. Tidak hanya di 4 November ini. Bahwa semua pendapat
golongan adalah benar, kecuali golongan yang tidak ada Ulamanya. Semua golongan
punya tujuan yang sama, yakni sama-sama ingin meluruskan umatnya terhadap
Islam, iman dan ridhaNya, kecuali golongan yang hendak merusak
kebineka-tunggal-ikhaan dan menghancurkan umat Islam yang lain. Tentu hal ini,
demi konteks kebangsaan kita.
Kemudian yang terakhir, Jujurlah
dalam hati, pikiran dan tindakan. Kita juga harus berterima kasih kepada Pak
Ahok, karena telah mengingatkan kita bahwa surat al-Ma’idah: 51 itu ada, dan
kita mulai membukanya kembali. Juga berkat ulahnya setuasi dan kondisi ini,
rasa kebersamaan ini kembali terjalin. Di sini. Di aksi damai 4 November 2016
ini.
0 comments:
Posting Komentar