Sekali lagi yang penulis coba kaji terkait pengertian takut (khasyyah) yang hendak dibahas di sini adalah dalam perspektif al-Qur’an. Jadi penulis hanya menfokuskan pembahasan pada bagaimana dan seperti apa retorika khasyyah secara keseluruhan dalam al-Qur’an.
Khasyyah; dalam bahasa Indonesia berarti takut. Jika taqwa (takut) adalah ketakutan yang menuntut intensitas spiritual sekaligus konstitusionalitas kepada Allah, dan jika khauf (takut) yang dimaksud adalah ketakutan yang besifat tendensius dan umum (awam). maka khasyyah merupakan perasaan takut dengan segala aspek-aspek terdalam pada diri Manusia. Ketakutan yang timbul dari kesadaran terpuji akan Allah.
Termasuk malakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah karena mengharap ridhoNya. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani adalah seorang ulama yang sangat getol menuntut ilmu, hanya saja beliau tidak menikah. Padahal kata Nabi, 'nikah itu adalah sunnahnya'. Namun, perlu diingat bahwa tidak menikahnya imam Ibnu Hajar karena pertimbangan hal yang juga dapat mendekatkanya pada Allah, yakni mencintai ilmu Allah, yang sesungguhnya adalah wajib bagi seorang muslim menuntutnya. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Dengan kata lain, seandainya kita harus menikah maka hal itu dilakukannya karena Allah, seandainya harus bebuat baik maka itu diniatkan karena Allah, seandainya tersenyum maka senyum tersebut karena Allah dan sebagainya. Dan ketakutan yang demikian sangat khusus, Manusiawi, penuh kometmen, dan hanya kepada serta untuk Allah semata. sebagaimana firmanNya:
dan mereka tiada merasa takut (Khasyyah) kepada seorang (pun) selain kepada Allah. (al-Ahzab: 39).
Maka tak heran ketika Allah berfirman bahwa sesungguhnya yang khasyyah (takut) dari hamba-hambaNya hanyalah para Ulama, firmanNya:
Khasyyah; dalam bahasa Indonesia berarti takut. Jika taqwa (takut) adalah ketakutan yang menuntut intensitas spiritual sekaligus konstitusionalitas kepada Allah, dan jika khauf (takut) yang dimaksud adalah ketakutan yang besifat tendensius dan umum (awam). maka khasyyah merupakan perasaan takut dengan segala aspek-aspek terdalam pada diri Manusia. Ketakutan yang timbul dari kesadaran terpuji akan Allah.
Termasuk malakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah karena mengharap ridhoNya. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani adalah seorang ulama yang sangat getol menuntut ilmu, hanya saja beliau tidak menikah. Padahal kata Nabi, 'nikah itu adalah sunnahnya'. Namun, perlu diingat bahwa tidak menikahnya imam Ibnu Hajar karena pertimbangan hal yang juga dapat mendekatkanya pada Allah, yakni mencintai ilmu Allah, yang sesungguhnya adalah wajib bagi seorang muslim menuntutnya. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Dengan kata lain, seandainya kita harus menikah maka hal itu dilakukannya karena Allah, seandainya harus bebuat baik maka itu diniatkan karena Allah, seandainya tersenyum maka senyum tersebut karena Allah dan sebagainya. Dan ketakutan yang demikian sangat khusus, Manusiawi, penuh kometmen, dan hanya kepada serta untuk Allah semata. sebagaimana firmanNya:
وَلا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ
dan mereka tiada merasa takut (Khasyyah) kepada seorang (pun) selain kepada Allah. (al-Ahzab: 39).
Maka tak heran ketika Allah berfirman bahwa sesungguhnya yang khasyyah (takut) dari hamba-hambaNya hanyalah para Ulama, firmanNya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Fathir: 28)
Ibnu Abbas berkata yang dimaksud dengan Ulama adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Ulama atau orang yang alim ialah orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sekalipun dia tidak melihat-Nya, menyukai apa yang disukai-Nya, dan menjauhi apa yang dimurkai-Nya. Ahmad ibnu Saleh Al-Masri telah meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik yang mengatakan, "Sesungguhnya Ulama itu bukanlah karena banyak meriwayatkan hadis, melainkan ilmu itu adalah cahaya yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbu."
Sehingga tidurnya ulama yang takut kepada Allah akan bernilai ibadah. Setan selalau delimatis menghadapi ulama, jika diganggu tidurnya maka ia (Ulama) sangat tahu apa yang harus dilakukannya saat terbangun, yakni mengambil wudhu’ dan beribadah, tidak diganggu pun dan tetap terlelap maka berarti masa ibadahnya semakin panjang.
Selain Ulama, yang khasyyah kepada Allah juga para penyampai risalahNya (para Nabi), firmanNya:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (al-Ahzab: 39).
Kemudian, khasyyah dan taqwa disinggung dalam satu ayat oleh al-Qur’an, keduanya memiliki sebuah persamaan. Pertama, sama-sama termasuk orang-orang yang beruntung (Faaiziin), firmanNya:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (al-Nur: 52).
Persamaan keduanya, sama-sama gemetar atau bergetar kulit dan hatinya ketika diperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an. firmanNya:
اللَّهُ نزلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya. (az-Zumar: 23).
Namun, antara khasyyah dan taqwa adalah lebih tinggi taqwa karena orang-orang yang bertaqwa telah melewati fase khasyyah, sebagaimana firmanNya:
وَذِكْرًا لِلْمُتَّقِينَ , الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَهُمْ مِنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
Serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedangkan mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. (Al-Anbiya: 48-49).
Sedangkan khasyyah dan khauf oleh al-Qur’an dimanifestasikan secara berbeda. Khasyyah adalah berhubungan dengan kehendak Allah yang transendent-fundamental, lalu khauf sangat berkaitan dengan situasi profan dan upaya manusia. Sehingga dalam ayat-ayat khasyyah yang paling ditekankan adalah ketakutan kepada Allah daripada yang selainnya. Sebagaimana firmanNya:
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Al-Ra’du: 21)
Hal yang bisa diterangkan dari ayat ini, bahwa ketika ketakutan itu adalah ketakutan kepada Robbnya, maka ia menggunakan lafadz khasyyah. Namun, ketika ketakutan yng dimaksud merupakan ketakutan akan kejelekan hisab (di mana hasilnya kan sangat tergantung pada agaimana Manusia tersebut berproses), maka ia menggunakan lafadz khauf.
Ayat berikutnya:
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kalian (al-Isra’: 31).
Ayat ini, mengandung penekanan akan keharusan yakin akan rejeki yang telah ditakdirkan (transendent) dan pasti akan dikaruniakan oleh Allah. Maka dari itu, jangan membunuh seorang anak hanya karena takut miskin (profan dan tergantung usaha manusia), karena hal itu sia-sia dan tidak dapat merubah apapun.
Ayat selanjutnya:
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Al-Taubah: 13)
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. (Al-Ahzab: 37).
Terakhir, sebagaimana khauf, Allah tidak mungkin menyia-nyiakan hal sekecil apapun yang diperbuat hambaNya. Apalagi ini adalah hal luar biasa. Jadi Allah juga memberikan bonusnya kepada mereka-mereka yang bersikap khasyyah, yakni sebuah pengampunan dan pahala yang besar. Allah berfirman dalam kitabNya:
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar, (Al-Mulk: 12).
Dalam ayat yang lain:
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-Bayyinah: 8).
selain bonus di akhirat kelak, saat di dunia pun orang-orang yang khasyyah kepada Allah senantiasa akan mendapat pelajaran dan mengambil pelajaran dari setiap hal-ihwalnya. firmanNya:
سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى
orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. (Al-A'la: 10)
Di mana hal tersebut sangat penting bagi perbaikan dan keistiqamahan dalam hidup. sebab, mereka yang malas-malasan, yang stagnan, dan yang bahkan hidupnya semakin lama semakin negatif adalah karena meraka tidak mau belajar dan mengambil pelajaran.
Sungguh bonus yang sangat luar biasa, tidak hanya surga ‘Adn namun juga keridhaan Allah. Padahal kita tahu segala sesuatu di akhirat kelak sangat tergantung pada keridhaan dan rahmatNya. Dan tidak hanya di akhrat kelak, semasa di dunia pun Allah berikan anugrahNya bagi yang khasyyah.
Semoga kita termasuk golongan hambaNya yang memiliki sifat khasyyah. Amiin.
WALLAHU A’LAM BI AL-SHAWAAB
0 comments:
Posting Komentar