Sewaktu sore, sejumlah langkah dan kata menjadi lebih baik sebagai aktifitas diam dan senyum. Lelah. Amat biasa. Deru debu jalanan, lalu lalang kendaraan menandai literasi orang-orang, bahwa mereka harus segara pulang karena senja yg mulai tamaram. Yang duduk dan yang berdiri hanya karena kesibukan yang tak biasa. Namun, Pria ini pria biasa. Terlampau biasa malah. cuma waktu itu dia mesti ke-bandara memang. Datang kesana sebagai pengemban amanah, iya apa, pendeknya sih "nguli" gitu (hehe). Ia menunggu sebagaimana biasa orang-orang ditempat tunggu. Ia gak mungkin mengeluh sebab keadaan itu telah ia maklumi sedari sebelumnya.
Cukup lama juga ia menunggu hingga tanpa terasa ia pun larut dalam cerita lama, kisah sore menjelang maghrib. Tentang film Suzana gentayangan yang seramnya sama menakutkan seperti cerita nyata neneknya dahulu kala. Sorot mata melotot tajam dengan kelopak hitam kelam itu. Rambut kumal mengurai lebat sengeri bayang-bayang mungkar-nakir itu. Ia tak kuasa, terasa terasuki makhluk halus, entah hantu otawa apalah itu, ia gemetar dalam dengan keringat dingin tertahan keluar. Mungkin tak ada takdir yang semacam itu. Tapi situasi itu terlalu menghujam jauh ke dasar bawah sadarnya. Seandainya keadaan itu berlanjut hingga dua hari aja, maka tentu aja ia-lah yg benar-benar akan bergentayangan.
Dalam gumulan ilusinya seketika ia terperanjak, ia mulai sadar, hal itu kosong, ia tahu pikirannya akan mempengaruhi perbuatannya nanti. bahwa seseram-seramnya Suzana dalam film itu, Suzana adalah sisi yang berkarakter dan bagian figur dari yang baik-baik. Daya Pria ini semakin tergerak. Tidak ada yang lebih nyata dari pada kebaikan. Gumaman hanya akan menjadikannya pemabuk asa. Dan sepertinya yang ditunggu-tunggu juga sudah datang tu... cuzzzzz...
hay mbak...!!!!
Iya mas...!!!!
Pertemuan dan perkenalan sepertinya memang selalu menyenangkan. mengembirakan seperti tak ada perbuatan baik atau buruk seandainya merasa senang. Senyum Pria ini pun sedikit demi sedikit kembali lepas tampak baik-baik saja, ngobrol ngalor-ngidul judule sing penting hati senang. Mereka bertiga terlena oleh alunan tawa masing-masing, hingga tanpa dinyana perjalanan demikian jauh menuju tujuan. Dan hari mulai memalam.
Ditengah perjalanan, mereka sepakat jika sebaiknya makan malam aja. Sembari menyeka kemalaman mencari tempat hidangan yang hendak dipilih. Tempat santap golongan ber-uang. Maklum mereka memang biasa begitu. Begitu duduk, begitu tertawa-tawa, begitu ngobrol-ngobrol akhirnya semua pesanan pun genden memenuhi meja. Dalam tawa dan obrolan itu tiba-tiba bayang-bayang itu, makhluk halus itu kembali menggeliat diantaranya. Kali ini, ia benar-benar kerasukan, hantu itu dengan kejamnya seakan mengutuk, menindas, mewanti-wanti berusaha menjadikan diri ia jadi dirinya. Perlahan hantu itu, mengajarkan makna senyuman, sebuah arti kata, harap-harapan, tentang keharusan memiliki. Pria ini mendadak kejang-kejang mengundang banyak tanya, banyak suara dan banyak gemuruh. Namun sebentar ia terperanjak kaget, seketika masuk gelap suara;
"Biar aku aja yang bayarin ya."...!!!
Sebetulnya kelelakian Pria ini menolak itu. hanya, biarlah toh mereka telah menjadi teman dan sahabat yang baik. lagian waktu itu, ia memang lagi gak ada apa-apa disakunya. hehe
***
Esok hari, di hari pertama, beban Pria ini seolah semakin berat, ia merasa mereka gak bertiga lagi, tapi berempat. Hantu itu semakin suka membuntutinya kemana saja dia pergi. Langkah kakinya terlihat gontai seolah ada yang menahan. bibirnya kelu. pikirannya memburu. gumamnya, makhluk apaan ini? Ia terus ulangi berkali-kali pertanyaan itu walau tak pernah ada jawaban. Ia mulai gak peduli, termasuk dengan pertanyaan orang-orang "Kok bisa ada hantu siang-siang? gila kali ya dia?." yang ia tahu bahwa nenek dan tetangga dikampungnya dulu pernah bercerita ada.
Ia gak peduli dari pantai satu ke pantai yang lain. dari perbukitan satu keperbukitan yang lain. dari tebing satu ke tebing yang lainnya. karena----
Seharusnya ia gak perlu memusingkan apapun, sebab ia bersama tamu yang telah berteman baik, lembut, santai, dan menyenangkan. Ia juga bersama sahabat yang tidak hanya peduli, mengerti namun juga telah lama saling berbagi kebaikan dengannya. Tapi, dasarnya aja hantu bangsat itu....
Bahkan saat malam, teman tidurnya bukan lagi bantal, kasur dan selimut. kini berbeda, seolah seisi kamar dipenuhi kegelapan, celah cahaya hanya menjadi hal menakutkan. lemari itu hantu, dispenser itu hantu, TV itu hantu, gambar-gambar itu hantu, lampu itu hantu, komputer itu hantu, dipan itu hantu. Tetap "petteng" dan "petteng". masak, sepanjang hari dengan sepanjang perjalanan kala itu, yang teringat hanya lemparan batu kerikil yang tepat nyemplung dihadapannya itu, yang terbayang hanya saat tangannya tanpa sengaja menyentuh sepotong tangan ketika ia hendak mengubah gigi persneling itu, yang membatin hanya tentang senyum dan kata itu. Padahal tajam matanya waktu itu dapat dengan sangat melihat segalanya, telinganya mampu mendengar suara apapun. Entahlah....
"Kamu kenapa, mas bro? mukamu pucat gitu, kayak lagi bingung, galau?" Tegur salah seorang temannya.
Tapi Pria ini, hanya diam dengan senyum khas tersampul dibibirnya. Tak terpikir olehnya tuk menjawab. Walau sebenarnya ia ingin sekali menceritakan kisah hantu itu, makhlus halus yang tak kenal solidaritas. Meskipun ia tahu, banyak orang percaya kalau hantu itu benar ada, tapi bagaimana ia membuktikannya? Apa temannya juga akan percaya?. Pernah terpikir olehnya untuk membuktikan apa saja tentang hantu itu, tapi kan hantu tak pantas jadi sahabat? Sahabat hanya pada sahabat, teman hanya pada teman. Begitu lebih realistis.
Pria ini, benar-benar sudah gak betah lagi dikamar tercintanya, yang menaruh sejarah, cita dan jati dirinya. Ia memilih keluar dari kamar dengan semangkuk makanan ditangannya.
"Kok, makannya di luar mas?" Tanya beberapa tetangga lewat baru saja pulang dari pengajian.
"Saya gak betah dikamar, pak, buk. banyak hantunya"...!!! Pria ini menceritakan panjang lebar tentang kamarnya yang berhantu itu. bahwa ia makan diluar untuk menghindarinya, walau tak bisa.
"Yaudah mas, kalau gitu dilanjutkan aja makannya..."
Diantara mereka saling melempar kata, menganggapnya telah gila, tidak waras lagi. Mungkin sedang banyak masalah. hingga suara-suara itu pun lenyap dengan sendirinya.
Pria ini, sangat sakit, perih dengan banyak kata-kata tadi. Mungkin memang ada benarnya apa yang dikatakan? Mungkin sebaiknya ia berusaha menjauhinya. Dengan tekad kuat ia akhirnya berseloroh mengusir aja hantu gak penting itu dari dirinya. Entah bisa atau tidak.
Pada hari kedua, Adalah mengenai waduk, gundukan kali, tentang gunung, gumuk pasir dan sedikit pantai. Ada keindahan, hal menakjubkan, tulisan yang membekas. Sesuatu yang baru didatangi pertama kali, soal jalan-jalan terjal penuh pemandangan yang menawarkan sejuta pesona. Dikanan, dikiri, didepan-belakang semua dapat dilihat di atas maupun di bawahnya. Sungguh tak terbayangkan, meski sesekali hantu itu kadang masih suka menyelinap di bawah tawa-tawa kecilnya, menjadi halusinasi disetiap tatap, dengat dan hatinya. Tapi tenang, dengan mudah ia menepisnya, ia tetap pada kometmennya untuk tak lagi bersama dan mengusir jauh jauh hantu itu. Ditambah lagi suka ria kedua sahabat dan temannya tak henti-hentinya kebaikan dan kebersamaan terbagi indah. Pria ini sangat beruntung.
Namun, lagi-lagi malam ini. ia mendapati kamarnya tanpa apapun. Jendela itu kosong, atap itu kosong, pojokan itu kosong. Yang ia mampu pandangi hanya senyumnya yang pantas-terlintas, godaan manjanya saat ia di atas tangga dan aaahhhhh. Ia kebingungan meski tanpa hantu itu, merasa bersama ruang hampa. Ia kembali memikirkan hantu itu. Mungkin tak seharusnya ia mengenyahkannya. Orang bijak dapat berkawan dengan siapapun. Al-Hallaj menganggap setan dan Fir'aun sebagai uswah hasanah, figur penentang kesyirikan sejati tanpa tak menghormati malaikat, Jin dan manusia. Rabi'ah al-Adawiyah tidak menganggap setan sebagai musuh. Ia membutuhkan sesuatu yang tidak ia sadari. Sebenarnya ia hanya tersadar akan dirinya, dirinya yang masih biasa, sedang sahabat adalah sahabat. Hantu tidak memiliki sahabat. Realistis tak biasa. Ia semakin takut akan dirinya yang biasa. antara hantu dan sahabat.
"Ikhlas itu seharusnya aku. Ikhlaslah yang memantaskan dan menyatukan segala elemen apapun. Dengan ikhlas aku memiliki segalanya." Gumam Pria ini dengan pantas. Atau hanya ia adalah pecundang yang tak begitu membaca proses dan lamban dalam memantau kegagalan. Ikhlass....
Di hari ketiga, hantu yang sebelumnya hanya diam saja. Entah dikambing-hitamkan, dihujat dan sebagainya. Kali ini hantu itu angkat kata:
"Hendak apapun kalian.... salahkan aku, maki dan enyahkan aku. kalianlah yang menjatuhkan diri kalian. altruistis, bagai lilin kalian rela menerangi yang lain tanpa memikirkan diri. kalian yang egois bahwa mesti memiliki. Aku sama sekali gak peduli."
Camkan....!!!!
"Bertanyalah kalian siapa aku, apa aku, mengapa aku, dimana aku, kapan aku, dan bagaimana aku? Aku tetaplah aku. Aku yang sejati tak kan pernah mati, meski kalian harus bersama yang lain. Laila dan Majnun, Adam dan Hawa, Habibi dan Ainun adalah contoh ortodoksi hakikatku.... Pokeh kalian tu.....
Cukup lama juga ia menunggu hingga tanpa terasa ia pun larut dalam cerita lama, kisah sore menjelang maghrib. Tentang film Suzana gentayangan yang seramnya sama menakutkan seperti cerita nyata neneknya dahulu kala. Sorot mata melotot tajam dengan kelopak hitam kelam itu. Rambut kumal mengurai lebat sengeri bayang-bayang mungkar-nakir itu. Ia tak kuasa, terasa terasuki makhluk halus, entah hantu otawa apalah itu, ia gemetar dalam dengan keringat dingin tertahan keluar. Mungkin tak ada takdir yang semacam itu. Tapi situasi itu terlalu menghujam jauh ke dasar bawah sadarnya. Seandainya keadaan itu berlanjut hingga dua hari aja, maka tentu aja ia-lah yg benar-benar akan bergentayangan.
Dalam gumulan ilusinya seketika ia terperanjak, ia mulai sadar, hal itu kosong, ia tahu pikirannya akan mempengaruhi perbuatannya nanti. bahwa seseram-seramnya Suzana dalam film itu, Suzana adalah sisi yang berkarakter dan bagian figur dari yang baik-baik. Daya Pria ini semakin tergerak. Tidak ada yang lebih nyata dari pada kebaikan. Gumaman hanya akan menjadikannya pemabuk asa. Dan sepertinya yang ditunggu-tunggu juga sudah datang tu... cuzzzzz...
hay mbak...!!!!
Iya mas...!!!!
Pertemuan dan perkenalan sepertinya memang selalu menyenangkan. mengembirakan seperti tak ada perbuatan baik atau buruk seandainya merasa senang. Senyum Pria ini pun sedikit demi sedikit kembali lepas tampak baik-baik saja, ngobrol ngalor-ngidul judule sing penting hati senang. Mereka bertiga terlena oleh alunan tawa masing-masing, hingga tanpa dinyana perjalanan demikian jauh menuju tujuan. Dan hari mulai memalam.
Ditengah perjalanan, mereka sepakat jika sebaiknya makan malam aja. Sembari menyeka kemalaman mencari tempat hidangan yang hendak dipilih. Tempat santap golongan ber-uang. Maklum mereka memang biasa begitu. Begitu duduk, begitu tertawa-tawa, begitu ngobrol-ngobrol akhirnya semua pesanan pun genden memenuhi meja. Dalam tawa dan obrolan itu tiba-tiba bayang-bayang itu, makhluk halus itu kembali menggeliat diantaranya. Kali ini, ia benar-benar kerasukan, hantu itu dengan kejamnya seakan mengutuk, menindas, mewanti-wanti berusaha menjadikan diri ia jadi dirinya. Perlahan hantu itu, mengajarkan makna senyuman, sebuah arti kata, harap-harapan, tentang keharusan memiliki. Pria ini mendadak kejang-kejang mengundang banyak tanya, banyak suara dan banyak gemuruh. Namun sebentar ia terperanjak kaget, seketika masuk gelap suara;
"Biar aku aja yang bayarin ya."...!!!
Sebetulnya kelelakian Pria ini menolak itu. hanya, biarlah toh mereka telah menjadi teman dan sahabat yang baik. lagian waktu itu, ia memang lagi gak ada apa-apa disakunya. hehe
***
Esok hari, di hari pertama, beban Pria ini seolah semakin berat, ia merasa mereka gak bertiga lagi, tapi berempat. Hantu itu semakin suka membuntutinya kemana saja dia pergi. Langkah kakinya terlihat gontai seolah ada yang menahan. bibirnya kelu. pikirannya memburu. gumamnya, makhluk apaan ini? Ia terus ulangi berkali-kali pertanyaan itu walau tak pernah ada jawaban. Ia mulai gak peduli, termasuk dengan pertanyaan orang-orang "Kok bisa ada hantu siang-siang? gila kali ya dia?." yang ia tahu bahwa nenek dan tetangga dikampungnya dulu pernah bercerita ada.
Ia gak peduli dari pantai satu ke pantai yang lain. dari perbukitan satu keperbukitan yang lain. dari tebing satu ke tebing yang lainnya. karena----
Seharusnya ia gak perlu memusingkan apapun, sebab ia bersama tamu yang telah berteman baik, lembut, santai, dan menyenangkan. Ia juga bersama sahabat yang tidak hanya peduli, mengerti namun juga telah lama saling berbagi kebaikan dengannya. Tapi, dasarnya aja hantu bangsat itu....
Bahkan saat malam, teman tidurnya bukan lagi bantal, kasur dan selimut. kini berbeda, seolah seisi kamar dipenuhi kegelapan, celah cahaya hanya menjadi hal menakutkan. lemari itu hantu, dispenser itu hantu, TV itu hantu, gambar-gambar itu hantu, lampu itu hantu, komputer itu hantu, dipan itu hantu. Tetap "petteng" dan "petteng". masak, sepanjang hari dengan sepanjang perjalanan kala itu, yang teringat hanya lemparan batu kerikil yang tepat nyemplung dihadapannya itu, yang terbayang hanya saat tangannya tanpa sengaja menyentuh sepotong tangan ketika ia hendak mengubah gigi persneling itu, yang membatin hanya tentang senyum dan kata itu. Padahal tajam matanya waktu itu dapat dengan sangat melihat segalanya, telinganya mampu mendengar suara apapun. Entahlah....
"Kamu kenapa, mas bro? mukamu pucat gitu, kayak lagi bingung, galau?" Tegur salah seorang temannya.
Tapi Pria ini, hanya diam dengan senyum khas tersampul dibibirnya. Tak terpikir olehnya tuk menjawab. Walau sebenarnya ia ingin sekali menceritakan kisah hantu itu, makhlus halus yang tak kenal solidaritas. Meskipun ia tahu, banyak orang percaya kalau hantu itu benar ada, tapi bagaimana ia membuktikannya? Apa temannya juga akan percaya?. Pernah terpikir olehnya untuk membuktikan apa saja tentang hantu itu, tapi kan hantu tak pantas jadi sahabat? Sahabat hanya pada sahabat, teman hanya pada teman. Begitu lebih realistis.
Pria ini, benar-benar sudah gak betah lagi dikamar tercintanya, yang menaruh sejarah, cita dan jati dirinya. Ia memilih keluar dari kamar dengan semangkuk makanan ditangannya.
"Kok, makannya di luar mas?" Tanya beberapa tetangga lewat baru saja pulang dari pengajian.
"Saya gak betah dikamar, pak, buk. banyak hantunya"...!!! Pria ini menceritakan panjang lebar tentang kamarnya yang berhantu itu. bahwa ia makan diluar untuk menghindarinya, walau tak bisa.
"Yaudah mas, kalau gitu dilanjutkan aja makannya..."
Diantara mereka saling melempar kata, menganggapnya telah gila, tidak waras lagi. Mungkin sedang banyak masalah. hingga suara-suara itu pun lenyap dengan sendirinya.
Pria ini, sangat sakit, perih dengan banyak kata-kata tadi. Mungkin memang ada benarnya apa yang dikatakan? Mungkin sebaiknya ia berusaha menjauhinya. Dengan tekad kuat ia akhirnya berseloroh mengusir aja hantu gak penting itu dari dirinya. Entah bisa atau tidak.
Pada hari kedua, Adalah mengenai waduk, gundukan kali, tentang gunung, gumuk pasir dan sedikit pantai. Ada keindahan, hal menakjubkan, tulisan yang membekas. Sesuatu yang baru didatangi pertama kali, soal jalan-jalan terjal penuh pemandangan yang menawarkan sejuta pesona. Dikanan, dikiri, didepan-belakang semua dapat dilihat di atas maupun di bawahnya. Sungguh tak terbayangkan, meski sesekali hantu itu kadang masih suka menyelinap di bawah tawa-tawa kecilnya, menjadi halusinasi disetiap tatap, dengat dan hatinya. Tapi tenang, dengan mudah ia menepisnya, ia tetap pada kometmennya untuk tak lagi bersama dan mengusir jauh jauh hantu itu. Ditambah lagi suka ria kedua sahabat dan temannya tak henti-hentinya kebaikan dan kebersamaan terbagi indah. Pria ini sangat beruntung.
Namun, lagi-lagi malam ini. ia mendapati kamarnya tanpa apapun. Jendela itu kosong, atap itu kosong, pojokan itu kosong. Yang ia mampu pandangi hanya senyumnya yang pantas-terlintas, godaan manjanya saat ia di atas tangga dan aaahhhhh. Ia kebingungan meski tanpa hantu itu, merasa bersama ruang hampa. Ia kembali memikirkan hantu itu. Mungkin tak seharusnya ia mengenyahkannya. Orang bijak dapat berkawan dengan siapapun. Al-Hallaj menganggap setan dan Fir'aun sebagai uswah hasanah, figur penentang kesyirikan sejati tanpa tak menghormati malaikat, Jin dan manusia. Rabi'ah al-Adawiyah tidak menganggap setan sebagai musuh. Ia membutuhkan sesuatu yang tidak ia sadari. Sebenarnya ia hanya tersadar akan dirinya, dirinya yang masih biasa, sedang sahabat adalah sahabat. Hantu tidak memiliki sahabat. Realistis tak biasa. Ia semakin takut akan dirinya yang biasa. antara hantu dan sahabat.
"Ikhlas itu seharusnya aku. Ikhlaslah yang memantaskan dan menyatukan segala elemen apapun. Dengan ikhlas aku memiliki segalanya." Gumam Pria ini dengan pantas. Atau hanya ia adalah pecundang yang tak begitu membaca proses dan lamban dalam memantau kegagalan. Ikhlass....
Di hari ketiga, hantu yang sebelumnya hanya diam saja. Entah dikambing-hitamkan, dihujat dan sebagainya. Kali ini hantu itu angkat kata:
"Hendak apapun kalian.... salahkan aku, maki dan enyahkan aku. kalianlah yang menjatuhkan diri kalian. altruistis, bagai lilin kalian rela menerangi yang lain tanpa memikirkan diri. kalian yang egois bahwa mesti memiliki. Aku sama sekali gak peduli."
Camkan....!!!!
"Bertanyalah kalian siapa aku, apa aku, mengapa aku, dimana aku, kapan aku, dan bagaimana aku? Aku tetaplah aku. Aku yang sejati tak kan pernah mati, meski kalian harus bersama yang lain. Laila dan Majnun, Adam dan Hawa, Habibi dan Ainun adalah contoh ortodoksi hakikatku.... Pokeh kalian tu.....
0 comments:
Posting Komentar