Indonesia, selalu dengan rakyatnya yang berpecah haluan, kurang saling menghargai satu sama lain. Kebenaran seringkali dirasa milik diri pribadi dan yang sependapat. Ketika merasa Islam, maka yang berbeda berarti ke Islamannya adalah abu-abu. Ketika ada yang berpendapat dengan sedikit lunak serta menoritas, maka ada saja yang menuduh tidak tegas dan bukan pembela.
Katakanlah, bagi mereka yang tidak melaporkan dan mengutuk Ahok, dicap tidak membela Islam. Seolah yang membela Islam dialah yang melaporkan dan mengutuk saja. Padahal tidak demikian, yang tidak melaporkan dan tidak mengutuk pun, bisa jadi mereka juga termasuk membela Islam, dengan gairah tafsir yang lebih dinamis, kompleks dan prospektif dalam konteks kebangsaan. Bahwa yang perlu diperhatikan dari surat al-Ma’dah: 51 ada tigal hal, yakni konteks kebahasaan (lafadz “la” Nafi dan Nahi: larangan), aspek asbabun nuzul (dalam konteks peperangan), dan yang malah menjadi perhatian, yakni tentang terjemahan awliya’.
Kemudian, ketika banyak orang yang menyangka bahwa yang turut melaporkan dan mengutuk Ahok tidak semua karena motif Islam, bisa jadi karena tendensi politik dan sebgainya. Maka begitupun dengan beberapa kalangan yang tidak kontra, enggan mengutuk apalagi melaporkan, bisa saja mereka juga membela al-Qur’an dan Islam. Namun, dengan cara mereka yang elegan.
Harus diakui, solidaritas kita memang kuat, tapi kita krisis toleransi serta gagal dalam menghargai sesama. Contoh, kasus kepemimpinan perempuan saat pertama kali digulirkan pasca reformasi, waktu Gusdur harus dilengserkan dan musti digantikan oleh Megawati selaku wakil presiden kala itu. Ulama se Indonesia geger, dalil-dali al-Qur’an dan Hadis dipaparkan serta diteriak-teriakkan, bahwa wanita itu tidak boleh jadi pemimpin bagi laki-laki, jika laki-laki masih ada dan mampu. Bahwa barang siapa menyerhkan urusannya pada seorang wanita, maka tidak akan beruntung, padahal yang diinginkan negeri ini adalah keberuntungan.
Satu-satunya orang yang dipandang paling bertanggung-jawab, diolok-olok dan dihina-hina waktu itu adalah Ustadz Amin Rais, karena kebetulan yang menjadi ketua MPR saat itu adalah beliau. Dan yang melantik kepresidenan wanita pertama kali di Indonesia kala itu adalah MPR. Memang hujatan, hinaan serta olok-olok terhadap Ustadz Amin Rais tidak sepanas dan se massif sekarang, itu karena dulu memang yang namanya media sosial belum ada dan secanggih seperti sekarang. Padahal seharusnya hujatan, hinaan dan olok-olok itu tidak perlu seandainya sikap toleransi dan saling menghargai mengakar dalam diri. Sebab, Ustadz Amin Rais juga orang Islam, pernah masuk dalam struktur keorganisasian Muhammadiyah juga, dalam artian beliau juga berdarah Islam yang taat, berhaluan dan refrensif. Tentunya, ketika beliau harus melantik seorang pemimpin wanita, maka pasti beliau telah mempertimbangkannya secara matang dari segala arah dan demi kepentingan bersama yang lebih besar.
Meskipun juga disinyalir benih bara api pertama kali dalam kasus Ahok ini, karena Ustadz Amin Rais dilain waktu dan kesempatan pernah mengutip surat al-Maidah: 51 dalam ceramahnya di sebuah masjid, sehingga Ahok pun tanpa sadar meradang dalam pidato kujungannya ke pulau seribu. Namun, apapun itu saling mengerti, menghormati dan menghargai sebuah pendapat adalah harga mati direpublik ini. Tidak boleh merasa paling benar sendiri dan merasa paling membela al-Qur’an.
Tentu, semua bisa bilang “membela” al-Qur’an, sama-sama ingin menjaga keberagaman dan kesatuan bangsa. Namun, realitasnya dalam tataran argumentatif serta manifestasinya mereka berbeda. Di sini menganggap Ahok telah mencederai kedamaian antar agama dan mengancam keberagaman, sehingga harus diproses secara hukum, sedang di situ memandang tidak perlu berlebihan menanggapi pernyataan Ahok agar tidak terjadi perpecahan yang dapat merusak keberagaman antar umat beragama. Itu artinya, mereka memang berbeda dari segi cara.
Untuk mencampur-aduk kontradiksitas kedua argumentasi tersebut, tentu sangat sulit, walau sebenarnya masih dapat dikompromikan. Maka, jalan satu-satunya adalah saling menghormati. MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan yang sepaham harus menghargai pendapat yang lain, karena mereka juga beragama Islam dan berhak juga atas agamanya. Begitupun sebaliknya, mesti menghargai MUI dan yang sepaham, yang merasa tersinggung karena kitab sucinya merasa dilecehkan dan dihina.
Dengan demikian, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bersama-sama kembali sebagai warga Negara yang sejatinya harus selalu hidup berdampingan, demi keutuhan dan kekuatan bangsa tercinta ini.
Katakanlah, bagi mereka yang tidak melaporkan dan mengutuk Ahok, dicap tidak membela Islam. Seolah yang membela Islam dialah yang melaporkan dan mengutuk saja. Padahal tidak demikian, yang tidak melaporkan dan tidak mengutuk pun, bisa jadi mereka juga termasuk membela Islam, dengan gairah tafsir yang lebih dinamis, kompleks dan prospektif dalam konteks kebangsaan. Bahwa yang perlu diperhatikan dari surat al-Ma’dah: 51 ada tigal hal, yakni konteks kebahasaan (lafadz “la” Nafi dan Nahi: larangan), aspek asbabun nuzul (dalam konteks peperangan), dan yang malah menjadi perhatian, yakni tentang terjemahan awliya’.
Kemudian, ketika banyak orang yang menyangka bahwa yang turut melaporkan dan mengutuk Ahok tidak semua karena motif Islam, bisa jadi karena tendensi politik dan sebgainya. Maka begitupun dengan beberapa kalangan yang tidak kontra, enggan mengutuk apalagi melaporkan, bisa saja mereka juga membela al-Qur’an dan Islam. Namun, dengan cara mereka yang elegan.
Harus diakui, solidaritas kita memang kuat, tapi kita krisis toleransi serta gagal dalam menghargai sesama. Contoh, kasus kepemimpinan perempuan saat pertama kali digulirkan pasca reformasi, waktu Gusdur harus dilengserkan dan musti digantikan oleh Megawati selaku wakil presiden kala itu. Ulama se Indonesia geger, dalil-dali al-Qur’an dan Hadis dipaparkan serta diteriak-teriakkan, bahwa wanita itu tidak boleh jadi pemimpin bagi laki-laki, jika laki-laki masih ada dan mampu. Bahwa barang siapa menyerhkan urusannya pada seorang wanita, maka tidak akan beruntung, padahal yang diinginkan negeri ini adalah keberuntungan.
Satu-satunya orang yang dipandang paling bertanggung-jawab, diolok-olok dan dihina-hina waktu itu adalah Ustadz Amin Rais, karena kebetulan yang menjadi ketua MPR saat itu adalah beliau. Dan yang melantik kepresidenan wanita pertama kali di Indonesia kala itu adalah MPR. Memang hujatan, hinaan serta olok-olok terhadap Ustadz Amin Rais tidak sepanas dan se massif sekarang, itu karena dulu memang yang namanya media sosial belum ada dan secanggih seperti sekarang. Padahal seharusnya hujatan, hinaan dan olok-olok itu tidak perlu seandainya sikap toleransi dan saling menghargai mengakar dalam diri. Sebab, Ustadz Amin Rais juga orang Islam, pernah masuk dalam struktur keorganisasian Muhammadiyah juga, dalam artian beliau juga berdarah Islam yang taat, berhaluan dan refrensif. Tentunya, ketika beliau harus melantik seorang pemimpin wanita, maka pasti beliau telah mempertimbangkannya secara matang dari segala arah dan demi kepentingan bersama yang lebih besar.
Meskipun juga disinyalir benih bara api pertama kali dalam kasus Ahok ini, karena Ustadz Amin Rais dilain waktu dan kesempatan pernah mengutip surat al-Maidah: 51 dalam ceramahnya di sebuah masjid, sehingga Ahok pun tanpa sadar meradang dalam pidato kujungannya ke pulau seribu. Namun, apapun itu saling mengerti, menghormati dan menghargai sebuah pendapat adalah harga mati direpublik ini. Tidak boleh merasa paling benar sendiri dan merasa paling membela al-Qur’an.
Tentu, semua bisa bilang “membela” al-Qur’an, sama-sama ingin menjaga keberagaman dan kesatuan bangsa. Namun, realitasnya dalam tataran argumentatif serta manifestasinya mereka berbeda. Di sini menganggap Ahok telah mencederai kedamaian antar agama dan mengancam keberagaman, sehingga harus diproses secara hukum, sedang di situ memandang tidak perlu berlebihan menanggapi pernyataan Ahok agar tidak terjadi perpecahan yang dapat merusak keberagaman antar umat beragama. Itu artinya, mereka memang berbeda dari segi cara.
Untuk mencampur-aduk kontradiksitas kedua argumentasi tersebut, tentu sangat sulit, walau sebenarnya masih dapat dikompromikan. Maka, jalan satu-satunya adalah saling menghormati. MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan yang sepaham harus menghargai pendapat yang lain, karena mereka juga beragama Islam dan berhak juga atas agamanya. Begitupun sebaliknya, mesti menghargai MUI dan yang sepaham, yang merasa tersinggung karena kitab sucinya merasa dilecehkan dan dihina.
Dengan demikian, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bersama-sama kembali sebagai warga Negara yang sejatinya harus selalu hidup berdampingan, demi keutuhan dan kekuatan bangsa tercinta ini.
0 comments:
Posting Komentar